“The
Witch” atau film-film bertema penyihir lainnya selalu meninggalkan pesan moral
kepada penontonnya. Khususnya untuk penonton anak-anak: “jangan pernah memakan
permen dari rumah di tengah hutan.” Jika tidak salah, kutipan ini berasal dari
dongeng “Hansel & Grethel” karya Grimm bersaudara.
Maka
di sini saya berpesan kepada Anda semua, berhati-hatilah dengan rumah/pondok
kecil di tengah hutan. Jangan pernah mendekatinya, mengetuk pintunya, apalagi
sampai masuk ke dalamnya. Siapa tahu di dalamnya memang ada penyihirnya...maaf,
saya bercanda.
Penggambaran
dari sosok penyihir sendiri memiliki variasi dari setiap inkarnasinya. Biasanya
mereka digambarkan tinggal menyendiri di tengah hutan sembari membawa buah apel
sebagai atribut utamanya. Mungkin versi dari “The Wizard of Oz” (1939) adalah
yang paling terkenal. Dipanggil dengan sebutan The Wicked Witch, penyihir ini
memiliki wajah hijau, topi panjang, dan sapu terbang.
“The
Witch” ini adalah karya debut dari Robert Eggers. Sebagai sebuah karya perdana,
Robert Eggers membawa tema yang familiar ini menjadi lebih terasa menyegarkan.
Kita memang banyak tahu soal film yang bercerita soal penyihir. Tapi bagaimana
penceritaan yang dibawakan oleh Robert Eggers di sini (sekaligus penulis
naskah), benar-benar memberikan warna baru.
“The
Witch” memang tidak dituturkan secara spectacle
dengan CGI besar-besaran. Tidak ada pula adegan pertarungan antar penyihir
dengan melibatkan aksi over-the-top.
Alurnya juga cenderung pelan. Film ini digambarkan dengan gelap dan penceritaan
yang lebih berat.
Aspek
sukses yang diterapkan dalam film ini adalah pada pengaturan tone; seperti skoring musik dari Mark
Korven yang haunting hingga
pembangunan set. Film ini berlatar New England di abad 17, pembangunan ulang
lokasinya begitu mengagumkan. Suram, mencekam, diliputi dengan banyak asap
seakan kota-kota ini tengah dikutuk. Saya juga suka dengan semua desain
kostumnya.
Fokus
dalam “The Witch” adalah keluarga Puritan yang diusir dari kampung halamannya.
Mereka diusir karena perbedaan pandang dengan gereja tempat mereka tinggal.
Keluarga itu terdiri dari William (Ralph Ineson), Katherine (Kate Dickie) sang
istri, Thomasin (Anya Taylor-Joy) anak tertua, Caleb (Harvey Scrimshaw) anak
kedua, dan terakhir si anak kembar.
Dari
daerah perkebunan, mereka pindah ke sebuah tanah kosong dekat hutan. Mereka
membangun daerah peternakan di sana. Selama tinggal di sana, keluarga William
diberkahi dengan lahirnya sang bayi. Namun pada suatu hari, bayi tersebut
hilang saat diajak bermain oleh Thomasin. William sekeluarga diliputi rasa
duka. Mereka percaya, serigala telah menerkamnya.
Tentu
saja akhir dari sinopsis di atas bisa Anda tebak sendiri jika pelakunya adalah
penyihir. Di mana penyihir berada? Pasti jawabannya di dalam hutan. Tanpa
berusaha membeberkan spoiler, alur
“The Witch” sebenarnya bisa dibilang mudah untuk dicerna. Namun yang membuat
“The Witch” begitu istimewa dibanding horror
bertema sejenisnya adalah pesan tersembunyi dalam ceritanya.
Saya
akan kembali ke alur cerita. Setelah kehilangan anak yang paling muda, hubungan
antar anggota keluarga ini mulai renggang. Gesekan-gesekan mulai terasa yang
akhirnya berujung pada penyalahan Thomasin atas hilangnya sang adik. Dari
keluarga yang relijius dan rukun, kini mereka tengah menghadapi konflik internal
yang setiap saat bisa menjadi bom waktu.
Di
balik tema penyihir dan supernatural-nya,
Robert Eggers sengaja memasukkan konflik disfungsi keluarga di sini. Bisa
dirasakan, kekacauan keluarga ini berasal dari rasa ketidakpercayaan satu sama
lainnya yang menjadi titik awal kehancuran. Basis utamanya adalah tentang
“kebohongan,” dimana biasanya film berkonflik disfungsi keluarga selalu
menempatkannya di dalamnya.
Robert
Eggers sangat subtle dalam memasukkan
hal tersebut ke dalam film ini. Memang jika tidak jeli, kita hanya akan
menganggap “The Witch” sama halnya dengan horror
tentang penyihir lainnya. Kemahiran Robert Eggers ada pada rapinya ia dalam
menempatkan konfliknya. Ia sempurnakan properti yang diperlukan dalam horror penyihir sebagai template-nya. Dengan begitu, penonton
tidak sadar tengah menyaksikan drama tentang kekacauan dalam keluarga.
Film
ini mengingatkan saya pada “The Babadook” (2014); tentu keduanya memiliki plot
berbeda. Tanpa perlu mencoba menakuti penonton dengan segala tetek bengek
berlebihannya, terbukti keduanya efektif untuk film di genre-nya. Tidak hanya menyeramkan, tapi juga menghibur—ini nilai
paling penting.
Toyota dp rendah, hubungi Ateng di 08119117567
BalasHapusAdfat.net
BalasHapusPENGUMUMAN PENGUMUMAN PENGUMUMAN PENGUMUMAN
BalasHapusBONUS PUAS MENYAMBUT PUASA
Gratis Bonus Coin Rp. 500.000
|POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10|
Terima SEMUA BANK DI INDONESIA
BANK NASIONAL + BANK DAERAH |
OVO N GOPAY? Bisa!! Buruan
WhastApp : 0812-9608-9061
Lnk : WWW. POKERAYAM. TOP
PokerVita Situs Judi Online Terpercaya Memberikan Kemudahan Dalam Bertransaksi Dengan Mudah 24 Jam. Kini Pokervita Juga Menyediakan Deposit Via OVO & Go-Pay loh .. .
BalasHapusMinimal Deposit 10.000
Minimal Withdraw 25.000
Bonus Terbaru Menjelang Puasa
Info Lebih Lanjut Hubungi :
WA: 0812-2222-996
www. pokervita .vip
Iya gua juga mikir ini dia ga fokus di horor nya ada sih cuma kaya ada something lain. Pas konflik lagi tinggi2 nya juga mikir kalo si william egois bgt ngorbanin keluarganya buat percaya sama agama yg menurut dia bener. Dan ngebuat dia di usir dari kampung. Padahal dia gatau dan mempertimbangkan soal keamanan keluarganya
BalasHapus