Kamis, 31 Desember 2015

FILM TERBAIK 2015



Akhir tahun pun tiba. Seperti halnya blogger atau pun situs ulasan film lainnya, saya juga merasa wajib untuk membuat daftar film-film terbaik (versi saya) di tahun ini. Jika lainnya mungkin membuat 10 daftar, maka saya menyediakan 20 daftar film. Alasannya tidak lain karena jumlah film bagus yang saya tonton tahun ini sangat banyak, maka perlulah peningkatan kuota. Sepanjang tahun ini pun, saya sudah menonton lebih dari 200 film (tidak termasuk rewatch). Ada yang sangat bagus, bagus, sedang, bahkan kriteria sangat jelek pun juga ada. 

Pada dasarnya, daftar yang saya buat ini murni penilaian pribadi; dengan kata lain tidak bersifat mutlak. Mungkin saya menilai sebuah film dengan kriteria “sangat bagus”, bisa saja film tersebut “lumayan” oleh blogger lainnya. Masih banyak pula film-film bagus yang belum sempat saya tonton dan masuk ke dalam daftar ini, seperti : Brooklyn, The Hateful Eight, The Revenant, Room, Spotlight, dan masih banyak lainnya. 

Selasa, 29 Desember 2015

DRISHYAM [2015]

Selesai menonton “Drishyam”, tiada hentinya saya mengagumi thriller dengan tingkatan ekstra ini disertai sedikit rasa penyesalan. Penyesalan apakah itu ?. Yaitu penyesalan mengapa saya tidak beruntung menonton versi orijinalnya. Perlu Anda ketahui sebelumnya bahwa “Drishyam” yang rilis bulan Juli di tahun ini adalah versi remake dari film berjudul sama tahun 2013. Remake ini disutradarai oleh Nishikant Ramat, sedangkan Jeethu Joseph pada film orijinalnya sekaligus penulis naskahnya. Tidak tanggung-tanggung pula, “Drishyam” sendiri sudah pernah di-remake hingga tiga kali dan menggunakan bahasa yang berbeda. Malayalam di film orijinalnya; Kannada, Telugu, dan Hindi di bagian remake. Ini semua tidak lepas dari kebiasaan lama saya yang selalu memilih versi orijinal dalam sebuah film ketimbang menonton versi buatan ulang. Itulah alasannya.

Sabtu, 26 Desember 2015

STAR WARS: THE FORCE AWAKENS [2015]

Saya mengakui bahwa saya bukanlah penggemar berat dari “Star Wars”, walau saya sudah menonton kesemua filmnya. Meski begitu, bukan berarti saya meremehkan franchise yang terkenal seantero dunia ini. Saya datang untuk menontonnya dengan penuh pengharapan besar bahwa “The Force Awakens” akan memiliki hasil yang sangat memuaskan. Bahkan tidak terlintas sedikit pun dalam pikiran bila installment ketujuh ini bakal mengecewakan. Saya tipikal penikmat film yang jarang mengikuti trailer sebuah film; selain karena alasan lebih memilih kejutan. Namun itu tidak berlaku bagi “The Force Awakens” yang sudah saya tonton teaser-nya sejak satu tahun yang lalu; sebab godaan “Force-nya” begitu kuat memaksa saya. Hasilnya—film arahan J. J. Abrams (Super 8, 2011) ini memang melebih ekspektasi saya.

Senin, 21 Desember 2015

TO KILL A MOCKINGBIRD [1962]


Beberapa waktu lalu, saya sempat menggeledah isi dari external harddisk dengan recovery software, berharap menemukan kembali film-film yang telah terhapus. Saya ingat, ketika itu tengah krisis film untuk ditonton. Salah satu yang cukup mengagetkan adalah temuan film “To Kill a Mockingbird” ini. Saya mencoba kembali mengurai ingatan-ingatan lalu, sejak kapan saya pernah memiliki film ini ?. Tidak pernah. Sampai kemudian saya teringat bahwa teman saya pernah meminjam external harddisk dan menyimpan film ini—lalu kemudian ia memindahkan dalam laptopnya. Tidak asing lagi dengan judulnya, saya pun memastikan diri untuk menontonnya di saat yang tepat. Inilah film yang memenangkan tiga Oscar (dari delapan nominasi), salah satunya Best Picture meski kemudian tumbang dari “Lawrence of Arabia”.  

Minggu, 20 Desember 2015

GOOSEBUMPS [2015]

Pertama kali mengenal karya R.L. Stine ini lewat adaptasi serial tv yang juga ditayangkan di salah satu stasiun tv di negeri ini. Jika saya mencoba untuk mengingat-ingatnya lagi, saya lupa tahun berapa. Hanya saja seingat saya, pemutarannya di waktu sore. Dengan keberadaan serial tv “Goosebumps” itu, sore saya menjadi waktu paling menyenangkan sepanjang hari. Hingga kini, sebagian besarnya telah lupa episode apa saja yang pernah saya tonton. Di antara semuanya, mungkin episode “The Haunted Mask” adalah yang paling membekas dalam pikiran. Masuk akal saja, sebab episode satu itu terus berkelanjutan sampai beberapa episode berikutnya.

Sabtu, 19 Desember 2015

PSYCHO [1960]

**FILM SUPER**

Kali kedua menonton, “Psycho” masih tetap membuat saya terpukau sebagai salah satu satu karya besar dalam dunia sinema. Impresi saya tidaklah sebesar ketika pertama kali menontonnya memang, tapi tetap saja “Psycho” terlalu sulit untuk diacuhkan pesonanya. Bila ingat “Psycho”, maka pikiran ini tidak bisa dilepaskan dari; menegangkan, twist mengejutkan, gore tingkat ekstra, dan shower scene yang legendaris itu. Saya merasa perlu untuk menulis ulasan tentang film ini, sebab mungkin masih banyak yang belum menonton thriller klasik yang sangat terkenal ini. Terutama bagi Anda yang sering menjadikan genre ini sebagai tontonan favorit, “Psycho” masuk dalam daftar wajib tonton. Maka di sinilah peran saya untuk memperkenalkannya kepada Anda.

Rabu, 16 Desember 2015

VICTORIA [2015]

Tanpa membaca sinopsis, tanpa menonton trailer-nya terlebih dahulu; begitulah apa yang saya lakukan sebagai bentuk persiapan dalam menonton film berjudul “Victoria” ini. Apa yang menguatkan saya untuk menontonnya tidak lain karena rating yang bisa dibilang cukup tinggi. Cukup beralasan. Bukan pertama kalinya saya melakukan hal ini. Kerap kali tanpa clue dan modal lainnya, sebuah film akan saya tonton dengan senang hati. Satu fakta menarik dari film arahan Sebastian Schipper ini adalah dibuatnya film ini dengan teknik one-take. Bukan hal yang baru, tapi tetap bisa meningkatkan nilai tambah dalam film. Tanpa saya sadari, sebenarnya “Victoria” telah menunjukkan jati dirinya dalam tagline di posternya, “One Girl-One City-One Night-One Take”. Saya paling tertarik dengan frase pertamanya.

Selasa, 15 Desember 2015

THE HARVEST [2013]

John McNaughton sudah dikenal lama dengan karya-karyanya di ranah horror dan thriller. Saya mengakui bahwa “The Harvest” adalah film pertamanya yang baru saya tonton. Impresi pertama saya adalah bahwa sutradara yang sudah memiliki imej kuat dengan horrorthriller ini memang patut diakui kecerdikannya dalam meramu materi menjadi sajian yang mengundang ngeri. Tentunya, tidak lupa film terbarunya ini (rilis dua tahun lalu) memberikan hiburan yang menyenangkan. Karena belum pernah sekalipun menikmati film-film McNaughton sebelumnya, jadi bagaimana karakteristik penyutradaraannya masih belum familiar dalam otak saya. Di antara semuanya, ada satu judul yang tidak asing bagi saya, yaitu “Henry : Portrait of a Serial Killer” (1986). Anda sudah pernah menontonnya ?

Senin, 14 Desember 2015

THE LITTLE PRINCE [2015]

“The Little Prince” diangkat dari novella tahun 1943 karya Antoine de Saint-Exupéry. Novella ini bercerita tentang seorang Penerbang yang terjatuh di gurun dan bertemu dengan seorang Pangeran Kecil dari sebuah asteroid. Film animasi dan stop-motion dari Perancis ini memang tidak secara menyeluruh mengadaptasi dari novella tersebut, akan tetapi menjadi bagian kecil dari plot utamanya. Untuk memberikan sentuhan yang berbeda (unik), sang sutradara Mark Osborne memisahkannya menjadi dua bentuk. Animasi komputer untuk plot utama dari film dan stop-motion untuk plot dari bagian adaptasi novella. Sang Penerbang disuarakan oleh Jeff Bridges (termasuk narator), sedangkan Pangeran Kecil oleh Riley Osborne yang juga muncul di bagian plot utama film.  

Sabtu, 12 Desember 2015

GETT: THE TRIAL OF VIVIANE AMSALEM [2014]


“Perceraian”, kata ini memang momok bagi pasangan suami istri baik yang pernikahannya telah berusia puluhan tahun maupun yang masih seumur jagung. Bagaimana tidak, karena pada hakikatnya perceraian itu memisahkan dua insan yang jauh sebelumnya telah mengikat janji suci untuk bersama selamanya. Ada beberapa hal yang menjadikannya alasan, bisa berupa kekerasan dalam rumah tangga, ketidakadilan, ataupun meredupnya rasa cinta. Shlomi dan Ronit Elkabetz, dua bersaudara yang menulis naskah dan menyutradarai “Gett, The Trial of Viviane Amsalem” menceritakan betapa alotnya perceraian hingga memakan waktu 5 tahun, sebab salah satu pihak mencoba dengan keras mempertahankan keutuhannya. Sebab masih mencintai kah ?. Keras kepala kah ?.

Jumat, 11 Desember 2015

BAJRANGI BHAIJAAN [2015]

Terhitung sejak menulis ulasan ini, saya sudah menonton “Bajrangi Bhaijaan” hingga tiga kali. Bukan tanpa alasan bahwa Bajrangi Bhaijaan” sebagai feel good movie memang mudah menarik perhatian, ceritanya ringan, lucu, dan tidak membosankan. Dengan mengedepankan isu sosial sebagai bahan dalam memperkuat ceritanya, pantas saja bila film yang disutradarai oleh Kabir Khan ini banyak meraih pendapatan luar biasa hingga disebut sebagai film India terlaris kedua setelah “PK” (2014). Ketertarikan pada film ini dimulai pada pertengahan November lalu ketika teman saya sedang menontonnya dalam laptop dan saya pun mengikutinya meski tidak secara keseluruhan. Baru setelah itu saya memutuskan untuk menonton ulang dan menikmati keasyikan dari petualangan bercampur komedinya.

Selasa, 08 Desember 2015

ROSEMARY'S BABY [1968]

“Rosemary’s Baby” adalah contoh film horror yang sukses dalam menggabungkan elemen supernatural kuno dalam balutan seting di era modern. Menggunakan pendekatan psikologi, “Rosemary’s Baby” menakut-nakuti lewat teror alam bawah sadar dan meninggalkan rasa tidak nyaman bagi penonton. Kegelisahan yang dialami oleh karakter utama dapat menular dengan mudah dan penonton pun terjebak dalam situasi yang sama. Ada perasaan yang ‘aneh’ seperti pada beberapa bagian surealis, membuat merinding tapi tidak akan sampai membuat menjerit. Roman Polanski, sang sutradara, meracik film ini dengan penceritaan yang terbilang lambat, namun mencengkeram tanpa perlu ‘meledak-ledak’.

Kamis, 03 Desember 2015

THE ASSASSIN [2015]

“The Assassin” adalah contoh langka bagaimana martial arts dikemas dengan sentuhan film arthouse. Mungkin yang muncul dalam benak adalah bagaimana film-film yang mengedepankan aksi tangan kosong maupun senjata tradisional ini akan dibuat lebih minimalis, mengingat film-film arthouse lebih banyak menggunakan penceritaan dengan tempo yang lambat. Kenyataannya memang Hou Hsiao-Hsien lewat “The Assassin” ini memang banyak meminimalisir adegan-adegan pertarungannya tapi tetap tidak kehilangan bagian keindahannya. Daya tarik terbesarnya adalah bagaimana film martial arts satu ini dibuat lebih terasa unsur seninya dari paduan tata visualnya.

Senin, 30 November 2015

THE LITTLE HOUSE [2014]


Pada hakikatnya, sebuah rumah memberikan kenangan tersendiri bagi si empunya. Baik itu kenangan manis maupun pahit, semua tercampur menjadi satu menghiasi tembok dan langit-langitnya lalu menciptakan harmonisasi yang indah. Lebih lanjut lagi, esensi sebuah rumah tidak sekedar melindungi si pemilik dari panas maupun dinginnya cuaca atau hujan serta badai saja. Melainkan sudah lebih dalam lagi ketika rumah juga mengayomi dan memberikan ketenangan serta kehangatan bagi si pemiliknya. Seperti itulah kira-kira apa yang tergambar dalam “The Little House” yang disutradarai Yoji Yamada (The Twilight Samurai, 2002).

Senin, 23 November 2015

TU DORS NICOLE [2014]

Tidak perlu mencarinya jauh-jauh, bila terkadang kebahagiaan itu muncul dari hal-hal sederhana yang ada di sekitar. Namun seringkalinya seseorang belum menyadari itu bahkan memilih pelarian terjauh demi mendapatkannya. Stéphane LaFleur menuturkan keadaan tersebut pada film arthouse hitam-putihnya dengan terjemahan judul “Kau Tidur, Nicole”. Stéphane Lafleur menggunakan salah satu tema yang kerap kali dipakai dalam arthouse, yaitu coming-of-age drama. Cukup beralasan bila menggunakannya, karena coming-age-age sendiri sangat dekat pula dengan tema experience yang mengitari kaum muda-mudi, dalam hal ini pencarian kebahagiaan dalam kesederhanaan. So, pengalaman macam apakah yang coba diceritakan oleh LaFleur dengan naskah yang ditulisnya sendiri ini ?  

Sabtu, 21 November 2015

THE NEW GIRLFRIEND [2014]

**FILM SUPER**

Transvestism adalah istilah yang jamak digunakan untuk mendeskripsikan tingkah laku atau cara berpakaian yang sesuai dengan jenis kelamin yang berlainan. Sebagai contoh, seorang pria yang berpakaian layaknya wanita, dan sebaliknya. Timbul pertanyaan dalam diri saya apakah transvestism merupakan bagian dari penyimpangan seksual ataukah semata hanya kecenderungan tampak ingin seperti lawan jenis ?. “The New Girlfriend” karya sutradara François Ozon mengangkat transvestism ke dalamnya, tapi tidak berusaha untuk lebih rinci dalam menjawab rasa penasaran saya tersebut. “The New Girlfriend” lebih pada pencarian jati diri karakternya lewat kejujuran dalam mengikuti apa isi hati. Diangkat dari cerita pendek berjudul sama karya Ruth Rendell, film ini tidak cukup hanya berputar pada lingkup jati diri semata, tapi juga berkaitan dengan penemuan cinta sejati.

Jumat, 20 November 2015

THE GIFT [2015]


“Dendam masa lalu akibat bullying”. Sebuah pernyataan standar untuk mengawali ulasan ini dan menjadi semakin klise ketika tema serupa kembali diangkat ke ranah film. Klise dalam ide bukan berarti akan berakhir menjadi sebuah film yang buruk jika mampu dikemas menjadi sajian yang menarik. Kembali ke tema “pembalasan dendam”, ada 2 macam treatment yang bisa digunakan, pendekatan yang lebih ‘keras’ melibatkan fisik yang dianiaya atau permainan secara psikologis. “The Gift” merupakan debut penyutradaraan dari Joel Edgerton yang menggunakan psikologis dalam menciptakan teror-terornya demi menyiutkan nyali, tanpa perlu memberikan hantaman keras di bagian klimaksnya. Meski tidak banyak bermain dengan siksaan berdarah-darah, nyatanya “The Gift” sanggup menghadirkan kengerian bahkan dari hal yang sifatnya sederhana tanpa ancaman.

TANGERINE [2015]

Film karya sutradara Sean S. Baker ini hampir keseluruhannya diambil dengan menggunakan 3 smartphone iPhone 5s. Berbekal beberapa aplikasi tambahan, maka jadilah film sederhana yang didominasi saturasi warna jingga kekuningan layaknya sebuah jeruk (tangerine). “Tangerine” sederhana dari segi pengemasannya, tapi memiliki kompleksitas cerita dengan kejujuran dari caranya bertutur. Penuh umpatan dan makian, membuat “Tangerine” yang naskahnya ditulis oleh Chris Bergoch dan Sean S. Baker sendiri ini semakin menonjol dari penceritaannya yang tanpa perlu ditutupi dengan kepalsuan. Vulgar dan bebas, tapi tidak membuat risih bagi penontonnya sebab begitu memukau dan menggemaskannya apa yang akan kita lihat dan dengar dalam lika-liku ceritanya.

Rabu, 18 November 2015

GOODNIGHT MOMMY [2014]


Sejak kali pertama membaca sinopsisnya, ada perasaan ngeri yang tervisualisasi dalam pikiran, disusul rasa ingin tahu yang begitu besar untuk menonton film yang berjudul asli “Ich Seh, Ich Seh” ini. Dari luarnya saja, film ini tampak sebagai arthouse bertempo lambat yang merupakan tipikal film kegemaran saya. Dengan suntikan horror-thriller ke dalamnya, “Goodnight Mommy” sudah bagaikan ‘pembunuh’ yang di tahap pertamanya merayu dengan lembut, menarik secara perlahan, dan menusuk sadis di bagian akhir. Rayuan lembut namun mematikan itu bahkan sudah muncul sedari awal ketika sebuah vintage footage Jerman berisikan paduan suara menyanyikan “Brahm’s Lullaby –Good Evening, Good Night”. Kontennya sederhana memang, tapi kesan creepy itu begitu kuat terpancar dari footage yang sudah dipenuhi bercak hitam itu.

Senin, 16 November 2015

MR. HOLMES [2015]

Sudah tidak terhitung berapa kali adaptasi dari detektif paling ikonik asal Inggris ini. Tidak hanya lewat film maupun serial tv, nama besarnya juga sering digaungkan dalam serial animasi. Masih segar dalam ingatan, ketika nama “Sherlock Holmes” mulai masuk perbendaharaan kata saya melalui serial “Detective Conan”, khususnya pada salah satu versi filmnya yang berjudul “The Phantom of Baker Street” (2002). Sejak saat itu, detektif yang dikenal dengan image bertopi pemburu dan menghisap pipa rokok ini mulai melekat cukup kuat dalam pikiran saya. Apalagi yang cukup fenomenal ketika dibawakan oleh Robert Downey Jr. meskipun saya akui pembawaannya sedikit lebih ‘ringan’. “Mr. Holmes” karya sutradara Bill Condon ini tidak menggunakan dasar cerita utama ketika Sherlock Holmes masih aktif menjadi detektif, tapi sebaliknya ketika ia sudah pensiun dan menginjak usia 93 tahun dalam keterasingan.

Jumat, 30 Oktober 2015

YANG (MUNGKIN) SERING KELIRU



Kali ini, tulisan saya tidak berisikan dengan ulasan film, melainkan hal-hal yang sebagian besar salah dimengerti oleh kebanyakan orang khususnya di ranah film. Kali ini saya membatasi hingga 10 pernyataan saja dari fakta-fakta yang sering saya temukan di lapangan. Sebagian besar berasal dari orang-orang sekitar maupun yang saya peroleh dari komentar-komentar di sebuah forum atau sejenisnya. Nah sebelumnya, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak mencoba untuk ‘sok tahu’ dengan membuat tulisan ini, melainkan hanya sebagai media sharing dan belajar bersama. Sebab, saya sendiri juga masih sering melakukan kesalahan pemahaman pada istilah-istilah dalam film. Tidak lain dan tidak bukan karena saya memang masih tergolong ‘penonton awam’ yang masih butuh banyak belajar.

Kamis, 29 Oktober 2015

GÜEROS [2015]


Jika Anda adalah salah seorang yang kerap kali mengikuti film-film bergenre road-trip, maka dengan mudahnya Anda akan ketahui hal esensial apa yang selalu ditawarkan di dalamnya. Sebuah perjalanan yang sifatnya tidak hanya perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain, melainkan sudah pada ranah spiritual yang kelak mengubah watak para karakter dalam film genre tersebut. Debut penyutradaraan Alonso Ruizpalacios lewat Güeros yang notabene juga merupakan road-trip dengan sentuhan coming-of-age inipun pastinya tidak lepas dari tranformasi karakter tersebut. Rupanya, Alonso Ruizpalacios tidak hanya sekedar mengisi filmnya dengan liku-liku semangat muda (keluarga, persahabatan, cinta, dan revolusi) di dalamnya melainkan juga telah menyentuh sektor lain seperti isu sosial yang pernah terjadi di Meksiko pada tahun 1999.

Sabtu, 24 Oktober 2015

KNOCK KNOCK [2015]


“Jangan sekali-kali percaya dengan orang asing apalagi sampai menawarkan tempat tinggal dalam keadaan sendiri di sepinya malam”. Mungkin itulah premis yang ditawarkan oleh “Knock Knock”, film home invasion terbaru dari Eli Roth. Sangat sederhana karena tema yang diangkat sendiri sudah terlalu mendasar. Namun dalam keadaan ataupun alasan tertentu, kehadiran orang asing semacam itu masihlah menimbulkan kebimbangan, khususnya ketika mereka sedang meminta pertolongan. Akankah percaya dengan menolongnya ataukah sebaliknya. Hal itulah yang dialami oleh Evan Webber (Keanu Reeves) dalam film yang merupakan remake dari film berjudul “Death Game”. 

Kamis, 22 Oktober 2015

HOLLYWOOD ADVENTURES [2015]

Bagi penyuka film-film dari Tiongkok, pastinya nama Zhao Wei sudah tidaklah asing lagi. Wajahnya banyak menghiasi film-film dari negeri panda tersebut. Bisa dikatakan bila memang Zhao Wei memiliki daya jual tinggi di tiap film yang ia bintangi. Saya sendiri termasuk yang sudah tidak asing lagi dengan sosok aktris yang satu ini. Bahkan sedari Sekolah Dasar, saya malahan sering sekali mengikuti serial televisinya yang berjudul “Romance in The Rain”, tidak lain lagi merupakan salah satu drama terfavorit. Di film terbarunya ini, Zhao Wei berperan menjadi Wei Wei, seorang penyelundup barang ilegal yang menyaru menjadi tour guide di Hollywood. Dalam bisnis terlarang tersebut, ia menjadi suruhan dari Manny (Sung Kang) dan selalu menempatkannya dalam posisi yang sulit.

Rabu, 21 Oktober 2015

COOTIES [2014]

Jika Anda pernah mengalami insomnia dan butuh cara yang tepat untuk menanganinya dengan segera, maka “Cooties” boleh jadi pilihan utama. Pemilihan tema zombie apocalypse-nya semakin mempertegas bahwa tema semacam ini masihlah tetap eksis demi menjaring penonton. Apalagi “Cooties” dikemas dengan banyak komedi bodoh di dalamnya yang diharapkan efektif menciptakan rasa kantuk yang sangat. Maka dengan menontonnya, “Cooties” lewat arahan Cary Murnion dan Jonathan Milott serta naskah tulisan Ian Brennan dan Leigh Wannell telah membantu Anda secara penuh jika mengalami gangguan tidur di malam hari. Apa yang saya alami adalah bukti nyata keampuhan yang dimiliki oleh “Cooties” ini. Bahkan saya pun sudah tertidur sementara filmnya berjalan di pertengahan.  

Minggu, 18 Oktober 2015

AMERICAN ULTRA [2015]

Tidak perlu menaikkan ekspektasi yang tinggi pada film arahan Nima Nourizadeh ini. Anda pastinya juga tahu hal itu hanya dari penampakan luarnya saja. Tapi paling tidak ada harapan filmnya bisa memberikan hiburan yang ringan dan menyenangkan lengkap dengan aksi full throttle seperti yang sudah terlihat dalam posternya. Dari situ pula dapat ditangkap bila “American Ultra” pastilah banyak mengandung komedi di dalamnya sebagai penyeimbang aksi tembak-tembakan dan ledakan yang akan muncul di dalamnya. Namun adakalanya pula bila film ringan semacam itu justru gagal menghibur dan ujungnya adalah meninggalkan rasa bosan tingkat akut. Pertanyaannya adalah apakah “American Ultra” ini masuk dalam kategori film yang saya sebutkan di atas ?. Sebelum membaca ulasan ini lebih jauh, saya percaya bahwa Anda sudah dapat mengira-ngira jawaban apa yang akan saya sematkan di akhir.

Senin, 12 Oktober 2015

CAREFUL WHAT YOU WISH FOR [2015]

Film arahan Elizabeth Allen ini adalah erotic thriller yang memberikan ketegangan dalam memacu adrenalin audiens bukan melalui adegan-adegan sadis atau mencekam seperti dalam film bergenre serupa. Melainkan lewat kucing-kucingan karakternya dalam usahanya menghindari setiap permasalahan yang akan datang. Ketegangan tersebut tercipta dari rasa takut dan was-was para karakternya sehingga hal itu cukup efektif memberikan dampak bagi audiens. Memang tidak ada ekspektasi tinggi pada film yang satu ini, namun ia sanggup menjadi guilty pleasure yang begitu menyenangkan tanpa harus terbebani lewat setiap konflik yang ditampilkan.

Minggu, 11 Oktober 2015

SICARIO [2015]

Dari apa yang nampak di luar, “Sicario” adalah film yang bercerita tentang perang kepada para kartel narkoba dari tanah Meksiko. Maka apa yang akan penonton saksikan tidak lain adalah aksi membuang-buang peluru dan sesekali ledakan yang bakal menciutkan nyali. Sekilas memang seperti itu, ini adalah perang antara kubu yang baik (polisi) dan kubu yang jahat (kartel). Tapi ingat, itu hanyalah apa yang nampak dari luar saja. Di tangan Denis Villeneuve, “Sicario” tergali lebih dalam lewat sajian yang atmosferik dengan menghadirkan terror yang sesungguhnya dan menarik penonton untuk menjadi bagiannya. Apa yang kemudian dialami oleh penonton tidak lain adalah perasaan tidak berdaya karena fisik dan psikis yang telah tergerogoti lewat karakter yang mewakili di dalamnya. Hantaman demi hantaman yang melemahkan bagian luar maupun dalam itu akan meninggalkan rasa muak sebagai tanda untuk menyerah.

Sabtu, 10 Oktober 2015

THE OVERNIGHT [2015]

Ini adalah film kedua yang disutradarai dan ditulis oleh Patrick Brice setelah film horror Creep” (2014) yang kemarin telah saya ulas. Mark Duplass masih turut serta dalam film ini, hanya kali ini ia duduk di kursi produser dimana dalam film sebelumnya ia juga bertindak sebagai penulis naskah. Dari dua film tersebut, saya mendapati ciri khas tersendiri dari Patrick Brice dalam setiap filmnya, antara lain adalah jumlah karakter yang minim, satu lokasi yang digunakan (sebagian besarnya), dan durasi hanya sekitar 80-an menit. Setelah debut dalam film sebelumnya yang menurut saya bagus secara kualitas, mungkinkah dalam film kedua ini ia masih tetap berhasil dalam mengulang hal yang sama ?.

Jumat, 09 Oktober 2015

MONKEY KINGDOM [2015]

Mengutip dari apa yang diucapkan oleh narator, Tina Fey, bahwa kebanyakan orang melihat sekumpulan monyet hanya melakukan kegiatan sehari-harinya dengan makan, minum, dan bermain saja. Sekilas nampak seperti itu, meloncat dari satu dahan ke dahan yang lainnya demi mencari makan. Sesekali juga bercengkerama dengan sesamanya dalam kelompok yang besar. Sebuah hal yang lumrah dilakukan oleh kebanyakan hewan karena insting mereka yang mengajarkan untuk bertahan hidup. Padahal, sebenarnya monyet juga mengenal sistem kasta dalam kelompoknya. Sebuah hirarki yang memisahkan serta menentukan apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh tiap anggota kelompoknya. Tidak dipungkiri, para monyet pun berlomba-lomba menunjukkan ‘kualitas diri’ untuk bisa meraih puncak tertinggi dalam strata sosial tersebut.

