Saya
yakin sepenuhnya bila anak-anak bakal menyukai film arahan Hayao Miyazaki ini.
Kisahnya ringan namun kaya akan fantasi. Sebagai bukti, saya mengajak dua
sepupu untuk menonton “Ponyo”. Umur 6 tahun yang tertua, dan 5 tahun yan lebih
muda. Keduanya adalah saudara kandung. Bagaimana responnya ?. Keduanya sangat
menyukai dan betah berlama-lama menonton “Ponyo”. Tidak ada perasaan bosan atau
sekedar pergi walau sejenak. Inilah unsur magical
dalam setiap film-film animasi yang diarahkan dan ditulis sendiri oleh Hayao
Miyazaki. Unsur magical-nya
memberikan gravita tidak hanya bagi penonton anak-anak, tapi juga penonton
dewasa seperti saya ini contohnya. Sangat mengesankan sekali.
“Ponyo”
bercerita tentang seorang anak laki-laki usia 5 tahun, Sousuke (Hiroki Doi),
yang memiliki “teman ajaib”. Siapakah teman ajaibnya ?. Dia bernama asli
Brunhilde (Yuria Nara); seperti nama Jerman. Ia berasal dari samudera nan
dalam. Ia lepas dari pengawasan ayahnya yang over-protektif, Fujimoto (George
Tokoro) dan meninggalkan adik-adiknya menuju daratan. Sesampai di daratan, ia
bertemu dengan Sousuke dan mereka saling bersahabat. Sousuke memanggilnya
dengan sebutan Ponyo. Tidak ingin anaknya mendapat bahaya di sekitar manusia,
Fujimoto lantas membawa kembali Ponyo. Kenekatan Ponyo untuk bisa kembali
bertemu Sousuke membuatnya ingin menjadi manusia dan membawa tsunami di daratan.
Sebelum
memanggil dengan sebutan Ponyo, awalnya Sousuke mengiranya sebagai kingyo atau “ikan mas”. Tapi bagi saya,
Ponyo atau Brunhilde tidak nampak seperti ikan. Ia memiliki wajah seperti bayi
yang imut. Rambutnya merah. Perutnya bulat. Kedua tangannya pendek dan tidak
memiliki kaki. Sirip pun tidak ada. Apakah bisa disebut ikan ?. Jika saya dan
Anda punya pandangan seperti itu, maka kita tidak memiliki daya imajinasi yang
kuat layaknya Sousuke. Itulah hal yang membedakan kita dengan Sousuke. Baginya,
Ponyo sudah bukan lagi sekedar ikan atau “makhluk fantasi” lainnya. Melainkan
seorang teman.
“Ponyo”
memiliki elemen fantasi yang begitu kuat seperti halnya film-film karya Hayao
Miyazaki lainnya. Kekuatan imajinasi adalah pondasi kuat dari setiap filmnya.
Dalam “Ponyo” ini, saya membicarakan soal penampakan dari Ponyo itu sendiri.
Selain Sousuke, ada ayahnya yang seorang pelaut bernama Kouichi (Kazushige Nagashima),
ibunya, Lisa (Tomoko Yamaguchi), serta dua wanita tua yang tinggal di panti
jompo tempat Lisa bekerja, Yoshie (Tomoko Naraoka) dan Noriko (Akiko
Takeguchi), dapat melihatnya dalam wujud seekor ikan atau gadis yang
menggemaskan. Sedangkan bagi Toki (Kazuko Yoshiyuki), teman dari Yoshie dan
Noriko, Ponyo mungkin terlihat ‘aneh’. Akibatnya, ia mendapat perlakuan kurang
menyenangkan.
Apa
yang terjadi pada Toki adalah contoh bagaimana Hayao Miyazaki mengkritisi
orang-orang dewasa yang mulai melupakan keindahan fantasi semasa kecil yang
mungkin sudah terlupakan. Saya jadi teringat beberapa waktu lalu ketika
menonton “The Little Prince” (2015). Di sana ada kutipan menarik bahwasanya
ketika seseorang telah menjadi dewasa, tidak seharusnya ia melupakan indahnya
masa kanak-kanak. Masa indah tersebut tetaplah harus dikenang walau betapa
sulitnya kehidupan masa dewasa yang harus dipikul.
Unsur-unsur
dalam film Miyazaki sebelumnya seperti “My Neighbor Totoro” (1988) juga banyak
diusung kembali dalam “Ponyo”. Ingatkah Anda ketika Satsuki dan Mei yang
menceritakan soal Totoro kepada ayahnya ?. Bagaimana pendapat ayahnya ?. Tidak,
ayahnya tidak menyangkal pendapat mereka berdua. Justru sebaliknya, ayahnya
menghibur dan membenarkan apa yang dilihat oleh Satsuki dan Mei. Dalam
kehidupan sehari-hari, memang seperti inilah peran kedua orang tua kepada
anaknya. Ketika seorang anak bertanya akan cara pandangnya yang bersifat
fantasi, tidak seharusnya orang tua menampiknya. Orang tua seharusnya mampu
mengarahkannya agar imajinasi dan daya kreativitas seorang anak berkembang
dengan sangat baik.
Perlu
Anda ketahui sebelumnya bahwa Ponyo adalah perempuan. Kecemburuannya pada teman
perempuan Sousuke adalah bukti awal yang menunjukkannya. Dari sini, “Ponyo”
membangkitkan kembali ingatan kita semasa kecil yang penuh akan keluguan yang
amat menggemaskan. Mungkin dari Anda semua, termasuk saya juga, pernah merasa
memiliki ikatan dengan lawan jenis sewaktu masih kecil. Banyak orang menyebutnya
“cinta monyet”. Menonton “Ponyo”, saya mencoba menggali kembali memori lama
ketika kepolosan nan lucu tersebut pernah lakukan. Ternyata benar !. “Ponyo” mengingatkan
saya akan kenangan indah itu. Konyol, memalukan—terlalu manis untuk dilupakan.
Yang masih gw heranin, knapa Sousuke manggil orang tuanya dgn nama depannya? Bknnya kalo di negara dgn ada ketimuran sperti Jepang, itu trdengar kasar?
BalasHapus