“Bāhubali
: The Beginning” adalah film kolosal berskala epik dengan banyak sekuen
pertarungan serta peperangan di dalamnya. Tingkat epiknya boleh saja disamakan
dengan Perang Bharatayuda dalam wiracarita Mahabharata yang terkenal itu.
Bahkan ketika menonton “Bāhubali”, saya jadi teringat dengan kisah-kisah menarik
yang dituturkan di dalamnya. “Bāhubali” adalah salah satu dari sekian
film-film India yang diproduksi dengan bujet yang besar. Seimbang dengan pendapatan
yang didapatkan serta ulasan positif yang didapatnya. Dalam beberapa tahun ini
memang terbilang jarang saya menemukan film India dengan tingkatan epik. Namun
kini ada “Bāhubali”
yang bisa dikatakan sebagai pengobat rindu saya pada film-film perang klasik
dari India.
“Bāhubali
: The Beginning” memiliki konsep cerita yang sudah banyak kita dengar secara
turun-temurun. Berkisah tentang seorang anak yang ditakdirkan memerangi
kekuasaan raja tirani dan membawa kedamaian. Dia adalah Shiva alias Mahendra Bāhubali
(Prabhas), putra Raja Amarendra Bāhubali dari kerajaan kuno Mahishmati. Sejak
bayi telah dititipkan pada Sanga (Rohini) dan mengembara ke dalam hutan. Sanga
sudah menganggap Shiva seperti anak kandungnya sendiri. Dalam pencarian jati
dirinya, Shiva jatuh hati pada Avanthika (Tamannaah) yang merupakan bagian dari
pasukan pemberontakan. Kelak, takdir pun menuntunnya pada Raja Bhallala Deva
(Rana Daggubati) dan mengakhiri masa-masa penderitaan rakyat.
Shiva
digambarkan sebagai seorang pria yang gagah perkasa. Tubuhnya tinggi besar
begitu pula dengan otot-ototnya. Ia seorang yang pemberani, berjiwa pemimpin,
dan selalu menolong sesama yang dalam kesulitan. Tidak lupa pula, baktinya
kepada sang ibu sungguh begitu besar. Ia diberi nama demikian karena orang tua
angkatnya merupakan pemuja Dewa Shiva. Semasa kecil, Shiva kerap memandangi
puncak air terjun dan membuatnya bertekad untuk mendakinya. Perlu diketahui
bahwa Kerajaan Mahishmati tempat asal Shiva merupakan daerah tinggi di atas air
terjun tempat ia kini tinggal. Seperti dalam kisah mitologi pada umumnya,
takdir pun menuntun hero ini untuk
menyelesaikan apa yang telah ditinggalkan oleh generasi sebelumnya.
“Bāhubali”
memang memiliki plot cerita yang sudah tidak asing sekali bagi telinga kita.
Kisah kepahlawanannya sendiri banyak mengingatkan kita pada Sri Krishna yang
dengan gagahnya menumpas kejahatan Raja Kans dan membebaskan rakyat dari
kekejamannya. Tidak lupa pula, Shiva juga membebaskan ibu kandungnya yang
ditawan oleh Raja Bhallala Deva selayaknya Sri Krishna yang menyelamatkan ibu
dan ayahnya. Apa yang terjadi kemudian ?. Mungkin Anda sanggup dengan cepat
menyimpulkan peperangan good vs evil
dalam film ini.
S.
S. Rajamouli lah yang menyutradarai “Bāhubali” sekaligus menulis naskahnya.
Lewat tangan sutradara yang baru pertama kali ini saya tonton filmnya, kisah
sederhana ini menjadi begitu berkesan dan tampil dengan megahnya. Kemegahan
dari “Bāhubali”
terletak pada penataan koreografinya yang begitu indah serta memanjakan mata.
Tempat eksotis. Ditambah pula desain produksi yang tidak tanggung-tanggung
dalam menghidupkan suasana Kerajaan Mahishmati yang begitu agung. Kostum ?.
Film semacam ini tidak boleh melupakan yang namanya kostum. Helm baja, pedang,
tombak, dan tameng menghiasi penuh para figuran yang meramaikan sekuen
perangnya. Kostum ala Bāhubali pun menjadi fenomena di acara Comic Con Hyderabad
dan memilih cosplayer terbaik untuk
mengunjungi set syuting. Strategi pemasaran yang sama digunakan pada “The Force
Awakens” kemarin.
Bagian
yang amat saya sukai dari “Bāhubali” adalah ketika Rajamouli
memasukkan unsur feminisme ke dalamnya. Feminisme tersebut digambarkan pada
tokoh Avanthika. Ia seorang gadis muda yang cantik, pemberani, dan semangat
berapi-api. Sumpah setianya dalam membebaskan Devasena (Anushka Shetty) ibu
Shiva sekaligus ratu sebelumnya, membuatnya lari dari kodratnya. Ia terpaksa
mengorbankan keanggunan sisi wanitanya dan menjadi pejuang pemberontakan yang
gagah perkasa. Sivagami (Ramya Krishnan), ibu suri yang menyelamatkan Shiva
sewaktu bayi, juga tidak luput dari pengaplikasian feminisme. Ia juga seorang
wanita yang tangguh dan memiliki jiwa kepemimpinan. Masa-masa vacuum of power dari Mahishmati pun
dipegangnya dengan bijaksana serta berhasil memadamkan pemberontakan.
Saya
kira sudah lama tidak menyaksikan sebuah film dimana wanita benar-benar
diperlakukan dengan sangat terhormat. Rajamouli dengan bijak menampilkannya
dalam “Bāhubali”.
Di sini, wanita sudah bukan lagi sebagai objek yang dinomor duakan. Wanita
digambarkan mampu menunjukkan eksistensinya; sederajat dengan pria bahkan
sanggup mengunggulinya di beberapa bagian. Karakter wanitanya juga begitu
dihormati lewat sosok seorang ibu dan diujarkan berkali-kali. Semua itu
merupakan bukti bahwa keindahan, kekuatan, dan hal semacamnya, banyak bersumber
dari figur seorang wanita. Karakter-karakter kuat di sini, saya ambil contoh
Shiva, memiliki jiwa perkasa dan pemberani di balik sosok-sosok wanita
tersebut. Saya suka ini.
“Bāhubali” adalah film well-made. Penggarapannya benar-benar
serius dari berbagai sisi. Puncaknya ada pada third-act saat sekuen perang dikibarkan. Dua kubu yang saling
berperang adalah Mahishmati dan kerajaan lawan yang mendapat info rahasia dari
mata-mata. Para prajurit saling menebas satu sama lain. Bacok sana bacok sini.
Para kuda saling meringkik kesakitan. Pertarungan antar kesatrianya dirangkai
dengan sangat menarik dan mengagumkan. Bagian third-act ini menyuguhkan klimaks dengan sangat epik namun secara
teknikal masih terbilang tradisional. Oleh karena penggunaan CGI-nya yang tidak
terlalu over the top, maka begitu menarik
diikuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !