“Rosemary’s Baby” adalah contoh film
horror yang sukses dalam menggabungkan elemen supernatural kuno dalam balutan seting di era modern. Menggunakan
pendekatan psikologi, “Rosemary’s Baby” menakut-nakuti lewat teror alam bawah
sadar dan meninggalkan rasa tidak nyaman bagi penonton. Kegelisahan yang
dialami oleh karakter utama dapat menular dengan mudah dan penonton pun
terjebak dalam situasi yang sama. Ada perasaan yang ‘aneh’ seperti pada
beberapa bagian surealis, membuat merinding tapi tidak akan sampai membuat menjerit.
Roman Polanski, sang sutradara, meracik film ini dengan penceritaan yang terbilang
lambat, namun mencengkeram tanpa perlu ‘meledak-ledak’.
Kisahnya dimulai ketika pasangan suami
istri Woodhouse, Guy (John Cassavetes) dan Rosemary (Mia Farrow) pindah ke
sebuah apartemen bergaya klasik Bramford. Menempati kamar yang sebelumnya
ditinggal mati pemiliknya. Guy seorang aktor yang kurang begitu gemilang,
sedangkan Rosemary seorang istri yang mendamba momongan. Keberadaan mereka
mengundang simpati dari tetangga kamar, Roman Castevet (Sidney Blackmer) dan
istrinya, Minnie (Ruth Gordon). Begitu mengenal akrab, pasangan tua Roman dan
Minnie memberikan semacam kalung pada Rosemary yang katanya berisi “akar
Tannis”. Tidak lama, hamillah Rosemary. Siapa Roman dan Minnie ?. Ada apa
dengan kalung berwarna perak yang mereka berikan ?.
“Rosemary’s Baby” adalah debut Roman
Polanski untuk area Hollywood, dan juga merupakan bagian kedua dari “Apartment
Trilogy”. Sepertinya, bagian pertama maupun ketiga dalam trilogi tersebut bukan
merupakan rangkaian cerita yang saling berhubungan. Hanya saja, kata
“apartment” lebih ditekankan sebagai seting cerita dalam ketiga film tersebut. Bukan
tanpa alasan bagi saya untuk memilih “Rosemary’s Baby” terlebih dahulu
ketimbang “Repulsion” (1966) maupun “The Tenant” (1976). Selain karena
informasi yang baru saya dapatkan, “Rosemary’s Baby” memang sudah memiliki
‘nama’ terlebih dahulu di telinga saya. Khususnya tema ‘bayi setan’ atau ‘anak
setan’ yang coba diangkat, adalah alasan kuat.
‘Bayi setan’, frase yang cukup dikenal
luas terutama bagi pecinta film horror tanah air. Saya tidak tahu seberapa
terkenalnya frase itu di lingkungan film-film luar negeri. Hanya saja, bagi
pecinta film lokal memang sudah mendarah daging. Bukan hanya lewat penggambaran
dalam film, bayi setan sudah merupakan bagian dari cerita rakyat yang turun
temurun dari mulut ke mulut. “Gendruwo”, “gandarwa, atau “gandarva” dalam
pelafalan Hindi, kerap kali dijadikan ‘tokoh utama’ dalam kisah-kisah tersebut.
Diangkat dari novel berjudul sama karya Ira Levin, “Rosemary’s Baby” mengangkat
hal serupa yang telah menjadi mitos dalam sebagian besar masyarakat Indonesia
itu ke dalam horor psikologi yang meneror pikiran.
Ada salah satu sekuen, dimana Rosemary
memakai gaun merah cerah diikuti selingan romantis bersama Guy. Hingga kemudian
mereka berdua berhubungan suami istri dan mimpi buruk menimpa Rosemary. Saya
menyebutnya dengan “sekuen diperkosa”. Asal tahu saja, entitas gaib yang bisa
disebut dengan “setan”, ada di balik sana. Mengapa gaunnya berwarna merah ?.
Ada apa dengan warna merah ?. Warna yang menyimbolkan darah sebagai bagian dari
occult kah ?. Sebagai tanda dari
wujud cinta dan romantisme kah ?. Mengikuti hasrat dalam diri yang menggebu kah
?. Sepertinya semua opini saya ini bisa dikatakan tepat. Termasuk mungkin saja
si setan memiliki kelainan fetish.
Salah satu keunggulan yang dimiliki
oleh “Rosemary’s Baby” adalah pada pengambilan gambarnya yang memukau untuk
film di era tersebut. Ada salah satu sekuen mimpi yang diambil dengan cara yang
menarik dalam menggabungkan lebih dari satu seting adegan dalam satu bingkai. Selain
kekaguman saya dalam cara menghadirkan gambarnya, sekuen itu terasa surealis
dan paling magis dari yang ada dalam keseluruhan film. Beberapa adegan semacam
ritual kultus dan pesta di atas kapal pesiar, menegaskan apa yang terjadi dalam
dimensi lain. Aneh dan mencekam. Cara menghadirkan kengeriannya lewat visual
itu begitu indah dan memukau. Lantas, mengapa harus ada gambar di langit-langit
Kapel Sistina ?.
Bicara soal performa, saya akui Mia
Farrow telah menghadirkan yang terbaik di sini, bila melihat jejak
filmografinya yang belum pernah mendapat peran utama di film-film sebelumnya.
Aktingnya meyakinkan sebagai seorang wanita yang (paranoid) takut kehilangan bayi (dalam kandungan) yang telah lama
ditunggu. Mungkinkah, perceraiannya dengan Frank Sinatra selama pembuatan film
ini turut meningkatkan kualitas aktingnya sebagai wanita yang putus asa ?. Bisa
saja. Tapi sayangnya, ia harus di-snub
dari Oscar. Sebagai gantinya, Ruth Gordon mendapat jatah sebagai “Aktris
Pendukung Terbaik”.
Roman Polanski lewat naskah yang
ditulisnya sendiri, terbukti cerdas dalam mempermainkan persepsi saya selama
menontonnya. Ia menggiring saya dalam mencari fakta-fakta terkait penyihir,
ritual ilmu hitam, dan sejenisnya. Benarkah mereka nyata ada seperti yang
dituduhkan oleh Rosemary ?. Ataukah hanya sekedar pikiran-pikiran yang tercipta
dalam dirinya ?. “Rosemary’s Baby” sebenarnya bisa memiliki alternate ending. Saya pikir, Polanski
yang setia pada novelnya itu lebih memilih cara ‘aman’ untuk menuntaskan
cerita. Bagi saya sendiri yang tidak pernah membaca novelnya, Polanski sudah
memberikan yang terbaik melalui ‘kesetiaannya’ itu. OK, tidak ada masalah kalau
begitu.
Opening title-nya
diikuti dengan lantunan lullaby yang
pada bagian credit-nya ditulis
dengan huruf tegak bersambung klasik berwarna merah muda. Siapa yang
melantunkan lagu pengantar tidur tersebut ?. Rosemary kah ?. Jika benar, maka
lagu tersebut untuk menenangkan anaknya yang menangis keras di akhir film.
Sekedar memberi tahu, Rosemary melahirkan anaknya pada tanggal “6 Juni 1966”.
8 / 10
keren, udah lama pengen lihat film ini tapi belum sempat.
BalasHapus