Pastinya tidak bisa untuk
tidak membicarakan “Gravity” (2013) dan “Interstellar” (2014) bila baru-baru
ini banyak mata tertuju pada “The Martian”. Apalagi kalau bukan karena tema space adventure yang diusung berikut
rentang waktu kemunculan yang sangat dekat/berurutan. Tanpa mencoba untuk
membandingkannya, sejak awal “The Martian” memang tidak pernah terlintas dalam
pikiran untuk menjadi film yang kuat dari aspek dramanya. Namun apakah perlu
ada drama yang katakanlah ‘menyentuh’, untuk bisa membuatnya menjadi bagus
hingga mampu disejajarkan dengan dua film di atas ?. Saya rasa tidak, sebab
bila diambil contoh, Ridley Scott sendiri sudah pernah membuat “Prometheus”
(2011) yang luar biasa bagusnya (dimana banyak orang yang tidak menyukainya)
tanpa perlu memperkuat aspek dramanya.
Kisah ‘orang Mars pertama’ ini
dimulai ketika misi Ares III terpaksa dibatalkan karena munculnya badai yang
bersiap menyapu daratan luas Mars. Keselamatan para awak terancam, komandan
misi Melissa Lewis (Jessica Chastain) meminta segera untuk lepas landas dari Mars
dan meninggalkan seorang awak, Mark Watney (Matt Damon) yang telah diasumsikan
mati. Mengejutkan, Mark masih hidup namun kehilangan kontak dengan NASA.
Sembari menunggu penjemputan lewat Ares IV yang tiba 3 tahun kemudian, ia
bertahan hidup lewat keahliannya di bidang botani.
“The Martian” ternyata
bukanlah tipikal film yang ‘membakar’ secara perlahan-lahan untuk bisa diresapi
penontonnya. Hal itu dibuktikan oleh Ridley Scott dengan mengumbar adegan
bombastis yang bahkan telah muncul di menit-menit awal. Sebuah adegan dahsyat
nan mengerikan dengan intensitas tinggi yang cukup mampu untuk menggetarkan nyali
para penontonnya. Tidak ingin puas hanya dengan drama lepas landas dalam skala
yang epik tersebut, narasi kemudian mengisahkan seorang awak yang tertinggal
dan tentunya menciptakan perasaan miris. Tertinggal sendiri di sebuah planet ‘tidak
bertuan’, pastinya tidak ada hal lain selain ketakutan demi ketakutan yang
tersisa. Melihat Mark Watney hanya bisa luntang lantung di tempat yang
sepanjang mata memandang hanya ada gurun pasir merah dan perbukitan itu,
menyiratkan bahwa apa yang dialami oleh Chuck Noland (Tom Hanks) dalam “Cast Away” (2000)
masihlah belum ada apa-apanya. Tragis, penuh penderitaan, kesepian, dan
ketakutan, seolah-olah apa yang dilakoninya bakal disajikan dengan begitu
kelamnya.
Sebagai kebalikannya, “The
Martian” yang diangkat dari novel judul sama karya Andy Weir ini malah tampil
dengan ‘berwarna’ terutama lewat banyak joke
yang dilontarkan oleh Mark Watney. Melihatnya sebagai seseorang yang mengalami
kesulitan tersial yang pernah ada, ia lantas tidak diciptakan sebagai karakter
yang pasrah akan nasib namun sebaliknya ia memunculkan optimisme yang menarik.
Berbekal keahlian botani yang dikuasainya, ia bahkan bisa menciptakan sumber
pangan untuk bertahan hingga beberapa tahun ke depannya. Mungkin keambiguan
karakter Mark ini sejatinya mampu membuat sisi realitanya menjadi lemah. Namun
itu semua tidaklah menjadi masalah bila memang Ridley Scott sedari awal
menggunakan pendekatan yang lebih ringan di film ini. Pengertian ‘ringan’ itu
dapat dilihat dari bagaimana “The Martian” tidak banyak diisi oleh
dialog-dialog scientific yang
memusingkan dan mengejar nilai keakuratannya. Sebagai gantinya, ia sisipkan
lelucon-lelucon efektif lewat karakter Mark dan beberapa kali memperdengarkan
lagu-lagu disko yang asyik.
Beda di bumi, beda pula di
Mars. Kembali lagi aspek humor itu banyak dihadirkan di sini lewat situasi yang
terbangun di tempat yang berbeda. Ketika pihak NASA sampai beradu debat hingga
panas terkait misi penyelamatan yang akan dilakukan untuk Mark, ia sendiri
malah asyik mengkritisi lagu-lagu disko milik Melissa yang tertinggal dalam
“Habitat”. Begitu juga ketika Melissa dan para awak yang tersisa masih
diselimuti mendung duka dalam pesawat “Hermes”. Porsi humornya cukup banyak dan
hal itu sangat ampuh sekali sebagai penghibur dan membantu penonton untuk
melupakan sesaat penderitaan yang dialami oleh Mark. Tapi hal itu bukan berarti
mengubah total film ini menjadi komedi renyah dengan melenyapkan aspek thrill-nya. Ketegangan lewat
kejutan-kejutan tidak terduga tetap terus bermunculan. Bahkan, “The Martian”
sendiri juga pintar sekali mempermainkan emosi, terkadang tone-nya cerah lewat lelucon-lelucon yang ada, dan kadang terasa
pula sisi depresifnya ketika rencana-rencana karakter utama kita ini mengalami
kegagalan.
Plotnya sangat sederhana
sekali, secara garis besar “The Martian” bercerita tentang misi penyelamatan
dan di bagian akhirnya akan menyisakan pertanyaan apakah misi tersebut sukses
ataukah gagal. Plot yang sederhana itu dikembangkan dengan baik sehingga apa
yang awalnya terlihat ‘mudah tertebak’ itu akhirnya menjadi sajian yang
mengasyikkan untuk diikuti. Dialog-dialog yang ada pun juga terasa ‘membumi’
bila dibanding sci-fi sejenisnya,
sehingga mudah terserap oleh mayoritas penonton yang tidak banyak tahu soal
sains sekalipun. Walau sebelumnya saya katakan bahwa tidak ada drama yang
membuat tersentuh, namun Ridley Scott tetap berhasil mengisinya dengan sisi humanism yang kuat. Hal tersebut
dibuktikan lewat penceritaan tentang bersatunya berbagai pihak (hingga berbagai
keahlian manusia) dan lambaian tangan penduduk bumi demi menyelamatkan satu orang dari “planet merah” tersebut. Sisi itu sekali
lagi muncul untuk menegaskan tentang “memanusiakan manusia”, sekalipun ada
‘harga mahal’ yang harus dibayar.
Dari area marketing, jelaslah bila “The Martian” memiliki momen yang sempurna
untuk peluncurannya di saat NASA sendiri mengkonfirmasi penemuan air di Mars.
Secara tidak langsung, tentunya itu merupakan kesuksesan tersendiri berupa daya
tarik besar bagi orang-orang untuk menontonnya. Ataukah mungkin ada konspirasi
antara Ridley Scott dengan NASA seperti rumor terdahulu dengan Stanley Kubrick
lewat “2001 : A Space Odyssey (1968) ?. Untuk hal ini saya harap Anda tidak
menanggapi serius pernyataan saya ini.
8 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !