“The
Little Prince” diangkat dari novella tahun 1943 karya Antoine de Saint-Exupéry.
Novella ini bercerita tentang seorang Penerbang yang terjatuh di gurun dan
bertemu dengan seorang Pangeran Kecil dari sebuah asteroid. Film animasi dan stop-motion dari Perancis ini memang
tidak secara menyeluruh mengadaptasi dari novella tersebut, akan tetapi menjadi
bagian kecil dari plot utamanya. Untuk memberikan sentuhan yang berbeda (unik),
sang sutradara Mark Osborne memisahkannya menjadi dua bentuk. Animasi komputer
untuk plot utama dari film dan stop-motion
untuk plot dari bagian adaptasi novella. Sang Penerbang disuarakan oleh Jeff
Bridges (termasuk narator), sedangkan Pangeran Kecil oleh Riley Osborne yang
juga muncul di bagian plot utama film.
Walaupun
tidak secara utuh mengadaptasinya, tapi inti cerita dari “The Little Prince”
ini memiliki keselarasan dengan apa yang ada dalam novella karya Antoine de
Saint-Exupéry.
Cerita diawali oleh seorang Gadis Kecil (Mackenzie Foy) yang mendapat dukungan
penuh dari ibunya (Rachel McAdams) agar dapat masuk di sekolah prestisius Werth
Academy. Dukungan penuh itu meliputi belajar ekstra melelahkan yang harus ia
habiskan selama libur musim panas. Rutinitas menuntut si Gadis Kecil untuk
belajar lebih giat lagi atas kegagalan sebelumnya saat wawancara masuk ke Werth
Academy berikut kegiatan harian yang terjadwal ketat. Semua berubah ketika
Gadis Kecil bertemu dengan Penerbang (Bridges) yang menceritakannya tentang
Pangeran Kecil lewat pesawat kertas.
Film
dimulai ketika narasi yang dibacakan oleh Jeff Bridges bercerita tentang masa
kecil Penerbang yang menggambar seekor ular tengah memakan gajah. Bukannya
mendapat apresiasi atas karya imajinatifnya itu, Penerbang justru ditertawakan
karena ia dikira menggambar “topi”. Penggalan cerita diawal ini bisa saja
menjadi teguran yang cukup keras, khususnya bagi pendidik ataupun orang tua
yang tengah mengiringi pertumbuhan anaknya. Apa yang salah dengan gambar
tersebut ?. Tidak ada, kecuali mereka yang mengharapkan seorang anak harus
menirukan persis dengan apa yang diminta. Sudah seharusnya, seorang
pendidik/orang tua memberikan kebebasan bereskpresi dan berimajinasi dengan apa
yang ada dalam pikiran seorang murid/anak. Menggambar ular berbentuk bulat,
silakan. Bentuk segitiga pun juga tidak masalah. Lantas, mengapa harus
mengekangnya ?.
Hal
ini membuat saya teringat pada masa kuliah dahulu. Tepatnya di bulan-bulan awal
semester tujuh. Seorang dosen tamu menjadi pengampu pada salah satu mata pelajaran, meminta seluruh
mahasiswa dalam satu ruangan untuk menggambar “gunung”. Apa yang terjadi ?.
Hampir seluruh mahasiswa (mungkin semuanya) menggambar gunung dengan bentuk dua
buah segitiga dengan matahari bulat di tengahnya. Persis seperti apa yang
sebagian besar dari kami peroleh sewaktu masih duduk di bangku Taman
Kanak-Kanak. Melihat keadaan tersebut, beliau berkata bahwa semacam inilah
bentuk pendiktean yang salah sedari kecil. Akibatnya, kebebasan seseorang untuk
berimajinasi menjadi terpenjara. Beliau lantas menambahkan jika masalah sederhana
ini adalah alasan menurunnya daya kreativitas seseorang.
“The
Little Prince” lewat naskah yang ditulis oleh Irena Brignull dan Bob
Persichetti memperkenalkan kita pada sosok Gadis Kecil yang terjebak dalam
hubungannya dengan Sang Ibu yang over-bearing.
Diceritakan bahwa kegagalannya masuk dalam Werth Academy adalah buah kesalahan
Sang Ibu yang terlalu mengatur tanpa memberikan ruang gerak bagi Gadis Kecil
untuk berekspresi. Brignull dan Persichetti memang tidak secara terang-terang
menyalahkan Sang Ibu sekalipun berupa dialog. Tapi, mereka menuntut penonton
untuk lebih peka dan memahami keadaan tersebut dengan pikiran yang lebih
terbuka.
“The
Little Prince” penuh dengan pemaknaan berupa simbol-simbol yang sepertinya
cukup sulit dipahami oleh anak-anak. Mencoba berkaca pada sumber aslinya, jelas
sekali bila novella tersebut dipersembahkan bagi pembaca anak-anak, terlihat
dari goresan visualnya yang memukau dan mudah disukai. Tetapi tidak bisa ditolak
bila novella karya Antoine de Saint-Exupéry itu memang sangat kaya akan
imajinasi yang mana tidak bisa lepas dari warna-warni kehidupan anak. Turut
pula di dalamnya Saint-Exupéry mengkritisi gagalnya sistem
pendidikan yang bahkan sudah dimulai sejak dasar. Permasalahan serupa yang
pernah diangkat Rajkumar Hirani lewat “3 Idiots” (2009). Melihat latar belakang
Saint-Exupéry
yang seorang aristokrat, bisa saja pengalaman hidupnya ia tuangkan dalam novella
tersebut. Mungkin saja, mengingat kehidupan para bangsawan yang identik dengan aturan-aturan
ketat nan kaku.
Simbolisasi
dalam penceritaan versi aslinya banyak ditumpahkan dalam adaptasi film ini,
indah dan penuh akan makna. Coba lihat di bagian awal ketika Gadis Kecil tengah
wawancara masuk sekolah ternama itu. Tergantunglah nomor urut di lehernya,
seolah mengisyaratkan bila Gadis Kecil adalah “narapidana” yang tengah
diinterogasi dan bersiap memasuki penjara. Pastinya Anda sudah mengetahui maksud
dari “penjara” tersebut.
Sebagai
tontonan bagi anak-anak, “The Little Prince” rasanya memang tidaklah mudah.
Bahkan bagi penonton dewasa sekalipun, membutuhkan penghayatan yang lebih dalam
untuk memahaminya. Selain itu diperlukan pula imajinasi yang tinggi untuk
merangkai setiap keindahan yang tersaji lewat cerita maupun visualisasi animasi
dan stop-motion-nya. Namun bila
bicara mengenai target, “The Little Prince” sukses menyasar tidak hanya bagi
penonton anak-anak semata, melainkan juga penonton dewasa. Bagi anak-anak, film
ini adalah sarana memperkuat daya imajinasi dan upayanya menegaskan untuk
menikmati masa kecil nan indah tersebut. Bagi dewasa, film ini kembali
mengingatkan bahwa kebahagian kecil yang hilang ketika dewasa mungkin saja terkubur
dalam-dalam di masa kanak-kanak. Alhasil, “The Little Prince” berhasil memaksa
saya untuk menggali lagi memori indah tersebut.
8,5 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !