Saya mengakui bahwa saya bukanlah
penggemar berat dari “Star Wars”, walau saya sudah menonton kesemua filmnya.
Meski begitu, bukan berarti saya meremehkan franchise
yang terkenal seantero dunia ini. Saya datang untuk menontonnya dengan penuh
pengharapan besar bahwa “The Force Awakens” akan memiliki hasil yang sangat
memuaskan. Bahkan tidak terlintas sedikit pun dalam pikiran bila installment ketujuh ini bakal
mengecewakan. Saya tipikal penikmat film yang jarang mengikuti trailer sebuah film; selain karena
alasan lebih memilih kejutan. Namun itu tidak berlaku bagi “The Force Awakens”
yang sudah saya tonton teaser-nya
sejak satu tahun yang lalu; sebab godaan “Force-nya” begitu kuat memaksa saya. Hasilnya—film
arahan J. J. Abrams (Super 8, 2011) ini memang melebih ekspektasi saya.
Film berlatar 30 tahun sejak peristiwa
dalam “Return of The Jedi” (1983). Luke Skywalker (Mark Hamill), Jedi terakhir,
dinyatakan menghilang. Muncul organisasi baru bernama The First Order (pecahan
dari Galactic Empire), di bawah komando Kylo Ren (Adam Driver), berusaha
menghabisi Luke serta menghancurkan Republic. Di sisi lain ada The Resistance
yang dipimpin oleh Leia Organa (Carrie Fisher) yang menjadi lawan bagi The
First Order sekaligus mendapatkan informasi keberadaan Luke. Narasi berpindah
pada seorang gadis scavenger bernama
Rey (Daisy Ridley) yang berteman dengan mantan Stormtrooper berkode nama
FN-2187, Finn (John Boyega). Keduanya kabur dari gempuran TIE Fighter dengan
menggunakan Millennium Falcon. Takdir menuntun mereka bertemu dengan Han Solo
(Harrison Ford) dan bersiap memerangi The First Order.
Bagi Anda yang merupakan penggemar
berat franchise ini, tidak ada yang
lebih membuat girang selain melihat para veteran berkumpul dalam satu frame. Di sana ada Harrison Ford, Carrie
Fisher, dan Mark Hamill—oops, saya tidak bisa bicara banyak untuk nama
terakhir. Selain itu, beberapa karakter ikonik juga muncul memberikan rasa
nostalgia, seperti Chewbacca lengkap dengan Millennium Falcon yang legendaris
nampak begitu gagahnya saat harus berkejar-kejaran dengan TIE Fighter. Sound effect, theme song, opening title,
sampai transisi antar adegan yang begitu klasik itu diwujudkan oleh J. J.
Abrams dengan sangat sempurnanya. Saya adalah non-penggemar yang begitu
kegirangan hingga tersenyum-senyum sendiri ketika semua itu muncul silih
berganti di depan mata. Ada rasa kagum dan kangen, tidak bisa terbendung lagi.
“The Force Awakens” adalah obat rindu bagi mereka yang setia dengan franchise ini. Bagi penggemar maupun
non-penggemar.
Kali ini, tampuk karakter utama
diserahkan pada Rey, seorang scavenger
yang setia ditemani droid menggemaskan BB-8. Diperankan dengan sangat bagus
sekali oleh aktris Inggris, Daisy Ridley. Desain kostumnya diset sedemikian
rupa sehingga mengingatkan kita pada sosok Jedi; walau ia tidak memiliki latar
belakang di sana. John Boyega (Attack The Block, 2011) sebagai Finn juga tampil
mengesankan lewat karakter yang cukup komikal tapi tidak membuatnya goofy. Karakter Kylo Ren dimainkan oleh
Adam Driver; misterius, tidak mudah ditebak, powerfull, namun sulit menyebutnya secara jelas sebagai villain. Memakai lightsaber warna merah, bertopeng hitam layaknya Darth Vader, serta
bersuara berat—mengingatkan saya dengan Bane versi Tom Hardy. Ketiga karakter
baru yang dimainkan oleh cast yang belum
terlalu terkenal, membuat aksi ketiganya terasa begitu fresh.
Lupakan soal plot atau beberapa hal
klise kecil lainnya seperti vision
sequence. “The Force Awakens” lewat tangan dingin J. J. Abrams dan naskah
yang juga ia tulis bersama Lawrence Kasdan serta Michael Arndt, mampu
membangkitkan kerinduan bagi para penggemar setia dan membuat decak kagum bagi
mereka yang masih asing dengan “Star Wars”. Saya yang sudah tidak asing lagi
dengan karakter rekaan George Lucas ini pun masih dibuat terkagum-kagum betapa
epiknya film perang antar galaksi ini. Sebagai bukti, saudara saya yang tidak
tahu tiap sudut “Star Wars” saja mengakui kehebatannya. Ini adalah contoh nyata
bila franchise yang hampir berusia 40
tahun ini memiliki pengaruh kuat untuk tetap bisa dinikmati di tiap generasi. Sebagai
tambahan—J. J. Abrams harus banyak belajar dari Takashi Miike bagaimana
memanfaatkan Yayan Ruhiyan dengan benar. Janganlah menaruh harapan terlalu
besar pada trio “The Raid” di sini; sebab naskahnya sendiri tidak menjembatani
potensinya.
Memang benar adanya bila “The Force
Awakens” mudah dikonsumsi oleh generasi awam “Star Wars”. Saya merasakan hal
tersebut dengan menjadikan saudara saya sebagai indikator. Tanpa perlu menonton
“The Phantom Menace” hingga “Return of The Jedi”, seri yang terbaru ini begitu
mudah diserap. Tapi hal tersebut tidak lantas menjadikan jajaran prekuelnya
untuk tidak ditonton. Walau bagaimanapun, siapa Luke Skywalker, Leia Organa,
dan Han Solo—perlu diketahui lewat film-film sebelumnya tersebut.
“The Force Awakens” menelan biaya $200
juta; nilai yang membuat film-film serupa pantas menyandang gelar blockbuster. Dengan bujet yang fantastis
tersebut, J. J. Abrams menghabiskannya dengan cara yang benar. CGI
besar-besaran yang menghidupkan perang antara galaksi hingga kehancuran
planet-planet, disajikan dengan mengagumkan tanpa membuat mata lelah. “Pacific
Rim” (2013) milik Guillermo del Toro adalah contoh bagaimana sebuah CGI yang
kurang dimanfaatkan dengan tepat berakibat menyakitkannya pada mata. Lainnya, motion capture yang sedang ramai
digunakan beberapa tahun terakhir ini diaplikasikan pada karakter Maz Kanata
yang diperankan oleh Lupita Nyong’o. Di balik kemegahan CGI yang banyak
menguras biaya; apresiasi dari saya muncul pada penggunaan kostum tradisional
di beberapa karakter. Hal itu merupakan penghargaan besar meski teknologi
sekarang yang terlampau maju bisa saja menggesernya.
Secara keseluruhan, “Star Wars”
bercerita tentang good vs evil—sangat
sederhana. Sisi baik atau terang digambarkan lewat Jedi, sedangkan sisi jahat
atau kegelapan dengan Sith. Kedua sisi ini (baik dan jahat) menciptakan
dinamika dalam kehidupan yang bahwasanya saling melengkapi satu sama lain. Dimana
ada cahaya, maka di situ pulalah bayangan muncul. Seperti itu juga yang terjadi
dalam “Star Wars”; kejahatan muncul maka kebaikan datang untuk melawannya,
begitu juga sebaliknya. Baik dan jahat adalah sebuah siklus yang akan terus
muncul. Sulit menghilangkan salah satunya. Dalam “Star Wars”, walau kejahatan
yang disimbolkan oleh Sith berhasil dipadamkan, bukan berarti memusnahkan
keseluruhannya. Kejahatan akan tetap ada sebagai antitesis dari kebaikan.
Keren nih rating dari filmnya :o Sinopsisnya juga keren sip lah
BalasHapus