“Tampopo”
arahan Juzo Itami (penulis naskahnya juga) memiliki tagline: “ramen western.” Penyebutan ramen western di sini tidaklah merujuk pada nama makanan—ramen bergaya barat, misalnya. Akan
tetapi ini adalah istilah yang memiliki makna kurang lebih seperti spaghetti western; film western yang dibuat di luar Amerika
(Itali). Begitu juga dengan “Tampopo,” ini adalah film western yang dibuat di Jepang.
Benar,
jika sudah menontonnya, Anda akan mendapati ramen
dengan penyajian ala barat di sini. Bukan ala Itali, tapi ala Perancis.
Judulnya memang memiliki kesinambungan dengan isi dari filmnya. Akan tetapi apa
yang ingin Juzo Itami coba pamerkan di sini adalah kekreativitasannya dalam
mengembangkan genre baru di dunia
film. Ramen western...ada Jepangnya,
ada baratnya.
Menyebut
film ini sebagai film bertemakan makanan juga tepat. Toh nanti Anda akan puas ‘hanya’
dengan melihat aneka macam makanan Jepang di film ini—sebagian besar dari jenis
mie saja. Juzo Itami dalam “Tampopo” mengajak kita menyelami dunia makanan
hingga seluk beluknya. Dengan penceritaan penuh canda tawa pastinya.
Hero di film ini adalah Gorō
(Tsutomu Yamazaki), seorang sopir truk yang berpenampilan nyentrik ala koboi.
Lengkap dengan topi, rompi, dan rokok. Gaya bicara dan senyumnya pun
mencerminkan koboi ala Amerika. Hanya kali ini Gorō tidak menunggang kuda, tapi truk.
Gorō tidak
sendiri dalam berpetualang di jalanan. Ia ditemani sang sidekick, Gun (Ken Watanabe). Seperti dalam film-film western ala Hollywood, kita tahu setiap hero-nya selalu ditemani sidekick. Kita juga tidak pernah tahu
kemana sang hero ini berasal dan
kemana ia akan pergi. Mereka adalah sosok yang besar dan hidup di jalanan yang
keras.
Di suatu
malam berhujan deras, Gorō dan Gun mampir ke sebuah kedai ramen. Si pemilik kedai yang bernama
Tampopo (Nobuko Miyamoto), tengah digoda oleh para berandalan. Pemimpinnya
bernama Pisken (Rikiya Yasuoka), rupanya menyukai Tampopo.
Dasar Gorō yang
benci dengan ketidakadilan, ia menantang berkelahi Pisken beserta anak buahnya.
Ajakan itu pun dituruti. Mereka berkelahi di luar kedai. Karena kalah jumlah, Gorō jadi
babak belur dan pingsan dibuatnya. Malam itu juga, Gorō terpaksa
tinggal di rumah Tampopo.
Keesokannya,
Gorō
dan Gun ijin pamit untuk melanjutkan perjalanan. Atas permintaan Tampopo, Gorō dan Gun
mengungkapkan rasa ramen yang
dijualnya. Ramen buatan Tampopo masih
jauh dari enak, katanya. Karena ingin sukses dalam hal ramen, Tampopo memaksa Gorō untuk tetap tinggal dan mengajari
cara membuatnya. Gorō tidak bisa menolak.
Kita pasti
sudah tahu bagaimana kelanjutan filmnya. Dua tokoh ini lalu melakukan
eksplorasi aneka macam ramen di
setiap kedai kompetitornya. Selama proses pencarian komposisi ramen yang tepat itu, banyak peristiwa
lucu yang mereka alami.
Selain
dari plot utama yang disuguhkan, “Tampopo” juga dihiasi banyak sub-plot untuk
memperkaya alur ceritanya. Kesemua sub-plot memang berdiri sendiri dengan plot
utama, akan tetapi fokus yang diambil masih soal mie.
Salah satu
yang bisa saya ceritakan di sini (karena jumlahnya ada banyak) adalah orang-orang
Jepang yang memakan spaghetti dengan
cara menghirupnya hingga bersuara. Mereka lebih percaya orang barat yang salah
memakan spaghetti, daripada mentornya
yang sama-sama orang Jepang. Memang bukan orang Jepang rasanya kalau makan ramen (dan semua jenis mie lainnya)
tanpa berbunyi, “sluuurrppp.”
Faktor
yang membuat “Tampopo” lucu dan menarik adalah Juzo Itami mencoba memasukkan
aspek kultural di sini. Khususnya cara orang Jepang dalam melihat makanan;
bagaimana mereka menghidangkannya, memakannya, menghormatinya, dll. Di bagian
awal film, diceritakan sedikit bagaimana cara menikmati ramen yang tepat. Mungkin terlihat ‘aneh’ dan berlebihan, tapi
itulah fakta menariknya.
Mungkin
film seperti “Tampopo” ini sulit untuk dinikmati karena kental dengan aspek
budaya Jepangnya. Maka, cara paling tepat untuk menghayatinya sendiri adalah
mengerti budaya Jepang meski pun hanya sedikit. Terutama dalam hal makanan.
Bagi orang
Jepang sendiri, “makan” bukanlah sekedar kegiatan memasukkan makanan ke dalam
perut. Lebih dari itu, makan adalah sebuah ritual suci. Ada harmonisasi di
dalamnya. Orang Jepang paham betul mengenai hal ini. Mereka juga dikenal begitu
menghormati makanan; mulai dari persiapan awal hingga bagian penyelesaiannya. Contohnya
saja, memakan makanan tidak langsung saja masuk ke mulut atau berhenti di
tengah jalan dengan menyisakannya.
“Tampopo”
adalah petualangan tentang bagaimana seharusnya manusia itu memanusiakan
makanan. Oleh karena itu, saya menganggap bila “Tampopo” adalah film yang
begitu humanis. Pembahasannya mendalam dan njelimet,
tapi disajikan oleh Juzo Itami dengan ringan dan jenaka. Dalam film ini kita
akan tahu kalau makanan memang harus dihargai. Sebab setiap potongnya merupakan
berkah.
makasih artikel ini sangat membantu .#daebak
BalasHapusPENGUMUMAN PENGUMUMAN PENGUMUMAN PENGUMUMAN
BalasHapusBONUS PUAS MENYAMBUT PUASA
Gratis Bonus Coin Rp. 500.000
|POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10|
Terima SEMUA BANK DI INDONESIA
BANK NASIONAL + BANK DAERAH |
OVO N GOPAY? Bisa!! Buruan
WhastApp : 0812-9608-9061
Lnk : WWW. POKERAYAM. TOP
PokerVita Situs Judi Online Terpercaya Memberikan Kemudahan Dalam Bertransaksi Dengan Mudah 24 Jam. Kini Pokervita Juga Menyediakan Deposit Via OVO & Go-Pay loh .. .
BalasHapusMinimal Deposit 10.000
Minimal Withdraw 25.000
Bonus Terbaru Menjelang Puasa
Info Lebih Lanjut Hubungi :
WA: 0812-2222-996
www. pokervita .vip