“The
Boy and the Beast” adalah film animasi 2D kedua dari Studio Chizu yang pernah
saya tonton setelah “Wolf Children” yang rilis sekitar dua tahun lalu. Anda
bisa membaca ulasan saya untuk “Wolf Children” di blog ini.
Kedua
film ini disutradarai oleh Mamoru Hosoda; seseorang yang banyak dikenal dalam
pengaruhnya yang besar dalam animasi Jepang. Hosoda sendiri juga sempat membuahkan
karya dalam beberapa episode di “One Piece,” “Naruto,” hingga “Dragon Ball.”
Lewat
Studio Chizu, Hosoda telah menelurkan empat buah karya, meski baru dua saja
yang telah saya saksikan. Kebanyakan karya Hosoda banyak tercurahkan pada kisah
fantasi dengan tokoh mythical creature
di dalamnya. Bisa Anda lihat sebelumnya dalam “Wolf Children” yang mengedepankan
kisah persaudaraan dua Manusia Serigala yang mencari jati dirinya. “The Boy and
The Beast” tidak terkecuali.
Menceritakan
seorang bocah laki-laki bernama Ren (Aoi Miyazaki), ia terbuang dari lingkungan
keluarganya semenjak ibunya meninggal. Ayahnya juga tidak tahu rimbanya. Tidak
ingin diasuh oleh walinya, ia memilih untuk melarikan diri dari rumah dan hidup
di jalanan Shibuya. Usia sembilan tahun ketika itu.
Di
sebuah gang sempit, ia bertemu dua sosok pria misterius memakai jubah. Salah
satu yang bertubuh besar mendekatinya dan bahkan menawarinya menjadi murid.
Terkejutlah Ren. Ia bukan seorang manusia, melainkan monster berwujud beruang
merah besar dengan sebilah pedang di punggungnya. Ia bernama Kumatetsu (dalam
Bahasa Jepang bermakna “beruang besi”).
Penolakan
datang dari teman satunya yang bernama Tatara (Yo Oizumi) dan berwujud monyet.
Tidak berapa lama, keduanya pergi lalu menghilang di sebuah gang. Ren merasa
inilah jalan yang harus ia tempuh. Dikejarnya Kumatetsu dan Tatara di tengah kerumunan
pejalan kaki di Shibuya. Sampailah ia di sebuah gang dengan seekor kuda membawa
beban. Diikutinya kuda tersebut dan sampailah ia ke dimensi lain yang bernama
Beast Kingdom.
Semua
penghuni Beast Kingdom berwujud binatang tapi dengan tubuh layaknya manusia.
Kehidupan mereka sehari-sehari juga layaknya seperti manusia biasa. Jika Anda
perhatikan dengan rinci, jenis hewan sebagai wujud penduduk di situ adalah 12 shio (zodiak) dalam penanggalan Tiongkok.
Ada kuda, babi, monyet, kambing, dll. Terkecuali untuk Kumatetsu yang berwujud
beruang dan saingan beratnya yang berwujud babi hutan, Iouzen (Kazuhiro
Yamaji).
Keduanya
adalah petarung paling tangguh di Beast Kingdom. Tersebutlah wasiat terakhir
dari pemimpin Beast Kingdom, Soushi (Masahiko Tsugawa) yang berwujud kelinci
putih. Ia mengatakan akan bereinkarnasi menjadi Dewa, maka dari itu ia butuh
seseorang yang akan menggantikan posisinya. Kumatetsu dan Iouzen adalah
kandidat terkuat.
Jika
Iouzen berharap menggantikan Soushi lalu menjadi Dewa, tidak halnya dengan
Kumatetsu. Ia bertarung hanya sekedar rivalitas semata. Kumatetsu juga
dipandang serampangan, bodoh, serta pemalas oleh penduduk sekitar. Berbeda
dengan Iouzen yang dipandang terhormat.
Ada
sisi kesepian dalam diri Kumatetsu. Hal yang sama juga dimiliki oleh Ren. Maka
tidak mengherankan bila akhirnya Ren menyetujui untuk menjadi murid dari
Kumatetsu. Awal hubungan keduanya memang berat. Keseharian mereka dipenuhi
dengan love-hate relationship. Tapi
seiring waktu, keduanya saling melengkapi dari kekurangan masing-masing. Maka,
nama besar Kumatetsu dan Ren pun terdengar seantero Beast Kingdom.
Plot
dalam naskah tulisan Mamoru Hosoda sendiri memang mudah diterka. Beberapa
komponen di dalamnya sudah cukup familiar bagi kita yang menyaksikan kisah from zero to hero. Bagian yang
menyegarkan dalam “The Boy and The Beast” adalah pada penghantaran ceritanya
yang penuh dengan imajinasi. Selain itu, karakternya juga dibuat tidak satu
dimensi. Lagipula, antar karakternya juga saling menciptakan relasi yang kuat sehingga
hadirkan dramatisasi dengan kejutan-kejutan menyenangkan.
Filmnya
dibuka dengan aura depresif tentang seseorang yang merasa terbuang dari
lingkungannya. Kemudian Mamoru Hosoda menggerakkan cerita dengan sentuhan
komedi yang manis dan tidak mudah untuk dilupakan. Di film ini Hosoda berusaha
bercerita mengenai “ikatan” yang kuat antara seseorang yang mana bisa tercipta
dengan perasaan senasib. Tidak peduli tanpa ikatan darah sekalipun, kasih
sayang itu bisa diciptakan.
Mantap
BalasHapusijin share ya kak makasih
BalasHapuspilih nomor xl prioritas