Kamis, 08 Oktober 2015

TURBO KID [2015]


Ada beribu-ribu kesenangan yang akan Anda dapatkan dalam “Turbo Kid” ini. Mulai dari musik-musik retro 80-an yang membangkitkan nostalgia hingga adegan perkelahian ‘tak berotak’ yang sayang untuk dilewatkan. Segmented memang, tapi tidak bisa dipungkiri “Turbo Kid” banyak menampilkan kegilaan-kegilaan yang menyenangkan dan diharapkan pula untuk disukai oleh mereka yang notabene bukan penyuka genre ini. Selama 92 menit ke depan, “Turbo Kid” sukses memancing tawa dengan berbagai sajian di luar logika tapi tidak lantas membuatnya secara keseluruhan menjadi sebuah film yang bodoh. “Turbo Kid” bagaikan franchise “Mad Max” dengan versi sepeda BMX, ia kecil dari skala tapi memberikan impact yang besar khususnya bagi yang merindu dengan gore di era 80-an.

Selasa, 06 Oktober 2015

THE MARTIAN [2015]

Pastinya tidak bisa untuk tidak membicarakan “Gravity” (2013) dan “Interstellar” (2014) bila baru-baru ini banyak mata tertuju pada “The Martian”. Apalagi kalau bukan karena tema space adventure yang diusung berikut rentang waktu kemunculan yang sangat dekat/berurutan. Tanpa mencoba untuk membandingkannya, sejak awal “The Martian” memang tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk menjadi film yang kuat dari aspek dramanya. Namun apakah perlu ada drama yang katakanlah ‘menyentuh’, untuk bisa membuatnya menjadi bagus hingga mampu disejajarkan dengan dua film di atas ?. Saya rasa tidak, sebab bila diambil contoh, Ridley Scott sendiri sudah pernah membuat “Prometheus” (2011) yang luar biasa bagusnya (dimana banyak orang yang tidak menyukainya) tanpa perlu memperkuat aspek dramanya.

Jumat, 02 Oktober 2015

WHAT WE DO IN THE SHADOWS [2014]


Apa jadinya bila kehidupan para vampir diekspos lebih mendalam, meliputi bagaimana cara mereka mencari korban, hubungan romansa hingga persahabatannya dengan sangat detil ?. Mungkin semua itu bisa ditemukan dalam mockumentary asal Selandia Baru karya Taika Waititi dan Jemaine Clement ini. Tapi tenang saja, karena ini mockumentary, para vampirnya pun tampil menggemaskan dan komedinya siap mengocok perut Anda. Meski film yang merupakan feature dari short movie tahun 2006 dengan judul sama ini terlihat konyol, namun komedi hitamnya tidak lantas membuatnya terlihat bodoh dan kacau. Malahan tiap lelucon yang ada diracik dengan begitu cerdas dan si pembuatnya pun tahu timing dalam menempatkannya. Maka jadilah sebuah mockumentary yang mengangkat tema yang tabu dan juga serius namun sukses memancing tawa bagi siapapun yang menontonnya.

Kamis, 01 Oktober 2015

ME AND EARL AND THE DYING GIRL [2015]


Lihat saja judulnya, apa kira-kira yang bisa ditangkap hanya dari judulnya tersebut ?. Sebuah coming-of-age drama yang terasa depresif dan cenderung diselipi tearjerker agar mudah diminati penonton ?. Untung saja filmnya tidak se-depresif judulnya meski memang ada pemicu sebagai tearjerker, tapi tidak sampai melodramatic hingga mengucurkan berliter-liter air mata. “Me and Earl and The Dying Girl” tampil begitu berwarna dan stylish, dapat dilihat mulai dari pemilihan filter warnanya, skoring, hingga storytelling yang terasa kekinian. Walau ada embel-embel kata “dying” di judulnya itu, film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Jesse Andrews (juga debut penulis naskah di sini) malahan terasa berenergi dan bagai penggerak mood khususnya di bagian musik ambient hasil racikan Brian Eno yang membuat suasana bagaikan dreamlike.  

Rabu, 30 September 2015

THE MURDER CASE OF HANA AND ALICE [2015]


“The Murder Case of Hana and Alice” adalah prekuel dari “Hana and Alice” yang dibuat tahun 2004. Bedanya untuk prekuel ini, Shunji Iwai yang sebelumnya juga menyutradarai sekuel tersebut kini menggunakan media animasi untuk menuangkan ide cerita yang juga ia tulis sendiri. Uniknya lagi, Anne Suzuki (Initial-D, 2005) dan Yū Aoi (Honey & Clover dan Rurouni Kenshin) yang sebelumnya bermain di versi 2004 tersebut kini kembali hadir untuk menyuarakan karakter Hana dan Alice yang dulu mereka perankan. Dengan cerita berbumbu misteri, prekuel ini bisa dibilang cukup menarik perhatian bila dibanding sekuelnya yang lebih ke arah teenage romcom. Lingkup high school yang digunakan pun mengisyaratkan bahwa sajian yang satu ini bakal terasa seru, ringan, dan kocak di dalamnya.  

Senin, 28 September 2015

CREEP [2014]

Apakah Anda salah satu dari sekian yang sudah jenuh dengan film found footage ?. Jika “ya”, berarti kita sama. Namun apakah film semacam itu sudah tidak memberikan kepuasan lagi bagi penontonnya, terutama dalam ranah horror ?. Sedikitnya mungkin masih ada yang memuaskan dengan kualitas bagus. Contohnya kemarin “Unfriended” (2014) tetap memberikan tontonan yang menyegarkan dan menghibur meski di beberapa bagiannya ada ide lama yang masih dibawa. “Creep” ternyata juga salah satu dari kesekian found footage baru-baru ini yang tampil tidak ‘murahan’ meski filmnya jelas berbiaya murah. Filmnya sendiri dikemas dengan begitu rapi penuh nuansa yang mencekam meski hanya berdurasi 82 menit.

Sabtu, 26 September 2015

'71 [2014]

Alangkah menariknya bila karakter dalam suatu film mampu menjerat penonton ke dalamnya sehingga ia juga merasakan apa yang juga dirasakan oleh karakter tersebut. Salah satu komponen favorit saya dalam sebuah film tersebut dihadirkan dengan sangat apik oleh Yann Demange lewat film yang berlatarkan sejarah ini. Sebagai penonton, saya begitu terikat sekali dengan karakter utama dalam film bertajuk “71” ini. Segala rasa sakit yang dialami baik itu fisik maupun psikis hingga rasa takut berimbas traumatik, seakan-akan juga menimpa pada saya. “71” rupanya tidak hanya memberikan impact yang besar di bagian ‘luka’ itu saja melainkan juga pembangunan atmosfir yang menegangkan lewat peristiwa kerusuhan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

Kamis, 24 September 2015

MONSTER HUNT [2015]


Melihat posternya yang dipenuhi deretan monster berwarna warni yang terlihat begitu menarik, “Monster Hunt” yang disebut-sebut sebagai film dengan pendapatan terbesar sepanjang masa di Tiongkok ini memiliki banyak pengharapan untuk ditonton. Dari tampilan luarnya, pastinya banyak action menarik yang bisa ditonton. Melihat desain para monster-nya, unsur komedi pastilah ada di dalamnya. Syarat-syarat tersebut kemudian disempurnakan lewat pendapatan besar yang tentunya merupakan bukti bila film ini sangat menjanjikan. Mungkin sudah terbaca bila substansi ceritanya tidaklah begitu kuat, namun balutan visual ditambah koreografinya yang menarik tentulah diharapkan bisa menambal kekurangan tersebut. Raman Hui selaku sutradara memang sadar diri membuat “Monster Hunt” sebagai film yang style over substance, jadi bila penonton merasa tidak sampai terikat ke dalam kisahnya memang bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan lagi.

Rabu, 23 September 2015

SHARKNADO 3 : OH HELL NO! [2015]

Dalam lingkup B-Movie, mungkin hingga kini belum ada yang sampai menyamai ‘kehebatan’ dan ‘kemustahilan’ yang dimiliki oleh franchise “Sharknado” ini. Film yang menjadi ‘perkawinan’ antara “Jaws” dengan “Twister” ini nyatanya mampu menarik perhatian khalayak untuk menontonnya dan jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung bila mengingat ini adalah film dengan grade rendah. Bahkan pada salah satu channel di Youtube pun, film ini pernah menjadi bahan olok-olokan, baik lewat CGI maupun kualitas aktingnya. Namun itu semua hanya dimaksudkan untuk bahan candaan semata karena kita semua juga tahu bahwa “Sharknado” sedari awal murni dibuat sebagai hiburan ringan. Dari sub-judul yang berbunyi “Oh Hell No!”, jelas sekali installment ketiga ini menawarkan sesuatu yang jauh lebih konyol, lebih bodoh, dan tentunya di luar logika manusia normal.

Senin, 21 September 2015

TRUE MASKED RIDER : PROLOGUE [1992]

Yup, inilah ulasan pertama saya tentang tokusatsu (superhero Jepang). Mungkin bagi sebagian besar yang mengaku suka dengan tokusatsu, “Masked Rider” (Kamen Rider) tentunya salah satu serial yang sangat tidak asing. Bahkan bisa dikatakan bahwa “Masked Rider” memiliki fanbase paling besar jika dibanding dengan tokusatsu serupa, sebut saja seperti “Super Sentai”, “Ultraman”, “Metal Hero”, dan lain sebagainya. Khusus untuk “Masked Rider” yang akan diulas ini, saya mungkin tidak menjamin besar bahwa seri yang satu ini banyak diketahui oleh mereka yang mengaku menyukai “Masked Rider”. Mungkin ada yang tahu dari namanya, tapi sedikit yang mengenal lebih dalam dengan seri yang satu ini. Oke, langsung saja saya akan bahas termasuk maksud dari “prologue” dalam judulnya.

Sabtu, 19 September 2015

LA SAPIENZA [2014]

**FILM SUPER**

Saya tahu kalau “La Sapienza” memang film yang sangat sulit untuk diikuti dan dipahami keseluruhan alur ceritanya. Saya pula amat sangat awam bila berhubungan dengan art dan sejarahnya serta memaknai definisi film yang bagus itu sendiri. Namun dengan kacamata awam yang saya miliki, saya melihat bahwasanya “La Sapienza” adalah film yang sangat bagus sekali, indah, dan luar biasa. Eksplorasi karakter adalah salah satu hal yang selalu saya favoritkan dalam setiap film dan itu juga turut menjadi bagian dalam film garapan Eugène Green ini. Butuh dua kali menontonnya bagi saya untuk kemudian dituangkan dalam ulasan ini. Tentunya saya juga yakin bila belum sepenuhnya memahami film ini namun ‘sedikitnya’ telah membuat saya terkagum-kagum. Rupanya saya telah kehilangan ‘pegangan’ sewaktu pertama kali hingga tidak tahu cara menikmatinya.

