Beberapa waktu yang lalu, saya
terlibat obrolan hangat dengan sahabat yang cukup lama tidak bertemu. Obrolan
tersebut tidak jauh berkutat pada dunia sinema; serius tapi juga diselingi
dengan tawa. Bukan sepuluh menit atau dua puluh menit saja waktu yang kami
habiskan, tapi nyaris tiga jam sampai tenggelamnya sang surya tidak kami
sadari. Obrolan serta diskusi melelahkan namun mengasyikkan itu berakhir pada
rekomendasi sahabat tentang film berjudul “Anonymous” rilisan tahun 2011. Inti
filmnya adalah tentang pembenaran siapa penulis di balik drama-drama terkenal
seperti “Hamlet”, “Macbeth”, atau “Romeo & Juliet”. “Bukan Shakespeare
penulisnya”, kata dia. “Aku juga pernah nonton film serupa, judulnya
Shakespeare in Love”, saya tambahkan. Ia lantas mewajibkan saya untuk menonton
film arahan Roland Emmerich yang naskahnya ditulis oleh John Orloff itu.
Derek Jacobi, seorang aktor dan
sutradara teater mengawali film dengan monolognya. Film kemudian melompat pada
awal 1600 era Elizabeth. Ben Jonson (Sebastian Armesto), seorang penulis naskah
drama, dipaksa oleh Robert Cecil (Edward Hogg), seorang Earl dari Salisbury,
untuk menyerahkan naskah-naskah drama yang diberikan oleh anonymous kepadanya. Siapakah yang dimaksud dengan anonymous ?. Dia adalah Edward de Vere
(Rhys Ifans), Earl dari Oxford. Ia penulis naskah drama yang sering banyak
orang bilang ditulis oleh William Shakespeare. Di sini, Shakespeare diperankan
oleh Rafe Spall; tidak lain seorang aktor teater yang buta huruf. Demi
menyembunyikan jati dirinya, de Vere lantas meminta Jonson untuk mementaskan
setiap naskah yang ditulisnya. Tidak terduga, Shakespeare justru mengambil untung
di balik itu.
Apa alasan kuat sehingga de Vere harus
menyembunyikan identitasnya sebagai penulis naskah drama ?. Perlu Anda ketahui
sebelumnya bahwa pada era Elizabeth, drama disebut-sebut sebagai perbuatan
bid’ah yang sangat ditentang oleh ajaran agama Kristen. Cukup mengejutkannya,
Ratu Elizabeth I (di sini diperankan oleh Vanessa Redgrave), justru begitu
menyukai drama; khususnya komedi. Karakter wanita pada drama kala itu harus
diperankan oleh pria. Para wanita yang bermain dalam drama, dianggap melakukan
perbuatan cabul. Anda juga dapat menemukan referensi yang sama pada film
“Shakespeare in Love” (1999).
Edward de Vere termasuk keluarga bangsawan,
maka sudah sewajarnya bila ia merahasiakan jati dirinya yang sesungguhnya dan
menggunakan nama “anonymous”. Bisa Anda bayangkan sendiri bila publik
mengetahuinya sebagai orang yang berpengaruh di dunia teater masa itu. Kemudian
dari sinilah, naskah tulisan John Orloff mulai menampilkan intrik pada karakter
Edward de Vere : (1) Ia harus merelakan bakatnya dalam menulis yang pada
akhirnya membuat orang lain (Shakespeare) mendapat banyak pujian (2) Cinta
terlarangnya pada Ratu Elizabeth I; walau demikian, inspirasi rangkaian
kata-katanya yang bagaikan pedang itu justru lahir dari Sang Ratu. Bagian kedua
ini mengingatkan saya pada “Shakespeare in Love”, dimana Shakespeare banyak
mendapat inspirasi dari Viola.
Cukup mengejutkan bagi saya adalah
bahwa naskah John Orloff rupanya tidak hanya bicara soal konflik kepemilikan
antara de Vere dan Shakespeare saja; tetapi juga politik. Penggulingan ratu,
pemberontakan Earl dari Essex, penguasaan Irlandia, hingga pengangkatan Raja
James dari Skotlandia; semua ditumpahkan ke dalam film ini. Bicara soal bagian
politiknya, sisi kebenarannya memang bisa ditelusuri lebih mendalam lewat
buku-buku sejarah. Namun bagaimana soal sengketa antara de Vere dengan
Shakespeare ?. Saya tidak yakin soal ini. Dengan kata lain, saya tidak meyakini
dengan penuh bahwa apa yang disampaikan dalam film ini murni dari sejarah. Saya
anggap saja sosok de Vere sebagai penulis asli dari naskah-naskah yang diakui
milik Shakespeare sebagai bagian dari fiksionalisasi semata. Tidak lebih. Tidak
perlu keakuratan sejarah pula, sebab saya menikmati film ini seperti film-film
pada umumnya.
Saya sudah tidak peduli lagi apakah
benar de Vere memang penulis asli drama-drama terkenal tersebut. Untuk lebih
mudahnya, mari kita anggap saja William Shakespeare selaku penulis aslinya.
Dari apa yang saya rasakan, “Anonymous” ini sebenarnya mengangkat tema dari
kumpulan drama-drama Shakespeare yang kerap kali dipentaskan. Di dalamnya
berisikan tragedi, nafsu birahi, iri hati, ambisi, serta politik di dalamnya.
Saya ambilkan contoh : cinta terlarang antara Edward de Vere dengan Ratu
Elizabeth I, merupakan buah dari pengembangan kisah “Romeo & Juliet” yang
sudah banyak kita kenal. Kesimpulan dari contoh ini adalah baik pihak de Vere
dan Shakespeare, keduanya seolah memiliki relasi pada satu sumber. Saya punya
teori sendiri bahwa mungkin saja de Vere dan Shakespeare adalah ‘korban’ dari
fiksionalisasi penulis aslinya. Siapa dia ?. Saya juga tidak tahu.
Roland Emmerich adalah sutradara asal
Jerman yang karyanya bisa kita lihat seperti “Independence Day” (1996),
“Godzilla” (1998), “The Day After Tomorrow” (2004), “10,000 BC” (2008), “2012”
(2009), serta “White House Down” (2013) yang ‘menggelikan’. Ia banyak
menghasilkan film-film dengan bujet besar serta CGI yang mewah pula. Coba lihat
bagaimana Emmerich sanggup membangun ulang era Elizabeth meski dalam sebuah
studio di Jerman. Detil bangunan, lingkungan Kota London yang kumuh serta gelap
dapat dihidupkan dengan sangat bagus. Tidak lupa pula, sentuhan CGI juga
memberikan peran penuh dalam meningkatkan nilai artistiknya.
Great and I have a neat offer: How Much Remodel House old house restoration
BalasHapus