Pernahkah
Anda mendengar mengenai paradoks bernama “Ship of Theseus?” Ya, itu adalah
paradoks yang pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Yunani, Plutarch. Paradoks
itu mengangkat sebuah pertanyaan mengenai identitas dalam sebuah entitas.
Pada
zaman dahulu, Theseus (tokoh mitologi Yunani) dari Athena datang ke Crete
dengan kapal untuk mengalahkan Minotaur. Setelah berhasil mengalahkan Minotaur,
kapalnya lantas disimpan untuk dikenang. Karena semakin bertambahnya usia,
kapal Theseus mengalami pelapukan. Setiap bagian dari kapalnya kemudian diganti
dengan materi baru hingga tidak menyisakan satu pun bagian asli. Pertanyaannya
adalah apakah kapal tersebut masih milik Theseus yang dulu? Paradoks itu
menjadi judul sekaligus bahasan dalam film yang disutradarai oleh Anand Gandhi
ini.
Secara
garis besar, “Ship of Theseus” terbagi menjadi tiga segmen cerita. Sebagian
besarnya mengambil latar di Kota Mumbai, India.
Segmen
pertama : Aaliya Kamal (Aida El-Kashef) adalah fotografer dari Mesir. Ia menikah
dengan pria India dan tinggal pula di sana. Walau seorang fotografer pro dan
kerap mengadakan pameran, Aaliya mengalami masalah penglihatan (saya menduga
katarak). Pada adegan awal diceritakan bila Aaliya masih dalam proses
transplantasi kornea sementara ia aktif berburu foto.
Aaliya
memiliki sense yang tinggi dalam
mengabadikan setiap momen menarik dengan kameranya. Pendengaran, penciuman,
hingga indera perabanya berpengaruh besar dalam menentukan seberapa indah hasil
jepretannya. Begitu penghilatannya kembali, Aaliya justru merasa kehilangan
kemampuannya dalam membidik gambar indah nan dramatis. Seperti dalam paradoks
“Ship of Theseus,” apakah Aaliya masih seseorang yang sama?
Segmen
kedua : Tersebutlah seorang pendeta taat bernama Maitreya (Neeraj Kabi).
Berbeda dengan pendeta lain yang satu aliran dengannya, Maitreya adalah sosok
yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Ia ikut mengajukan petisi di
pengadilan dalam menentang eksploitasi pada hewan meski di baliknya bertujuan
baik.
Suatu
ketika, Maitreya didiagnosis menderita liver
cirrhosis dan mengharuskannya untuk dioperasi. Pengobatannya pun diketahui
berhubungan dengan orang-orang yang selama ini ditentangnya. Ternyata, ia lebih
memilih mati secara perlahan daripada diobati dengan media yang menurutnya
bertentangan dengan apa yang ia yakini. Namun, pertanyaan dari sahabatnya yang
seorang pengacara berhasil mengubah cara pandangnya.
Segmen
ketiga : Navin (Sohum Shah) seorang pialang saham baru saja mendapatkan ginjal
baru. Ia seorang yang oportunis. Kemana-mana ia membawa komputer dan melihat
laju perkembangan saham dan keuangan. Sederhananya, apa yang kita lihat adalah
Navin seorang yang hanya memikirkan masalah uang.
Pemikirannya
berubah saat ia mengira bahwa ginjalnya berasal dari pria miskin yang dicuri
dan dijual oleh oknum dokter. Setelah mengetahui kebenarannya, Navin membantu
pria miskin itu mendapatkan kembali ginjalnya. Mengejutkannya, pria miskin itu
justru lebih memilih uang daripada ginjalnya kembali.
Paradoks
“Ship of Theseus” adalah kunci dalam memahami keseluruhan plot dalam film ini.
Kesemua karakter utama dalam ketiga segmen memiliki satu permasalahan yang sama
terkait identitasnya sebagai manusia. Apakah ia masih sama seperti dahulu
setelah melewati fase-fase yang membuatnya belajar mengenai kehidupan ini?
Bagi
saya tidaklah terlalu sulit dalam mencerna apa yang disampaikan oleh Anand
Gandhi di sini. Ketiga karakter utama tidaklah jauh-jauh dari apa yang
terangkum dalam paradoks yang telah saya tuliskan di paragraf atas. Aaliya menginginkan
penglihatan kembali, tapi setelahnya ia malah kehilangan kemampuan uniknya
dalam mengambil gambar. Maitreya memahami bahwa hidup adalah anugerah dan untuk
mendapatkannya, ia harus berhenti menjadi idealis. Navin telah belajar bahwa
ada yang lebih penting dari uang. Sebaliknya, ia tahu bahwa masih ada yang
menganggap uang adalah segalanya.
Aaliya,
Maitreya, dan Navin dipertemukan dalam satu adegan pada segmen terakhir. Ketiganya
sama-sama memiliki masalah kesehatan pada organ tubuhnya; mata – hati – ginjal.
Di luar persoalan pencarian identitas yang melekat dengan paradoks dalam
judulnya, “Ship of Theseus” juga mengungkapkan banyak permasalahan seperti cinta,
idealisme, keadilan, kehidupan, dan juga kematian.
“Ship
of Theseus” membuat saya belajar lagi bagaimana memandang indah hidup ini.
Terkadang manusia tidak merasa cukup atas apa yang dimilikinya selama ini dan
meminta lebih. Yang tidak disadari adalah apa yang telah diterima merupakan
sebuah berkah bahwasanya orang lain belum tentu memiliki sesuatu yang serupa.
Film ini benar-benar mampu membuat Anda bertanya-tanya dalam diri apakah telah
bersyukur setiap harinya?
pasti seru nih filmnya, dari reviewnya udah seru seperti ini
BalasHapus4/4 ? whoa. wajib tonton nih
BalasHapusDownloadnya di mana ya
BalasHapusDownloadnya di mana ya
BalasHapus