“The Assassin” adalah contoh langka bagaimana martial arts dikemas dengan sentuhan
film arthouse. Mungkin yang muncul
dalam benak adalah bagaimana film-film yang mengedepankan aksi tangan kosong
maupun senjata tradisional ini akan dibuat lebih minimalis, mengingat film-film
arthouse lebih banyak menggunakan
penceritaan dengan tempo yang lambat. Kenyataannya memang Hou Hsiao-Hsien lewat
“The Assassin” ini memang banyak meminimalisir adegan-adegan pertarungannya
tapi tetap tidak kehilangan bagian keindahannya. Daya tarik terbesarnya adalah
bagaimana film martial arts satu ini
dibuat lebih terasa unsur seninya dari paduan tata visualnya.
“The Assassin” mengambil seting abad 8 ketika
berkuasanya Dinasti Tang. Salah satu wilayah kekuasannya yang bernama Weibo, mendeklarasikan
sebagai yang terkuat dan mengancam eksistensi kekaisaran. Di lain tempat ada Nie
Yinniang (Shu Qi), seorang pembunuh handal yang spesialis dalam ‘membersihkan’
pejabat pemerintahan yang korup. Suatu ketika sang guru yang seorang pendeta
Tao, Jiaxin (Fang-Yi Sheu) memerintahkannya untuk menghabisi Pangeran Tian
Ji’an (Chang Chen), yang tidak lain masih merupakan sepupunya.
Bila dianalogikan, “The Assassin” bagaikan singa
betina lapar di tengah Taman Nasional Serengeti yang secara pelan-pelan mengintai
impala, lalu menyergapnya dengan sekali serangan. Ataukah, ini analogi yang
lebih sesuai pada Yinniang ?. Sejak usia 10 tahun, dibesarkan oleh seorang
putri yang kemudian menjadi seorang pendeta, mengubah Yinniang menjadi pembunuh
profesional yang lebih menekankan pada ‘tenang namun mematikan’. Seperti ninja bukan ?. Hampir semua penggambaran
tersebut menempel kuat pada sosok Yinniang.
Rambut hitam panjang terurai, berpakaian serba
hitam, dan sebilah pisau kecil yang terlihat sangat efisien dalam pembunuhan
jarak dekat. Mungkin disebut kunai
jika dipakai oleh ninja. Yinniang
beberapa kali ‘tertangkap’ kamera tengah duduk sambil mengintai mangsa di
langit-langit sebuah rumah. Alurnya yang berawal tenang, tiba-tiba mendadak
membuat kaget ketika adegan aksi dilontarkan. Tetap memukau dengan kuantitas
yang meski sedikit. Dengan bagian aksinya tersebut, “The Assassin” kurang cocok
bagi mereka yang kerap kali mengikuti film-film yang dibintangi Jackie Chan.
“House of The Flying Daggers” (2004) atau “Crouching
Tiger Hidden Dragon” (2000) adalah sedikit contoh bagaimana film martial arts dihadirkan dengan cara
berbeda sehingga unsur seninya tampil menonjol. Bukan asal memukul, menendang,
atau menghunuskan pedang. Tiap gerakannya dikoreografikan dengan sangat bagus,
menghanyutkan, serta memanipulasi mata. Martial
arts, sesuai namanya ia memiliki kandungan kuat berupa kesenian, daripada
sekedar menampilkan aksi adu jagoan. Film semacam inilah yang meyakinkan saya
bahwa, “hey...inilah martial arts yang sesungguhnya!”.
Bukan hanya dari sisi koreografinya saja yang
membuat kita sebagai penonton terlena, “The Assassin” juga menghadirkan
sinematografi yang sungguh sangat indah. Menyegarkan mata, di saat bersamaan
kita terlena bahwa Yinniang mungkin saja ada di sekitar kita. Sang
sinematografer, Mark Lee Ping Bin (sering berkolaborasi dengan Hou) menghadirkan
pemandangan-pemandangan indah dengan hamparan bunga yang menawan hati hingga
tebing tinggi yang penuh kabut. Tidak hanya mata yang dimanjakan, telinga pun
juga ikut. Suara-suara menyejukkan seperti desiran angin atau sekedar
serangga-serangga kecil tidak lupa diikut sertakan.
Saya sangat menikmati “The Assassin”. Menikmatinya
mulai dari awal hingga akhir. Menikmati tiap pertarungannya, dialognya,
sinematografi indahnya, dan tentunya ceritanya. Saya hampir terus menerus
memuji keindahan “The Assassin”, seakan tidak ingin semua ini berakhir terlalu
cepat. Inikah karya sutradara besar asal Taiwan yang namanya sering digaungkan
itu ?. Hou tahu dengan tepat bagaiamana menghibur saya sebagai seseorang yang
mengaku menyukai film-film Asia Timur berbau martial arts.
“The Assassin” lewat naskah yang ditulis oleh 4
orang, salah satunya adalah Chu Tien-wen dan Hou sendiri memasukkan ‘perasaan’
pada karakter utamanya ini yang notabene seorang pembunuh mematikan. Ia
memberikan dilema pada karakternya, membuatnya tampak lemah daripada penampakan
luarnya. Sejatinya Hou tidak mencoba melemahkan sang karakter utama, tapi
memberikan ‘hati’ agar kita melihat bahwa pembunuh ahli sekalipun masihlah
tetap seorang manusia. Saya tahu ini bukan ide yang baru, tapi Hou mengemasnya
dengan sangat bagus sehingga bagian klisenya membuat saya tidak peduli.
Tempaan yang keras dan mematikan hati nurani,
adalah salah satu cara mendidik mesin pembunuh yang ditakuti. Menjauhkannya
dari dunia luar dan orang-orang yang disayangi, terbukti mematikan empati. Tapi
Yinniang adalah bukti pengecualian itu. Shu Qi memainkan peran Yinniang dengan
sangat bagus dan anggun sebagai seorang pembunuh. Tatapan mata yang dingin
dipadu dengan jatah dialog yang sedikit, pesonanya sulit tertandingi. Saya pun
teringat bagaimana Shu Qi begitu mempesona tiap kali bermain dalam film aksi
macam “So Close” (2002).
8,5 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !