Pertama kali mengenal karya R.L. Stine
ini lewat adaptasi serial tv yang juga ditayangkan di salah satu stasiun tv di
negeri ini. Jika saya mencoba untuk mengingat-ingatnya lagi, saya lupa tahun
berapa. Hanya saja seingat saya, pemutarannya di waktu sore. Dengan keberadaan
serial tv “Goosebumps” itu, sore saya menjadi waktu paling menyenangkan
sepanjang hari. Hingga kini, sebagian besarnya telah lupa episode apa saja yang
pernah saya tonton. Di antara semuanya, mungkin episode “The Haunted Mask”
adalah yang paling membekas dalam pikiran. Masuk akal saja, sebab episode satu
itu terus berkelanjutan sampai beberapa episode berikutnya.
Dalam adaptasi pertama ke dalam film
ini, “Goosebumps” menggunakan cerita biografi-fiksi tentang R.L. Stine yang
diperankan oleh Jack Black. Seperti halnya dalam kehidupan nyata, R.L. Stine di
sini seorang penulis novel horror--hidupnya nomaden. Adalah tetangga barunya,
Zach (Dylan Minnette) menemukan fakta bahwa R.L. Stine sering bermasalah dengan
dengan anak semata wayangnya, Hannah (Odeya Rush). Sebelumnya, Zach sempat
berkenalan dengan Hannah meski mendapat pertentangan dari ayahnya, Stine. Suatu
ketika, ketidaktahanan Zach melihat Hannah yang dikasari ayahnya, membuat ia
dan teman barunya, Champ (Ryan Lee), secara tidak sengaja membuka buku
misterius dan melepaskan Snowman dari dalamnya.
Cukup mengejutkan bagi saya adalah
bahwa “Goosebumps” dibuat dengan pacing
yang terbilang cepat. Tidak butuh waktu lama bagi penonton untuk memulai
keseruan berpetualang bersama para karakter utama dan hantu (atau monster lebih
tepatnya). Pengenalan para karakter seperti Zach, Hannah, dan Champ terbilang
singkat tapi sanggup dikemas padat sehingga tidak perlu penggalian lebih
mendalam, karakter tersebut menjadi likable.
Berbeda dengan Zach dan Hannah yang diset dalam mode ‘normal’, Champ adalah
karakter komikal yang menjadi pusat kelucuan di sini. Yahh, secara total film
ini cukup menghibur saya dengan segala candaannya dan tidak terasa garing.
“Goosebumps” disutradarai oleh Rob
Letterman. Sekitar 5 tahun yang lalu ia menyutradarai “Gulliver’s Travels” yang
juga dibintangi oleh Jack Black di posisi leading
role. Sayangnya, dalam film ini, pesona Jack Black sebagai seorang komedian
harus tenggelam dari karakter lain; Champ dan Zach. Tidak banyak melontarkan
guyonan, Jack Black bermain dengan standard
dan cenderung normal-normal saja. Untunglah, perannya sebagai ayah yang over-protective itu tidak menjadi
menyebalkan. Naskahnya mengharapkan ia dibuat sebagai sosok penulis yang sociopath, tapi kembali lagi hasilnya
tidak sesuai dengan rancangan. Ia terlalu normal untuk karakter yang seharusnya
jauh dari normal.
Naskah “Goosebumps” ditulis oleh
Darren Lemke. Secara keseluruhan, plotnya memiliki formula yang sangat
sederhana sekali; misi mengembalikan hantu (monster) kembali ke dalam buku.
Seperti misi-misi sederhana dalam film-film di kelas serupa, film ini akan
banyak melibatkan chase scene. Snowman, Werewolf, The Giant
Mantis, Living Gnomes, hingga Slappy The Dummy adalah daftar para monster yang
meramaikan film ini. Semua dibuat dengan gaya cartoonish. Saya sempat iseng memerhatikan posternya. Jelas sekali
terpampang Jack-o’-Lantern di sana. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, ke
mana perginya Jack-o’-Lantern ?. Mungkin saja ia menjadi karakter minor di sini, berbeda dengan yang saya
sebutkan sebelumnya. Namun mengingat penampakannya di poster dalam ukuran yang
cukup besar, semestinya Jack-o’-Lantern punya andil lebih di sini.
Selama menonton “Goosebumps”,
perhatian saya terpaku pada bagian third
act. Rob Letterman sengaja menjadikan third
act tersebut sebagai bentuk pemuas hasrat bagi para pecinta horror atau mungkin saja bagi fans berat R.L. Stine berikut dengan
karya-karyanya. Entah apa yang ada dalam benak penulis naskahnya, third act tersebut terlihat seperti
bentuk daur ulang dari “The Cabin in The Woods” (2012); lengkap dengan badut
psikopat yang juga mirip dengan yang ada di “Cabin”. Setidaknya ada tiga buku
dari R.L. Stine yang ia perkenalkan karakter “Murder The Clown” di dalamnya.
Badut itulah yang muncul dalam “Goosebumps” ini. Tidak tahu mengapa, badut
tersebut lebih mirip dengan “Pennywise The Dancing Clown” yang ada dalam novel
“It” karya Stephen King. Nah, kemudian saya berpikir lagi; di sini siapa yang
‘meniru’ siapa ?.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat
berkunjung ke rumah teman yang mengoleksi cukup banyak novel-novel karya R.L.
Stine. Pastinya, ia penggemar berat. Dalam rak bukunya, tertata rapi novel R.L.
Stine selain manga Detective Conan.
Dari seluruh karya Stine, baru satu buku yang sudah saya baca. Judulnya “Broken
Hearts”. Ketika menulis ulasan ini, saya jadi teringat masa SMP dimana saya
gemar membaca novel seram karya Nazaruddin. Waktu itu, novel tersebut menjadi
idaman teman-teman sebaya karena unsur menyeramkannya yang banyak diangkat dari
pesona mistis lokal. “Goosebumps” mungkin belum menggaet saya sepenuhnya. Tapi
bagi para pecinta novelnya, film ini adalah bentuk ‘layanan kepuasan’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !