Didominasi
warna hitam putih. Minim pencahayaan. Semua wanitanya tampil menggoda. Cinta
yang mematikan. Sebagian besarnya merokok, mengeluarkan asapnya dengan pelan
serta penuh kenikmatan. Setingnya malam. Gelap. Ditambah hujan deras. Ada
motivasi seksual di baliknya. Semua adalah deskripsi film noir yang begitu
melekat pada “Sin City”. Saya menyukai visualnya yang indah. Saya menyukai
alurnya yang mungkin telah sering kali diceritakan ulang. Saya menyukai
koreografinya. Saya menyukai dialognya yang keren. Saya menyukai seluruh yang
ada dalam “Sin City”; kecuali pemerintahan korup yang ada dalam Sin City. Sewaktu
menontonnya, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan godaan visualnya yang
begitu memesona.
Sebelum
itu, perlu Anda ketahui bahwa “Sin City” yang saya tonton ini adalah versi recut, unrated, dan extended.
“Sin City” terbagi menjadi empat segmen, pertama adalah “That Yellow Bastard”, kemudian
“The Customer is Always Right”, “The Hard Goodbye”, dan yang terakhir adalah
“The Big Fat Kill”. Bagian pertama bercerita tentang John Hartigan (Bruce
Willis), detektif tua yang idealis. Sesaat sebelum pensiunnya, ia berusaha
menyelamatkan gadis kecil bernama Nancy Callahan dari penculikan Ethan Roark,
Jr. (Nick Stahl); seorang pedofil, anak senator Roark (Powers Boothe). Niat
baik John membuatnya malah difitnah memperkosa Nancy dan membuatnya dipenjara
delapan tahun.
Narasi
kemudian berlanjut hingga bebasnya John serta pembalasan dendam Roark, Jr. Tahu
mengapa segmen pertama diberi judul “That Yellow Bastard” ?. Yellow Bastard
tidak lain adalah Roark, Jr. yang malih rupa menjadi makhluk mengerikan pasca dianiaya
John. Tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses berubahnya, bagi saya
tidak masalah. Yellow Bastard bertubuh kuning, darahnya juga kuning, berbau
busuk, perutnya buncit, wajahnya penuh keriput, dan telinganya lebar. Sekilas
bentuknya mengingatkan saya pada Goblin.
Jika
sebelumnya saya menulis bahwa “Sin City” dibuat dengan format hitam putih,
lantas bagaimana saya mengetahui warna Yellow Bastard ?. Tidak semua figur
dalam “Sin City” dibuat dengan hitam putih. Beberapa karakter, termasuk benda
di dalamnya, dipoles berwarna; seperti darah, bola mata, dan termasuk di
antaranya adalah Yellow Bastard. Beberapa figur yang dibuat berwarna menciptakan
kekontrasan dari segi visual. Membuatnya unik dan menarik. Ini adalah salah
satu alasan yang membuat “Sin City” terlihat lebih stylish dibanding film-film noir klasik. Walau pun hitam dan putih
mendominasi tampilannya, tidak lantas membuat “Sin City” menjadi usang.
Sebaliknya justru membuatnya tampak colourful.
Kesamaan
cerita antar segmen dalam “Sin City” mengangkat tema ketidakadilan dalam
pemerintahan korup. Sudah pasti, di dalamnya terlibat oknum-oknum nakal yang
dapat Anda tebak siapa. Di sini, wanita adalah pihak yang menjadi bulan-bulanan
akan ketidakadilan tersebut. Namun naskah tulisan Robert Rodriguez dan Frank Miller; didasarkan
dalam novel grafis karya Miller, tidak membuat para wanita menjadi korban misogyny. Para karakter wanita ini
justru digambarkan kuat serta berpengaruh. Segmen terakhir adalah puncak di
mana para wanita memegang semua kendali dan membuat para pria mengakui seluruh
kekuasaannya.
Kekuatan
dari “Sin City” sebenarnya tidak terletak pada plotnya, melainkan tata
visualnya yang magnificent. Ketika
saya menontonnya, tiada henti mata ini memandangi setiap detil penataan gambar
maupun warnanya. Sangat indah sekali. Di saat bersamaan pula, otak saya tetap
harus berfokus pada plot. Jangan sampai gambar indahnya membuat pemahaman menjadi
tergelincir. Meski secara visual “Sin City” menarik hati saya, tidak berarti
plotnya lemah. Plotnya tetap ‘berisi’ dengan sentuhan satir dan tidak terduga ada
selipan beberapa komedi one-liner
yang efektif.
“Sin
City” banyak dibintangi jajaran cast
yang sudah punya nama besar, seperti Jessica Alba sebagai Nancy remaja, Clive
Owen, Benicio del Toro, Mickey Rourke, Elijah Wood, Michael Madsen, serta Devon
Aoki yang berperan sebagai Miho; gadis pelindung Old Town yang kemampuannya bak
seorang kunoichi (ninja wanita). Diam
namun mematikan. Tatapannya tajam; setajam pedang yang dibawanya atau shuriken berbentuk manji yang dilemparnya. Adanya karakter Miho, boleh saja bila
direlasikan dengan Quentin Tarantino (ia juga berkontribusi dalam menyutradarai
salah satu adegan di sini). Tarantino memang dikenal tertarik dengan dunia martial-arts. Miho di sini pun tidak
luput dari sentuhannya dengan mengatakan bahwa pedangnya adalah buatan Hattori
Hanzō.
Bayangkan betapa menariknya bila Miho dipertemukan dengan Beatrix Kiddo.
Tidak
diragukan lagi bila “Sin City” memiliki nilai keartistikan yang begitu tinggi.
Setiap frame-nya, gerakannya, set
buatan tangan, hingga dialognya sendiri mewakili. Sebelumnya, film yang begitu
saya kagumi lewat tata visualnya adalah “The Fall” (2006) karya Tarsem Singh.
Tapi saya tidak bisa membandingkan keduanya, sebab masing-masingnya berdiri di
jalur yang berbeda. Setelah mengagumi “Sin City” sampai meninggalkan kesan yang
mendalam, apakah sebuah keharusan untuk menonton sekuelnya ?. Jujur saja saya
tidak yakin soal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !