Tanpa
membaca sinopsis, tanpa menonton trailer-nya
terlebih dahulu; begitulah apa yang saya lakukan sebagai bentuk persiapan dalam
menonton film berjudul “Victoria” ini. Apa yang menguatkan saya untuk
menontonnya tidak lain karena rating
yang bisa dibilang cukup tinggi. Cukup beralasan. Bukan pertama kalinya saya
melakukan hal ini. Kerap kali tanpa clue
dan modal lainnya, sebuah film akan saya tonton dengan senang hati. Satu fakta
menarik dari film arahan Sebastian Schipper ini adalah dibuatnya film ini
dengan teknik one-take. Bukan hal
yang baru, tapi tetap bisa meningkatkan nilai tambah dalam film. Tanpa saya
sadari, sebenarnya “Victoria” telah menunjukkan jati dirinya dalam tagline di posternya, “One Girl-One
City-One Night-One Take”. Saya paling tertarik dengan frase pertamanya.
Seorang
gadis asal Madrid bernama Victoria (Laia Costa), baru saja keluar dari diskotik
setelah asyik berjoget dan menenggak minuman. Baru tiga bulan ia tinggal
Berlin. Tanpa teman; tak menguasai Bahasa Jerman pula. Selepas keluar, ia
bertemu empat pemuda yang sebelumnya ditolak masuk ke dalam diskotik tersebut.
Mereka adalah Sonne (Frederick Lau), Boxer (Franz Rogowski), Fuss (Max Mauff),
dan Blinker (Burak Yigit). Sonne menawarkan diri untuk mengajak Victoria ke
tempatnya, dengan mobil yang ia akui sebagai miliknya. Perkenalan Victoria dengan
kuartet itu berlanjut. Mereka habiskan malam dengan menyenangkannya. Mengobrol,
menyusup apartemen, hingga mencuri minuman di minimarket. Apa yang mereka
rencanakan pada Victoria ?.
Victoria
adalah tipikal gadis easy going.
Mengasyikkan untuk diajak mengobrol apalagi melakukan hal-hal gila yang mungkin
tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Perawakannya imut dengan rambut merah
gelombang, penampilannya juga kasual. Menghabiskan malam-malam sendiri tanpa
satupun kenalan, membuat kuartet yang dipimpin oleh Sonne itu seolah penghibur
rasa sepi. Ya, Sonne lebih berpengaruh dalam kelompok tersebut khususnya
interaksinya pada Victoria. Di bagian setup
ini, “Victoria” banyak diisi dialog-dialog sederhana namun asyik untuk
diikuti. Para karakternya bicara sesuka hati tanpa adanya batasan, membuatnya terasa
segar dengan dialog-dialog khas dalam film-film mumblecore. Saat intim antara Victoria dengan Sonne, saat itu
pulalah saya paling anteng mengikuti tiap kata yang mereka ujarkan.
Fakta
menarik dalam film mumblecore adalah
pada naskahnya yang dibuat minimalis. Ada tiga penulis naskah “Victoria”,
mereka adalah Olivia Neergaards-Holm, Eike Frederik Schulz, dan Sebastian
Schripper sendiri. Pengambilan gambar one-take
dalam film ini sendiri juga berdampak pada kuantitas naskah. Hanya ada 12
lembar saja naskahnya ditulis, sedangkan sisanya adalah giliran para cast untuk berimprovisasi. Maka di
sinilah kekuatan film ini terletak pada performa cast yang dituntut secara maksimal dalam mengembang naskah yang
sebelumnya dibuat minimalis. Akting yang natural terpancar dengan sempurna
memunculkan energi yang kuat membuat karakter yang ada terasa hidup. Pencapaian
besar pada departemen akting ini patut diapresiasikan pada aktris asal Spanyol,
Laia Costa yang memiliki gravita paling kuat serta atraktiv. Frederick Lau juga
mengimbanginya dengan baik.
Dari
setup yang menarik khususnya
interaksi antara Victoria dengan Sonne yang tidak pernah melemah sejenak pun,
“Victoria” kemudian berubah menjadi heist
movie pada confrontation.
Mengejutkan—Sebastian Schipper mengacaukan pikiran saya sebagai penonton. Anda
bisa memuji Schipper seperti itu, di lain sisi Anda juga bisa menurunkan atensi
atas keputusannya membelokkan drama mumblecore
menjadi heist. Meski kalah menarik
dari bagian setup, “Victoria” tetap
kuat lewat chase scene dan
semacamnya. Mengutip dari contoh mumblecore
yang lain, sebenarnya hentakan semacam ini adalah sesuatu yang masih terbilang
wajar. Berjalan pelan dengan dialog-dialog yang padat, cerita pun berputar
menjadi genre lain. Saya ambil contoh
“Spring” (2014) yang mengagetkannya dari drama, road-trip, romance lantas
menjadi body horror. Ya, tidak salah
tulis-- body horror.
Dari
semua heist movie yang pernah saya
tonton, “Reservoir Dogs” (1992) sebagai karya debut Quentin Tarantino adalah favorit
saya. Film tentang perampokan bank dimana tidak pernah ditampilkan satu adegan pun
saat merampok bank. Dalam heist movie,
ada istilah yang lazim disebut dengan heist
sequence. Dimana di dalamnya ada banyak adegan dalam proses sebelum
pelaksanaan perampokan, dimulai dari rekruitmen, inspeksi lapangan, hingga pada
eksekusi. Semua dikerjakan secara matang. “Victoria” juga memasukkan semua itu,
tapi ada pertanyaan dalam diri saya (1) sebagai perampok pro, perlukah gladi
bersih sebelum eksekusi ? (2) bukankah terlalu cepat jarak antara persiapan
dengan eksekusi ?. Ah, lupakan saja !.
“Victoria”
memiliki konsep cerita craziest night.
Dimulai dari seorang gadis tanpa siapa-siapa di Kota Berlin, pengalaman paling
gila sepanjang hidupnya dilalui dalam semalam. “Victoria” mengambil shot pertama pada pukul 4:30 pagi sampai
07:00. Segila dengan konsep yang ditawarkan, segila itu pula sang
sinematografer Sturla Brandth Grøvlen dalam mengemas gambar-gambar yang
dinamis dalam satu tangkapan meskipun pada akhirnya ini semua hanya sekedar gimmick. Lepas dari pandangan tersebut,
“Victoria” dengan one-takenya adalah
sajian breathtaking yang mengagumkan.
Memberikan pengalaman sinematik yang luar biasa pula. Nils Frahm yang
mengaransemen skoring lewat musik-musik ambien punya pesona sendiri. Ia juga
kunci yang membuat film ini menjadi bertenaga dalam balutan malam-malam di Kota
Berlin.
8,5 / 10
Halo mas iza terimakasih untuk postingan yang sangat bagus ini. Perkenalkan saya Ery mahasiswa di jurusan Televisi ISI Jogja. Saya sedang mencari referensi tentang film yang berunsur mitos/pamali Jawa. Apakah mas iza ada referensi?
BalasHapusMungkin saya bisa bantu, mba Ery coba nonton "Takut: Faces of Fear" segmen Titisan Naya atau "Sang Penari".
HapusBtw silahkan berkunjung ke blog saya http://manusia-unta.blogspot.co.id/
Atau "Keramat" juga bisa masuk kayaknya...
Hapus