Ada beribu-ribu kesenangan yang akan
Anda dapatkan dalam “Turbo Kid” ini. Mulai dari musik-musik retro 80-an yang
membangkitkan nostalgia hingga adegan perkelahian ‘tak berotak’ yang sayang
untuk dilewatkan. Segmented memang,
tapi tidak bisa dipungkiri “Turbo Kid” banyak menampilkan kegilaan-kegilaan
yang menyenangkan dan diharapkan pula untuk disukai oleh mereka yang notabene
bukan penyuka genre ini. Selama 92
menit ke depan, “Turbo Kid” sukses memancing tawa dengan berbagai sajian di
luar logika tapi tidak lantas membuatnya secara keseluruhan menjadi sebuah film
yang bodoh. “Turbo Kid” bagaikan franchise
“Mad Max” dengan versi sepeda BMX, ia kecil dari skala tapi memberikan impact yang besar khususnya bagi yang
merindu dengan gore di era 80-an.
Bersettingkan post-apocalyptic di tahun 1997, seorang pemimpin tirani bernama
Zeus (Michael Ironside) mampu mengekstrak tubuh manusia menjadi air, elemen
yang sangat langka ketika itu. Banyak para manusia tiba-tiba diculik untuk
diadu dengan para jagoannya dan yang kalah akan berakhir sebagai tetesan air
dalam gelasnya. Seorang anak ingusan, sebut saja The Kid (Munro Chambers),
bertekad untuk menghancurkan kekejaman Zeus dan membalaskan kematian kedua
orangtuanya dengan dibantu sang side-kick,
Apple (Laurence Leboeuf) dan juara panco bertangan buntung, Frederic (Aaron
Jeffery). Dengan senjata canggih bernama Turbo Glove, The Kid lantas mengubah
namanya menjadi Turbo Kid.
Menonton “Turbo Kid” banyak sekali
mengingatkan pada action - sci-fi era
80-an seperti “Tron” (1982) atau yang bernuansakan horror dengan sentuhan gore
seperti “Criters” (1986) dan tentunya masih banyak lagi lainnya. Sebagai homage untuk film-film di masa tersebut,
jelaslah film yang diarahkan oleh François Simard ini layaknya mesin waktu
yang mengajak penontonnya untuk kembali mencicipi asyiknya berpetualang dalam
film di masa itu. Demi memperkuat kesan itu, musik-musik retro banyak diusung
berikut di dalamnya properti dan kostum yang digunakan. Tidak
tanggung-tanggung, hal detail meliputi desain poster pun tidak luput terkena
jatah. Semua ditata dengan rapi oleh sang sutradara dan aksi-aksi gilanya turut
menciptakan tawa yang tidak terbendung selama film berjalan. Satu hal lagi yang
membuat film ini begitu unik adalah penggunaan setting masa depannya yang
berbeda dengan film post-apocalyptic
lainnya. Bila yang lain menggunakan era di atas 2000-an untuk penggambarannya,
maka sebaliknya “Turbo Kid” justru menggunakan tahun yang telah lama lewat.
Plot filmnya sangatlah ringan, yaitu
tentang pembalasan dendam pada penguasa jahat dengan sentuhan from zero to hero. Kita akan
diperkenalkan pada The Kid, seorang geek
penakut yang jatuh cinta pada figur dan komik dari superhero bernama Turbo Rider. Tanpa banyak berfikir, pastinya kita
sudah bisa menebak bila The Kid kelak menjadi sosok yang kuat dan mampu
mengalahkan karakter-karakter musuh di sini. Tanpa perlu jauh memikirkan
bagaimana klimaks dari filmnya, dengan serunya kita akan menikmati petualangan The
Kid berupa kejar-kejaran ‘berdarah’ dari anak buah Zeus. Sepeda BMX yang juga
merupakan signature era itu, kini
digunakan sebagai kendaraan untuk aksi kejar-kejarannya jika pada umumnya
desain mobil sangar dipakai untuk film semacam ini. Seperti yang sudah saya
tulis sebelumnya, “Turbo Kid” itu ibaratnya adalah “Mad Max” yang menggunakan
sepeda BMX. Mungkin terdengar lebih ‘ramah’, tapi bila yang mengejarnya kawanan
freak bersenjata mematikan seperti
gergaji mesin, akan lain lagi ceritanya.
Untuk menciptakan karakter The Kid
yang berawal dari seorang pecundang menuju pahlawan, maka dibutuhkanlah sebuah
transformasi untuk menjadikannya masuk akal. Maka dari itu, François
Simard (muncul juga sebagai cameo di
sini) menjadikan karakter The Kid bertransformasi menjadi sang idola, Turbo
Rider, melalui naskah yang juga ia tulis. Pada proses transformasi seorang The
Kid menjadi Turbo Kid itu pastinya akan dirasakan keganjilan dan penuh tanda
tanya. Pada awalnya saya pun juga merasa kebingungan seperti itu. Namun kemudian
saya menyadari bila François Simard rupanya menyelipkan semacam
‘impian liar’ seorang bocah geek
untuk berubah menjadi pahlawan idolanya. Apa yang dilakukan François
Simard di sini adalah cara dia untuk menuturkan tentang anak-anak di generasi
tersebut dalam bermain dengan imajinasi terhebat mereka. Tentu saja cara yang
dilakukan oleh François Simard adalah mengaburkan batasan-batasan antara
realita dengan imajinasi, sehingga diperlukan ‘kepekaan’ lebih untuk bisa memahaminya.
Bagi Anda yang kurang familiar dengan
film ataupun pop-culture lainnya
dalam rentang era 80-90an, “Turbo Kid” akan berakhir sebagai B-Movie yang hanya bisa mengumbar adegan
gore dan kekerasan brainless, tanpa meninggalkan kesan yang
mendalam. Sebagai kebalikannya, “Turbo Kid” malah akan membangkitkan kembali
memori lama yang terpendam lewat segala keseruan yang dihadirkannya. Baik itu
meliputi musik, setting dan properti, hingga ide cerita yang ditanamkan. Bagi
saya pribadi, François Simard jelas telah sukses menghidupkan kembali
momen-momen indah itu lewat film berbujet rendah namun ‘cantik’ ini. Singkatnya,
“Turbo Kid” adalah film tentang anak-anak yang tengah bergelut dengan imajinasi
tertingginya. Meluapkannya. Lalu muncullah kesenangan-kesenangan tidak berujung
yang disayangkan hal itu telah menjadi sesuatu yang langka untuk anak-anak di
generasi kini. Di bagian ini, makin nampaklah secara halus bila François
Simard mencoba untuk mengkritisi anak-anak zaman sekarang yang mulai kehilangan
daya imajinasinya.
“Turbo Kid” adalah kegilaan nyata
dalam imajinasi dan impian setiap anak yang terbungkus dalam B-Movie. François
Simard lewat “Turbo Kid” ini ibaratnya Hayao Miyazaki dengan semua
karya-karyanya. Keduanya menuturkan tentang keindahan imajinasi dalam kehidupan
anak-anak. Bedanya bila Miyazaki begitu kalem dan melankolis, sebaliknya Simard
menampilkannya dengan sadis dan gila. Apapun treatment yang digunakan, keduanya indah dengan caranya
masing-masing.
8 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !