Beberapa
waktu lalu, saya sempat menggeledah isi dari external harddisk dengan recovery
software, berharap menemukan kembali film-film yang telah terhapus. Saya
ingat, ketika itu tengah krisis film untuk ditonton. Salah satu yang cukup
mengagetkan adalah temuan film “To Kill a Mockingbird” ini. Saya mencoba
kembali mengurai ingatan-ingatan lalu, sejak kapan saya pernah memiliki film
ini ?. Tidak pernah. Sampai kemudian saya teringat bahwa teman saya pernah
meminjam external harddisk dan
menyimpan film ini—lalu kemudian ia memindahkan dalam laptopnya. Tidak asing
lagi dengan judulnya, saya pun memastikan diri untuk menontonnya di saat yang
tepat. Inilah film yang memenangkan tiga Oscar (dari delapan nominasi), salah
satunya Best Picture meski kemudian
tumbang dari “Lawrence of Arabia”.
Bercerita
tentang apakah film ini ?. “To Kill a Mockingbird” bercerita tentang seorang
gadis 10 tahun yang menjadi saksi akan ketidakadilan di kampung halamannya,
Maycomb (kota fiksi), Alabama. Gadis tersebut bernama Scout Finch (Mary
Badham), tinggal bersama ayahnya, Atticus (Gregory Peck) dan kakak
laki-lakinya, Jem (Phillip Alford) di era 30-an. Atticus adalah seorang
pengacara, tampan, berhati lembut, dan seorang ayah yang penyayang. Suatu
ketika, Atticus menjadi pembela bagi Tom Robinson (Brock Peters), seorang pria
kulit hitam yang dituduh memerkosa wanita kulit putih. Scout, Jem, dan teman
baiknya, Dill (John Megna), seringkali mengendap-endap masuk persidangan tanpa
mengerti apa yang dilihatnya.
Film
ini bertutur melalui sudut pandang seorang Scout dewasa (Kim Stanley) dalam
bentuk voice-over. Menceritakan kisah
hidupnya bersama keluarganya yang sederhana, tinggal di Maycomb yang terkenal
akan hawa panasnya ketika itu. Seperti halnya anak kecil pada umumnya, Scout,
Jem, dan Dill kerap kali bertingkah menggemaskan tanpa tahu bahwa apa yang
mereka lakukan mungkin menyakiti orang lain. Salah satunya adalah menjahili “Boo”
Radley (Robert Duvall), dimana masyarakat sekitar menyebutnya sebagai “orang
gila”. Sebuah kewajaran bagi anak-anak kecil yang belum tahu apa-apa. Di saat
itu pula saya teringat masa kecil yang sering melakukan hal serupa, menganggap
apa yang dilakukan benar adanya. Kepolosan mereka bertiga juga nampak ketika
mereka memasuki persidangan Tom Robinson; entah apa yang mereka pikirkan,
sidang yang menyangkut nyawa tidak bersalah itu seolah tidak berarti apa-apa
bagi mereka.
“To
Kill a Mockingbird” disutradarai oleh Robert Mulligan. Naskahnya ditulis Horton
Foote, adaptasi dari novel berjudul sama karya Nelle Harper Lee di tahun 1960.
Konflik apakah yang coba diangkat dalam film ini ?. Seperti kebanyakan, film
ini mengangkat isu rasial yang hingga kini pun masih relevan, baik di Amerika
maupun di luarnya. Court drama ini
berbicara soal pandangan buruk di mana kulit hitam selalu dipersalahkan tanpa
mau menggali lebih mendalam sumber konfliknya. Dalam “Mockingbird” dicontohkan
seorang Tom Robinson yang berkulit hitam, harus menerima kenyataan pahit
difitnah memerkosa. Pembelaannya serasa tidak berguna, ketika warna kulitnya
dijadikan sebagai patokan kebersalahannya. Para saksi termasuk dokter ahli
visum (notabene berkulit putih), seakan menutup mata pada kasus tersebut.
Mungkin ada yang percaya Tom tidak bersalah, tapi mereka tidak mau tahu.
Dari
sebagian besar referensi yang saya baca, “Mockingbird” memang membicarakan isu racism yang masih kerap terjadi khususnya
di Amerika. Namun dari apa yang coba saya resapi, “Mockingbird” tidak hanya
bercerita pada ranah tersebut, melainkan lebih luas lagi. Yaitu perlawanan
terhadap diskriminasi yang dibentuk oleh masyarakat. Dalam contoh ini adalah
“Boo” Radley, diperolok-olok sebagai “orang gila” dan berakibat membuatnya
terkurung bertahun-tahun di dalam rumahnya. Apakah “Boo” seorang yang berkulit
hitam ?. Tidak, ia berkulit putih. Seperti halnya warga kulit hitam, hidupnya
terasingkan hanya karena pandangan miring warga yang dilontarkan padanya. Hal
serupa juga dirasakan oleh warga kulit hitam yang mengalami diskriminasi serupa
oleh sudut pandang yang selama ini selalu keliru.
