Selasa, 08 Desember 2015

ROSEMARY'S BABY [1968]

“Rosemary’s Baby” adalah contoh film horror yang sukses dalam menggabungkan elemen supernatural kuno dalam balutan seting di era modern. Menggunakan pendekatan psikologi, “Rosemary’s Baby” menakut-nakuti lewat teror alam bawah sadar dan meninggalkan rasa tidak nyaman bagi penonton. Kegelisahan yang dialami oleh karakter utama dapat menular dengan mudah dan penonton pun terjebak dalam situasi yang sama. Ada perasaan yang ‘aneh’ seperti pada beberapa bagian surealis, membuat merinding tapi tidak akan sampai membuat menjerit. Roman Polanski, sang sutradara, meracik film ini dengan penceritaan yang terbilang lambat, namun mencengkeram tanpa perlu ‘meledak-ledak’.

Kisahnya dimulai ketika pasangan suami istri Woodhouse, Guy (John Cassavetes) dan Rosemary (Mia Farrow) pindah ke sebuah apartemen bergaya klasik Bramford. Menempati kamar yang sebelumnya ditinggal mati pemiliknya. Guy seorang aktor yang kurang begitu gemilang, sedangkan Rosemary seorang istri yang mendamba momongan. Keberadaan mereka mengundang simpati dari tetangga kamar, Roman Castevet (Sidney Blackmer) dan istrinya, Minnie (Ruth Gordon). Begitu mengenal akrab, pasangan tua Roman dan Minnie memberikan semacam kalung pada Rosemary yang katanya berisi “akar Tannis”. Tidak lama, hamillah Rosemary. Siapa Roman dan Minnie ?. Ada apa dengan kalung berwarna perak yang mereka berikan ?.

“Rosemary’s Baby” adalah debut Roman Polanski untuk area Hollywood, dan juga merupakan bagian kedua dari “Apartment Trilogy”. Sepertinya, bagian pertama maupun ketiga dalam trilogi tersebut bukan merupakan rangkaian cerita yang saling berhubungan. Hanya saja, kata “apartment” lebih ditekankan sebagai seting cerita dalam ketiga film tersebut. Bukan tanpa alasan bagi saya untuk memilih “Rosemary’s Baby” terlebih dahulu ketimbang “Repulsion” (1966) maupun “The Tenant” (1976). Selain karena informasi yang baru saya dapatkan, “Rosemary’s Baby” memang sudah memiliki ‘nama’ terlebih dahulu di telinga saya. Khususnya tema ‘bayi setan’ atau ‘anak setan’ yang coba diangkat, adalah alasan kuat.

‘Bayi setan’, frase yang cukup dikenal luas terutama bagi pecinta film horror tanah air. Saya tidak tahu seberapa terkenalnya frase itu di lingkungan film-film luar negeri. Hanya saja, bagi pecinta film lokal memang sudah mendarah daging. Bukan hanya lewat penggambaran dalam film, bayi setan sudah merupakan bagian dari cerita rakyat yang turun temurun dari mulut ke mulut. “Gendruwo”, “gandarwa, atau “gandarva” dalam pelafalan Hindi, kerap kali dijadikan ‘tokoh utama’ dalam kisah-kisah tersebut. Diangkat dari novel berjudul sama karya Ira Levin, “Rosemary’s Baby” mengangkat hal serupa yang telah menjadi mitos dalam sebagian besar masyarakat Indonesia itu ke dalam horor psikologi yang meneror pikiran. 

Ada salah satu sekuen, dimana Rosemary memakai gaun merah cerah diikuti selingan romantis bersama Guy. Hingga kemudian mereka berdua berhubungan suami istri dan mimpi buruk menimpa Rosemary. Saya menyebutnya dengan “sekuen diperkosa”. Asal tahu saja, entitas gaib yang bisa disebut dengan “setan”, ada di balik sana. Mengapa gaunnya berwarna merah ?. Ada apa dengan warna merah ?. Warna yang menyimbolkan darah sebagai bagian dari occult kah ?. Sebagai tanda dari wujud cinta dan romantisme kah ?. Mengikuti hasrat dalam diri yang menggebu kah ?. Sepertinya semua opini saya ini bisa dikatakan tepat. Termasuk mungkin saja si setan memiliki kelainan fetish.  

Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh “Rosemary’s Baby” adalah pada pengambilan gambarnya yang memukau untuk film di era tersebut. Ada salah satu sekuen mimpi yang diambil dengan cara yang menarik dalam menggabungkan lebih dari satu seting adegan dalam satu bingkai. Selain kekaguman saya dalam cara menghadirkan gambarnya, sekuen itu terasa surealis dan paling magis dari yang ada dalam keseluruhan film. Beberapa adegan semacam ritual kultus dan pesta di atas kapal pesiar, menegaskan apa yang terjadi dalam dimensi lain. Aneh dan mencekam. Cara menghadirkan kengeriannya lewat visual itu begitu indah dan memukau. Lantas, mengapa harus ada gambar di langit-langit Kapel Sistina ?.

Bicara soal performa, saya akui Mia Farrow telah menghadirkan yang terbaik di sini, bila melihat jejak filmografinya yang belum pernah mendapat peran utama di film-film sebelumnya. Aktingnya meyakinkan sebagai seorang wanita yang (paranoid) takut kehilangan bayi (dalam kandungan) yang telah lama ditunggu. Mungkinkah, perceraiannya dengan Frank Sinatra selama pembuatan film ini turut meningkatkan kualitas aktingnya sebagai wanita yang putus asa ?. Bisa saja. Tapi sayangnya, ia harus di-snub dari Oscar. Sebagai gantinya, Ruth Gordon mendapat jatah sebagai “Aktris Pendukung Terbaik”.

Roman Polanski lewat naskah yang ditulisnya sendiri, terbukti cerdas dalam mempermainkan persepsi saya selama menontonnya. Ia menggiring saya dalam mencari fakta-fakta terkait penyihir, ritual ilmu hitam, dan sejenisnya. Benarkah mereka nyata ada seperti yang dituduhkan oleh Rosemary ?. Ataukah hanya sekedar pikiran-pikiran yang tercipta dalam dirinya ?. “Rosemary’s Baby” sebenarnya bisa memiliki alternate ending. Saya pikir, Polanski yang setia pada novelnya itu lebih memilih cara ‘aman’ untuk menuntaskan cerita. Bagi saya sendiri yang tidak pernah membaca novelnya, Polanski sudah memberikan yang terbaik melalui ‘kesetiaannya’ itu. OK, tidak ada masalah kalau begitu.  

Opening title-nya diikuti dengan lantunan lullaby yang pada bagian credit­-nya ditulis dengan huruf tegak bersambung klasik berwarna merah muda. Siapa yang melantunkan lagu pengantar tidur tersebut ?. Rosemary kah ?. Jika benar, maka lagu tersebut untuk menenangkan anaknya yang menangis keras di akhir film. Sekedar memberi tahu, Rosemary melahirkan anaknya pada tanggal “6 Juni 1966”.
8 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !