Mungkin
benar bila keindahan sesuatu tidak bisa dilukiskan melalui kata-kata. Dalam
ranah film, saya melihat dokumenter “Baraka” (1992) dengan begitu penuh
kekaguman dari cara bertuturnya yang tidak biasa. Benar, “Baraka” tidak
menggunakan narasi dalam mengisahkan kontennya. Begitu pula dengan sekuelnya,
“Samsara” (2011).
Tanpa
narasi sekali pun, baik “Baraka” atau “Samsara” dapat dinikmati tanpa perlu
‘tersesat’ di dalamnya. Di balik gambar-gambar indahnya, filmnya sendiri sudah
mampu menceritakan keseluruhannya tanpa perlu lagi diungkapkan lewat kata-kata.
Di
sini ada film dari Ukraina yang memiliki cara bertutur yang tidak biasa pula.
Secara keseluruhan, film yang disutradarai dan ditulis oleh Myroslav
Slaboshpytskiy ini menggunakan bahasa isyarat. Jelas ini sebuah gebrakan baru
mengingat belum banyak (atau belum ada?) film yang dibuat seperti ini.
Berbeda
dengan film-film bisu yang kerap kali masih menggunakan teks, “The Tribe”
nyaris tanpa teks bantu (subtitle) untuk menjelaskan alurnya. Bahkan, skoring
musik pun tidak dipergunakan. Saya meyakini hal itu dilakukan demi mempertegas
akan pesan yang ingin disampaikan oleh film ini sendiri.
Apakah
‘tersesat’ selama menontonnya?
Jika
pertanyaan ini ditujukan pada saya, jawabannya adalah “tidak.” Saya sebenarnya
sama sekali tidak memahami bahasa isyarat yang sering digunakan oleh kaum tuna
rungu. Tapi tanpa perlu menguasai hal tersebut, “The Tribe” begitu mudah untuk
diikuti alurnya.
Saya
sama sekali tidak merasakan kebingungan selama menontonnya. Memang, saya tidak
mengetahui nama-nama karakternya. Karena pada akhirnya saya harus membuka wikipedia untuk mencari tahu. Tapi
dengan hanya memahami gestur dan mimik wajah, saya tahu apa yang akan dilakukan
oleh para karakternya. Begitu pula peran dari setiap karakternya.
Jika
belum menonton sendiri “The Tribe,” perasaan takut jika tidak bisa menguasai
alurnya sudah pasti ada. Apalagi filmnya sendiri telah memberi peringatan di credit awal bila tidak akan menambahkan subtitle atau voice-over. Begitu berjalan beberapa menit awal, saya mulai
menyukai “The Tribe” dan dengan mudah mencernanya.
Selain
dari cara penuturannya yang unik, “The Tribe” juga memiliki unsur menarik
lainnya. Salah satunya adalah pengambilan gambarnya lewat kamera yang selalu steady. Kamera tidak berhenti menangkap
gambar para karakter tanpa perlu beralih ke frame
yang lain. Setiap pergerakannya tersorot dengan rapi, menegaskan bahwa para
karakter adalah fokus utama dari alur.
“The
Tribe” mengisahkan seorang remaja lugu yang baru saja pindah ke sekolah khusus
tuna rungu. Remaja lugu itu bernama Sergey (Grigoriy Fesenko). Keluguannya
dimanfaatkan oleh anggota gang sekolah yang dipimpin oleh King (Oleksandr
Osadchyi).
Keseharian
yang anggota gang itu lakukan tidak lain adalah merampok orang asing yang lewat
hingga bisnis prostitusi. Dua siswi anggota gang, Anya (Yana Novikova) dan
Svetka (Roza Babiy) kerap ‘dijajakan’ kepada para sopir truk yang tengah
beristirahat. Anggota gang lainnya dan salah satu guru tekniknya bertugas
menjadi germo dengan mengantarkannya lewat mobil van.
Diceritakan
bahwa keseluruh karakter dalam “The Tribe” adalah penyandang tuna rungu. Cukup
menjadi alasan jelas mengapa cara bertuturnya dengan bahasa isyarat. Dengan
kata lain, ini bukanlah gimmick semata.
Dari
apa yang saya lihat dan rasakan, Myroslav Slaboshpytskiy sepertinya ingin
membagi pengalaman menikmati film dengan cara yang tidak biasa. Jadi, penuturan
film menggunakan bahasa isyarat adalah langkah tepat membuat suatu hal yang
berbeda dari apa yang selama ini ada dalam film mainstream. Dibanding dengan substansi ceritanya, saya pikir “The
Tribe” lebih menitik beratkan pada media penyampaiannya dengan ‘bahasa
semesta.’ Yaitu bahasa yang dipahami oleh semua orang tanpa memandang asal-usul
atau budaya yang dibawanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !