Jika
coba diingat lagi, sebenarnya tidak sedikit film-film yang bercerita soal
kolonialisasi Barat. Dimana dalam kisahnya, penduduk lokal menjadi korban kekejaman
sebab unsur eksploitasi. Penghisapan sumber daya alam besar-besaran hingga
pembantaian yang berbuah pada hilangnya kebudayaan asli.
“Embrace
of The Serpent” arahan sutradara dari Kolombia, Ciro Guerra mengangkat hal
serupa. Bedanya, Guerra tidak hanya menekankan dari sisi historikal semata.
Tetapi juga sisi kearifan lokal yang masih dijaga dengan kuat.
Menonton
“Embrace of The Serpent” seperti menjadi saksi hidup tentang ekspedisi di
pedalaman Amazon. Saya seperti tidak sedang menonton film, melainkan pengalaman
nyata. Ciro Guerra menghadirkan pengalaman menakjubkan dalam menyusuri hutan
hujan Amazon. Ya, pengambilan gambar keseluruhan diambil di sana.
Film
ini diambil dengan sinematografi hitam dan putih. Luar biasanya, keasrian dan
kemistisan di hutan sepanjang sungai Amazon ini masih tampak jelas. Sepanjang
film, kita memang seolah-olah tengah menyusuri hutan Amazon. Benar saja, karena
sebagian besarnya memang banyak diambil di atas kano.
Secara
garis besar, “Embrace of The Serpent” terbagi menjadi dua garis plot: antara
tahun 1909 dan 1940. Di tahun 1909, bercerita tentang seorang ethnographer asal Jerman, Theodor
Koch-Grunberg (Jan Bijvoet), bersama penduduk lokal, Manduca (Yauenkü
Migue) dalam pencarian tanaman keramat yang disebut yakruna (saya yakin ini adalah anggrek).
Theo
menderita sakit malaria. Ia tidak ingin mati di hutan sementara masih
mengumpulkan penelitiannya. Dibantu Manduca, ia mencari bantuan kepada penduduk
lokal di sekitar. Bertemulah mereka dengan Karamakate (Nilbio Torres), seorang shaman sekaligus anggota terakhir Suku Cohiuano.
Karamakate
awalnya menolak dan mengancam akan membunuh Theo; karena ia kulit putih. Sampai
kemudian Theo menceritakan perihal sisa-sisa Suku Cohiuano yang tersisa,
Karamakate pun luluh. Petualangan mencari yakruna
dimulai. Dalam petualangan itu, cekcok antara Karamakate dan Theo tidak
terhindarkan. Semua dilandasi kebencian Karamakate kepada para pendatang yang
menghabiskan seluruh sumber daya alam.
Sedangkan
untuk plot tahun 1940, bercerita seorang ethno-botanist
asal Amerika Serikat, Richard Evans Schultes (Brionne Davis) yang menelusuri
hutan Amazon demi menemukan yakruna. Pencarian
itu pun menuntunnya pada Karamakate tua (Antonio Bolívar). Anehnya, Karamakate
telah lupa segala yang pernah ia lewati dulu; termasuk budaya dan tradisi dari
nenek moyangnya dulu.
Dokudrama
ini diangkat dari catatan harian Theodor Koch-Grunberg dan Richard Evans
Schultes. Oleh karenanya, film ini memang memiliki nilai historis yang kental.
Saya coba mengamati apa yang ingin Ciro Guerra sampaikan dalam film ini.
Ternyata ini bukan sekedar petualangan mencari yakruna semata. Tapi juga mengenai dampak dari kolonialisme Barat
itu sendiri.
Bukan
hanya penguasaan sumber daya alam seperti karet, kina, hingga coca yang dilakukan oleh orang-orang
Barat. Bahkan sudah menjalar dalam usaha misionaris mengenalkan agama Kristen
kepada penduduk lokal. Akibatnya, penduduk lokal pun menjadi kehilangan
keaslian jati diri mereka. Hal ini diungkap sendiri oleh Theo ketika penduduk
sekitar mencuri kompasnya. Theo tidak ingin mereka belajar kompas, jika mereka
ingin tetap mempertahankan nilai luhur bangsanya.
Karamakate
tua memang telah lupa tradisi leluhurnya. Ia telah terpisah jauh dari
sesamanya. Namun sejatinya, justru Karamakate lah yang masih memegang teguh
peninggalan dari leluhur Cohiuano. Orang-orang Cohiuano yang ia rindukan,
justru telah terkena dampak dari kolonialisasi Barat. Karamakate menyebut
orang-orang ‘campuran’ itu bukanlah lagi keturunan dari Sang Ular (Anaconda).
“Embrace
of The Serpent” adalah suguhan dari Ciro Guerra tentang penyelamatan tradisi
leluhur. Bukan saja berlaku untuk Karamakate dan Manduca, tetapi juga bagi Theo dan Evan untuk bangsanya. Sudah
sepatutnya memang apa yang telah ditinggalkan oleh leluhur perlu dijaga dari
pengaruh asing. Bukan berarti juga, seseorang tidak boleh memelajari ilmu
pengetahuan dari orang asing. “Pengetahuan itu untuk semua orang,” begitu kata
Karamakate pada Theo, menyambung soal kompasnya yang dicuri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !