“Suspiria”
disebut-sebut sebagai karya horror
Dario Argento yang paling banyak menuai pujian. Mulai dari penataan musiknya
hingga set yang memiliki nilai artistik begitu tinggi. Maka tidak mencengangkan
bila kemudian Dario Argento membuat dua sekuel untuk filmnya ini.
Di
dunia perfilman Italia, film semacam “Suspiria” ini disebut dengan istilah “Giallo.”
Memiliki makna “kuning,” “Giallo” adalah film yang berisikan unsur misteri dan
dikombinasikan pula dengan horror, slasher, hingga crime. “Suspiria” ini sangat kental dengan unsur misterinya. Kesan
tersebut sudah terpancarkan sejak menit-menit awal film berjalan.
Sebagai
cult classis horror, “Suspiria”
memberikan pengalaman sinematik yang sangat unik bagi pemirsanya. Di sini
sebagai contohnya adalah saya. Selama hampir dua jam ke depan, “Suspiria” mampu
memukau mata saya dengan suguhan visualnya yang amat sangat megah bak panggung
opera. Gemerlap lampunya ada di mana-mana.
Pemakaian
warna-warni yang begitu ‘menyala’ sangat kentara di sepanjang film. Sorotan
lampu-lampu yang berwarna-warni memberikan tampilan megah dan unik; bila kita
mengingat ini adalah film mystery dan
horror. Dari semua paduan warna,
merah memang lebih banyak digunakan Dario Argento dalam film. Pesan yang saya
tangkap adalah merah melambangkan warna darah yang memberikan kesan menakutkan,
menghantui, dan teror.
“Suspiria”
mengisahkan seorang balerina asal Amerika, Suzy Bannion (Jessica Harper) yang
pindah ke Freiburg, Jerman. Di sana ia melanjutkan belajar balet di Tanz Dance
Academy. Di malam Suzy tiba, ia melihat seorang gadis berlari ketakutan dari
Tanz. Suzy tidak tahu apa yang terjadi. Gadis yang kemudian diketahui bernama
Pat Hingle (Eva Axén) tersebut, tewas secara mengenaskan keesokan harinya.
Pat
adalah salah satu siswi balerina dari Tanz. Hal itu sontak membuak kaget Suzy
yang baru saja pindah ke sana. Kematiannya yang tragis membuat tanda tanya
besar; apa yang tengah terjadi di Tanz?
Tidak
ada yang perlu dicurigai di dalam sekolah. Sang kepala sekolah, Madame Blanc
(Joan Bennett) dan guru balet Miss Tanner (Alida Valli) nampak sangat ramah.
Suzy juga mudah beradaptasi dengan lingkungan dan juga sesama siswi lainnya.
Hingga suatu ketika, suara-suara aneh kerap ia dengar. Suara aneh itu
meneriakinya dengan sebutan “penyihir.” Kejadian-kejadian ganjil dan mengerikan
lantas muncul bergiliran di Tanz.
Dari
sinopsis yang saya tuliskan, sudah sangat terasa sekali bukan aura misterinya?
Di sini sang karakter utama dengan dibantu temannya, Sarah (Stefania Casini)
mencoba ‘menguliti’ kejadian misterius yang tengah terjadi. Dalam benak saya
sebagai penonton, tentu saja pemikiran yang terlintas adalah kejadian tersebut
murni tindak kriminal atau bisa juga kekuatan supernatural.
Di
luar plotnya yang sedikit mengingatkan saya pada “Rosemary’s Baby” (1968),
“Suspiria” lebih menangkap atensi saya pada bagian visual. Di sektor ini, Dario
Argento memang memuaskan mata penonton dengan visual bernilai seni tinggi.
Selain penggunaan kombinasi warna-warna mencoloknya, art set-nya ditata dengan penuh detil.
Lokasi
yang menjadi set utama dibangun dengan banyak ornamen-ornamen abstrak. Untuk
pemilihan warna, Dario Argento rupanya juga menggemari warna merah sebagai
komposisi utama. Jika mencoba dibandingkan dengan film horror era ini, set lokasinya mungkin terlihat sedikit ‘aneh.’ Saya
katakan demikian, sebab figur rumah berhantunya terlihat ‘cerah ceria.’ Saya melihatnya
justru lebih seperti museum benda-benda antik.
Hal
yang cukup mengganggu saya sepanjang menonton “Suspiria” adalah pada penempatan
musiknya. Ingat, hanya penempatan saja. Saya tidak menilai buruk pada musik
yang dibawakan oleh band progressive rock
yang bernama “Goblin” ini. Musiknya cukup bagus meski kurang haunting.
Ada
beberapa adegan yang minim ketegangan, justru disisipi musik bernada tinggi.
Dari segi komposisi pula, musiknya terlalu banyak dentuman ketimbang suara
menyayat hati. Jatuhnya malah terasa risih di telinga daripada
menakut-nakuti. Sekuen awal saat Suzy
tiba di bandara bisa diambil contoh.
Dari
kekurangan di bagian musik yang berakibat minim ketegangan, ‘Suspiria” tetap
layak dianugerahi sebagai salah satu horror
klasik terbaik yang pernah dibuat. Pembuktiannya ada pada sensasi menonton yang
dihasilkannya. Kapan lagi ada film horror
dengan nilai seni tinggi?
I dont like this! Not really horror and so overrated.
BalasHapusmusiknya bikin merinding ne fulm suspiria
BalasHapusSisi artistik interior set amat nenonjol.It's amazingly.Saya suka sisi heroik profil remaja Syzy Bannion.Bravo.
BalasHapusBagian terseram dari film ini adalah munculnya sosok bayangan yang tertidur dan mengorok di balik tirai. Overall i like this film apalagi suzy bannion (jessica harper) cantik banget
BalasHapusFilm lama ya mas iza, sayangnya saya belum nonton padahal film ini mau dibuat remake-nya yang dibintangi oleh Chloe Grace Moretz.
BalasHapus