Ketika
akan menonton film bertemakan survival,
ada banyak hal yang tiba-tiba terlukis dalam benak. Contoh yang bisa saya
tuliskan adalah perjuangan hidup di tengah kesulitan seperti tersesat dan
kesulitan pangan. Dalam proses bertahan hidupnya, si karakter penyintas juga
sudah terbiasa dalam menghadapi Mother
Nature yang seakan tidak berkawan. Hampir semua film survival memiliki definisi yang sama persis. Tidak terkecuali film
arahan Stephen Fingleton yang mengeksplorasi betapa kerasnya hidup di alam liar
ini.
“The
Survivalist” memakai latar dystopia.
Pedalaman hutan yang masih rimbun pepohonan menjadi saksi si karakter utama.
Sebut saja ia Sang Penyintas (Martin McCann). Film ini tidak secara rinci
mengenalkan namanya. Mungkin saja Stephen Fingleton yang juga menulis naskahnya
ingin menguatkan kesan karakter yang misterius dan benar-benar menyatu dengan
alam.
Sang
Penyintas tinggal dalam sebuah rumah kabin di tengah hutan. Ia makan dari hasil
hutan seperti jamur liar. Untuk memenuhi asupan setiap hari, ia juga menanam
sendiri aneka tumbuhan di depan rumah kabinnya. Hampir tidak ada jenis hewan
yang bisa dijerat untuk dimakan. Malahan yang ada justru sesama penyintas yang
terkena jebakannya. Mereka tidak lain juga berjuang dari bencana kelaparan yang
melanda era dalam film ini.
Telah
tujuh tahun Sang Penyintas hidup sendiri di tengah belantara. Bermodal senapan
laras panjang, ia berhati-hati bila ada penyintas lain yang mencoba mendapatkan
kerajaannya.” Hidupnya penuh dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Setiap waktu
yang ada merupakan ancaman yang dapat merenggut jiwanya.
Suatu
ketika, datanglah dua orang wanita meminta makan. Kali ini benar-benar
berbeda—begitu pikirnya. Biasanya, hanya para pria yang selalu ia temui. Wanita
adalah manusia langka yang ia lihat selama tujuh tahun ini. Wanita yang lebih
tua bernama Kathryn (Olwen Fouere)—rambutnya panjang sebahu berwarna putih.
Satunya lagi adalah Milja (Mia Goth)—tidak lain cucunya sendiri.
Tidak
mudah bagi seorang asing untuk bersosialisasi dengan seorang penyintas. Apalagi
sampai meminta jatah makanan. Sang Penyintas tidak lantas berbaik hati dengan
memercayai mereka berdua. Kewaspadaan ia tingkatkan. Penawaran untuk barter
dari wanita itu tidak membuat Sang Penyintas langsung menyanggupi permintaan. Ia
masih todongkan laras panjangnya di depan Kathryn dan Milja. Bahkan ia
menggeledah dengan amat teliti akan apa yang dibawa oleh mereka.
Di
sini karakter Sang Penyintas dibangun dengan kuat. Ia bukan sekedar penyintas
yang menginginkan bantuan orang lain demi bertahan hidup. Bagi dia, orang lain
adalah musuh. Hanya diri sendirilah yang sepatutnya dipercayai. Kesendirian
selama bertahun-tahun tidak ayal membuat pribadinya semakin kuat dan tangguh.
Karakter
Kathryn dan Milja bukan sekedar numpang lewat. Mereka berdua mengisi plot untuk
menjadi semakin menarik. Stephen Fingleton begitu cerdasnya dalam menempatkan
dua karakter ini; akibatnya saya terjebak pada pilihan untuk memercayainya atau
tidak. Naluri liar Sang Penyintas juga diuji coba seberapa ia yakin jika
Kathryn dan Milja bukanlah bermuka dua.
Sang
Penyintas hidup di dunia dimana siapa pun adalah musuh. Di dunia tersebut,
tidak berlaku lagi kebiasaan memberikan rasa iba kepada orang yang meminta
bantuan. “Mereka pasti orang jahat”—seperti itu kira-kira apa yang ada dalam
pikiran setiap penyintas. Tidak ada yang lebih dipercayai selain diri sendiri.
“The
Survivalist” memberikan pengalaman mengagumkan dalam menyelami kehidupan
seorang penyintas yang begitu kejam, keras, dan liar. Film ini menunjukkan
kepada kita bahwasanya alam ternyata bisa menjadi lawan yang menakutkan.
Sebagaimana hukum alam, bahwa siapa yang kuat dialah yang akan berjaya. Hal itu
tidak lain juga merupakan proses regenerasi tiap individu. Dimana ada yang
lemah, ia akan ditaklukkan oleh yang kuat. Kemudian datang lagi yang lebih kuat
dan begitulah seterusnya.
Film Bagus
BalasHapusFilm yang keren banget nih.
BalasHapus