Selama
menonton “Steve Jobs,” saya menyadari tengah menonton biopic seorang revolusioner di era modern ini. Steve Jobs—image-nya
tidak bisa lepas dari Apple, Pixar, dan aneka produk mutakhir yang melebihi
masanya. Sembari menyaksikan biopic
Steve Jobs ini; seperti kebiasaan, saya membuat catatan kecil ulasan di Ms.
Word dalam Windows 7. Saya tertawa.
Film
“Steve Jobs” ini rilis di tahun yang sama dengan film dokumenternya yang
berjudul “Steve Jobs : The Man in The Machine,” yang disutradarai oleh Alex
Gibney. Saya belum menontonnya, hanya saja perilisan di tahun yang sama ini cukup
mengagetkan. Untuk “Steve Jobs”yang saya tonton ini, disutradarai oleh Danny
Boyle yang Anda kenal lewat “28 Days Later” (2002), “Slumdog Millionaire”
(2008), dan “127 Hours” (2010). Naskahnya ditulis oleh Aaron Sorkin (“The
Social Network, “ 2010 dan “Moneyball, “ 2011), hasil adaptasi dari buku
berjudul sama karya Walter Isaacson.
Fokus
utama plot film ini seputar peluncuran perdana Macintosh dan kegagalannya, keluarnya
Jobs dari Apple, hingga kemudian mendirikan NeXT Inc. Di sela-selanya turut
pula diceritakan hubungan Jobs dengan mantan kekasihnya yang kurang harmonis,
Chrisann Brennan serta putrinya yang tidak diakui, Lisa. Film dimulai pada
tahun 1984 saat voice demo dari Apple
Macintosh gagal di detik-detik sebelum peluncurannya. Andy Hertzfeld (Michael
Stuhlbarg) adalah insinyur yang bertanggung jawab di bagian tersebut. Steve
Jobs (Michael Fassbender) lantas mengancam akan ‘menghancurkan’ namanya di saat
presentasi produk berlangsung.
Ancaman
itu berhasil membuat Hertzfeld memutar otak untuk mengakalinya dengan purwarupa
dari “Macintosh 512K.” Presentasi pun sukses meski sebelumnya sang eksekutiv
pemasaran, Joanna Hoffman (Kate Winslet) sempat melarangnya. Tidak hanya itu,
detik-detik sebelum peluncuran produk itu pun juga diwarnai ‘reuni’ yang
sedikit kurang menyenangkan bagi Jobs. Sahabatnya, Steve Wozniak (co-founder Apple bersama Jobs;
diperankan oleh Seth Rogen) datang dan meminta Jobs untuk memberikan pengakuan untuk
“Apple II” pada presentasinya. Jobs menolak keras. Kesepakatan ini pun berjalan
dengan alot.
Di
waktu yang bersamaan pula, mantan kekasih Jobs, Chrisann Brennan (Katherine
Waterston) datang bersama anak hasil hubungan mereka, Lisa (Makenzie Moss). Kedatangan
Brennan dengan harapan Jobs mau mengakui sebagai ayah dari Lisa dan memberikan
tunjangan serta rumah. Sampai di sini, kita akan mendapati pemaparan soal
karakteristik dari Steve Jobs yang keras, temperamen, dan idealis. Apakah dia
orang yang jahat ? Tunggu sebentar dan Anda perlu bersabar, naskah dari Aaron
Sorkin akan mengungkap sisi lain dari Steve Jobs yang mungkin tidak banyak
orang ketahui.
Seperti
dasar dari film yang diadaptasi dari kisah nyata berupa biopik, dokumenter,
atau doku-drama; mengungkapkan hal yang masih misteri adalah poin utama dari
kekuatannya. Dalam “Steve Jobs,” Anda tidak akan hanya sekedar tahu bahwa orang
brilian ini yang menciptakan produk-produk canggih. Namun lebih dari itu, Anda
akan turut pula menyelami apa yang selalu ada dalam pikirannya selain ide-ide
revolusioner tersebut. Siapa Steve Jobs yang sesungguhnya dan apa yang melatar
belakangi ia melakukan ini dan itu akan diungkap secara rinci oleh Danny Boyle.
Akurat kah ? Saya tidak bisa bicara soal akurat atau tidaknya. Hanya saja,
“Steve Jobs” telah melebihi ekspektasi saya sebagai biopik dengan kelebihan
dari berbagai elemennya : performa, editing,
hingga skoring musik.
Bicara
soal editing, Elliot Graham patut
diapresiasi dengan editing-nya yang
rapi dan berenerji itu. Selayaknya seorang Steve Jobs yang tidak pernah
kehabisan gagasan cemerlang, suntikan editing
dari Graham membuat film ini berjalan dengan dinamis. Mengetahui penyuntingan
yang mengagumkan itu, saya mencoba mengecek daftar “Film Editing” untuk Oscar
tahun ini. Sangat disayangkan, “Steve Jobs” harus di-snub dari daftar. Tidak masuknya “Steve Jobs” dalam daftar “Best
Picture” sendiri sebenarnya juga cukup saya sesalkan. Meski pun mungkin tidak
menjadi strong contender, setidaknya
“Steve Jobs” bisa lebih menyemarakkan Oscar tahun ini.
Bila
sebelumnya publik melihat Steve Wozniak yang tidak bisa dipisahkan perannya
dengan Steve Jobs, kini porsi sang eksekutiv pemasaran lah yang paling
ditonjolkan. Sepanjang film ini, kontribusi dari Joanna Hoffman memang lebih
banyak diekspos dari Steve Wozniak. Sebenarnya ini wajar saja, mengingat
momentum yang diambil oleh Danny Boyle untuk “Steve Jobs” adalah pasca keluarnya
Wozniak dari Apple. Diperankan dengan sangat bagus oleh Kate Winslet, Joanna
Hoffman tidak hanya mengurusi kelancaran bisnis bagi Jobs. Lebih dari itu,
Hoffman merupakan penasihat spiritualnya. Dengan lantang dan berani, Hoffman
menceramahi Jobs untuk menjadi ayah yang baik bagi Lisa.
Steve
Jobs diakui seorang jenius di bidang teknologi. Ia adalah otak dari mesin dalam
peradaban ini. Namun di balik itu, ada kerapuhan di dalamnya. Ia memang sukses
dengan karya-karya berawal huruf “i” di depannya sejak “iMac.” Tapi ia juga
memiliki kegagalan layaknya manusia biasa pada umumnya. Singkatnya, “Steve
Jobs” adalah upaya memanusiakan seorang Steve Jobs yang dikenal dunia. Ya, ia
seorang manusia, bukan mesin.
Bandar Kartu Online PALING Murah Bisa Pakai Pulsa!!!
BalasHapusBISA BAYAR PAKAI PULSA TELKOMSEL XL & AXIS
YANG GAME DARI KAMI YANG TERLENGKAP
MULAI DARI |POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10 |
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
> Minimal Deposit : 10.000 > Minimal Withdraw : 20.000
> Bonus RAKEBACK Tiap Minggu > Proses Deposit & Withdraw PALING CEPAT
> Support Semua Bank Lokal di Indonesia
Bayar Pakai OVO
Bayar Pakai Gopay
Bayar Pakai Pulsa
WhastApp : 0813-3355-5662
WWW POKERAYAM CC