Pada
intinya, “Mockingbird” adalah bentuk pemaparan bagaimana mengubah sudut pandang
sempit pada seseorang atau kelompok tertentu. Hal tersebut terucapkan dengan
sangat bijak oleh karakter Atticus pada Scout, “You never really understand a person until you consider things from
his point of view, until you climb inside of his skin and walk around in it”.
Kutipan ini sederhana, mudah dimengerti, dan timeless, namun disayangkan hingga kini pun masih saja ada yang
keluar dari bingkai kutipan tersebut. Akibatnya, konflik serupa masih sering
terjadi di era kini. Selain konflik tersebut, saya mengamati bahwa
“Mockingbird” juga mengangkat soal kesenjangan sosial yang sering didengungkan
di dalamnya. Bukti terdapat pada naskahnya yang beberapa kali menyinggung soal
“baca-tulis”; faktor pembeda strata yang tampak gamblang kala itu.
Bicara
soal kutipan itu, tidak akan pernah lepas pula dari Atticus Finch, hero terbaik versi American Film
Institute. Keramah tamahannya, kelembutan gaya bicaranya, dan bagaimana ia menghandle setiap masalah (termasuk kepada
dua anaknya) memiliki daya tariknya sendiri. Salah satu poin pentingnya adalah
bahwa karakter tersebut dihidupkan dengan baik lewat performa memukau Gregory
Peck; tidak salah bila ia memenangkan Best
Actor di Oscar. Namun saya cukup menyesalkan dengan salah satu adegan
dimana Atticus menembak mati seekor anjing gila. Dengan alasan menggali potensi
lain karakter Atticus yang jago menembak, adegan tersebut mendistraksi build-up yang sudah kuat pada
karakternya di awal-awal.
Siapakah
Nelle Harper Lee ?. Ia adalah seorang novelis Amerika yang meraih penghargaan
Pulitzer Prize lewat novel “To Kill a Mockingbird” ini. Nelle adalah sahabat
sejak kecil dari Truman Capote, juga novelis terkenal lewat karya besarnya “In
Cold Blood”. Beberapa bulan yang lalu, saya sempat menulis ulasan film “Capote”
(2005), biopic dari Truman Capote. Karakter
Nelle ada dalam film tersebut. Selain bersahabat sejak kecil, Nelle juga
berkontribusi bagi penelitian Truman terkait pembantaian di Kansas Barat yang
kemudian melahirkan “In Cold Blood”. Novel “To Kill a Mockingbird” banyak diilhami
oleh kisah hidup Nelle sendiri, semasa ia berusia 10 tahun (inspirasi karakter
Scout) dan tinggal di Monroeville, Alabama. Ia juga berkata bahwa karakter Dill
tercipta dari sosok Truman Capote.
Nelle
menggunakan nama sejenis burung, mockingbird,
dalam judul novelnya ini. Apa alasan di baliknya ?. Saya pelajari dari wikipedia, bahwa mockingbird termasuk dalam genus
“mimus”, yaitu sejenis burung yang memiliki kemampuan menirukan suara hewan
lain. Bahkan bisa menirukan bunyi suatu benda. Bagi sebagian besar orang, mockingbird termasuk hewan yang mengganggu.
Bisa dilihat dari namanya, “mocking=mengolok-olok”. Tapi sebagiannya lagi,
menganggap jika mockingbird dengan
kelebihannya tersebut merupakan ‘permata’ yang menghiasi alam; seperti yang
dikatakan oleh Atticus. Maka bila ada seekor mockingbird dibunuh, itu adalah kesalahan dalam menilainya.
Buku sekuelnya bikinan Harper Lee udah keluar kan? :) jadi penasaran,
BalasHapusIni salah satu film black and white pertama yg ane tonton setelah 12 Angry Men. Ane suka bagaimana film ini berjalan begitu smooth walau memakai sudut pandang bocah kecil. Dan serius , adegan court room sama adegan ancaman si bapak2 penjahat yg nuduh anaknya dilecehkan itu...thrilling banget.
Dan....ha! Robert Duvall. Ane ga nyangka ada dia dan akhirnya karakternya akan muncul beneran.
perbedaan dari novel dan film dari to kill mockin bird sendiri apa ?
BalasHapusHadir dari sekilas info bahwa untuk membuat novel ini Harper Lee menabung THR nya agar bisa fokus selama setahun penuh untuk menulis.
BalasHapus