I'LL SEE YOU IN MY DREAMS [2015]

Film sederhana ini semakin meyakinkan saya bahwa tiada waktu yang terbaik selain meluangkannya dengan orang-orang yang dicintai. Sekiranya itulah yang mungkin saya dapatkan dari senior romance atau apapun Anda menyebut film ini. “I’ll See You in My Dreams” adalah drama romance yang menyenangkan, fresh, ada momen lucunya juga, dan momen sedih bila Anda mengharapkan itu. Film yang disutradarai Brett Haley ini memiliki nilai keunikannya lewat fokus karakter dengan problematika saat melewati usia tengah baya. Dan hey...ini bukan hanya film romansa biasa yang berisi kencan semata di dalamnya. Tapi lebih dari itu, ada nilai-nilai persahabatan juga yang dikandung lewat interaksi yang menarik dari tiap karakternya. Sangat manis lewat penuturan dialognya hingga tiada terasa juga menyelipkan rasa haru di dalamnya.

Kamis, 17 September 2015

SELF/LESS [2015]


Setelah karya terbaiknya yang rilis sekitar 9 tahun yang lalu, “The Fall” (2006), Tarsem Singh tampaknya masih belum kembali memaksimalkan potensi lewat kekreatifitasan yang ia miliki. Dua film setelahnya itupun juga gagal untuk menarik hati meskipun bila dikatakan ‘buruk’ juga tidaklah tepat. Namun setidaknya ia masihlah menghadirkan film dengan kelebihan di bagian aspek visual yang begitu indah meski lemah di substansi cerita. Lantas bagaimana dengan film terbarunya ini ?. Dengan mengusung tema sci-fi thriller ditambah konsep cerita yang lumayan bagus, sangat diharapkan bila karya terbarunya ini dapatlah memikat bagi mereka yang kini sudah rindu akan Tarsem Singh yang dulu.

Rabu, 16 September 2015

TALE OF TALES [2015]


Bahwasanya bila fairytale tidak selalu berakhir dengan bahagia memang ada benarnya juga. Saya pun terkadang juga berfikir seperti itu. Dewasa ini fairytale pun sudah tidak lagi identik dengan dunia anak-anak yang menyenangkan. Bahkan jauh dari bayangan kebanyakan anak-anak bahwa fairytale dipenuhi dengan aneka macam keindahan, yang ada adalah justru setiap bagiannya berisikan kesedihan, kekejaman, dan nuansa yang kelam. Mungkin itulah yang sedikit saya tangkap dari karya Guillermo del Toro berjudul “Pan’s Labyrinth” (2006). Senada dengan film tersebut, karya sutradara Itali Matteo Garrone bertajuk “Tale of Tales” ini setidaknya juga mempergunakan premis menarik tersebut.

TOP 5 MASTURBATION SCENE

<Mungkin Mengandung Spoiler>
Tulisan ini mungkin adalah bentuk dari bingungnya saya dalam mengisi postingan di blog khusus untuk hari ini. Hampir seharian ini belum ada film baru yang saya tonton. Atau mungkin lebih tepatnya adalah kehilangan mood dalam menonton film, padahal gairah dalam menulis sedang bagus-bagusnya. Dari koleksi film dalam “gudang persediaan” juga tidak ada yang sanggup menjadi mood-booster. Maka sekilas terpikirkanlah ide untuk melanjutkan TOP 5 yang sempat terbengkalai ini.

TOP 5 BENCH SCENE


Kira-kira dalam sebuah film, lokasi apa yang biasa terdapat adegan paling ikonik ?. Banyak, baik itu bar, kamar tidur, restoran, bahkan hingga toilet. Dari sekian lokasi yang sering digunakan dalam film, saya paling menyoroti mengenai bench (bangku) ini. Tidak sedikit memang saya menemukan beberapa film yang berisi adegan percakapan karakternya sambil duduk di atas bangku. Di antaranya juga sampai mendapat predikat paling ikonik sebab adegan itu seolah memiliki daya magis yang luar biasa.

TYRANNOSAUR [2011]

Jangan terjebak akan judul hingga poster dari film ini. Meski menggunakan nama salah satu dari dinosaurus, tapi film ini sama sekali tidak bercerita mengenai kadal besar tersebut. Semua akan kembali pada interpretasi penonton bagaimana menerjemahkan judulnya. Meski di dalamnya filmnya disebut beberapa kali, tapi saya pribadi lebih suka bila judulnya merupakan arti secara metafora. “Tyrannosaur” karya debut dari Paddy Considine ini sebetulnya merupakan drama yang bercerita mengenai pergolakan batin seorang manusia. Di mana ketika mereka menahan amarah hingga di ambang batas, hal-hal yang tidak terduga nyatanya mampu terjadi.

Senin, 14 September 2015

REAR WINDOW [1954]

**FILM SUPER**

Satu lagi karya besar dari seorang “Master of Suspense” yang wajib ditonton dan begitu dikenal luas ini. Sama dengan karya Alfred Hitchcock yang lainnya, “Rear Window” tentunya tidak lepas dengan unsur thriller dan suspense. Tidak hanya itu, film yang dibintangi aktor legendaris James Stewart ini bahkan memiliki ciri khas yang unik bila dibanding film-film Hitchcock lainnya terutama dari penggunaan set lokasi. Eksplorasi karakter yang menarik terutama dari relasinya dengan karakter yang lain membuat saya begitu menyukai film ini. Itu memang salah satu keahlian yang dimiliki oleh Hitchcock selain kelihaiannya dalam menciptakan atmosfir menegangkan bagi penonton hingga permainan dari sisi psikologis.

Sabtu, 12 September 2015

AWAL SUKA FILM

Bagi saya, dua hari tidak menulis merupakan waktu yang cukup lama, mengingat seringnya saya dengan hobi baru ini terhitung sejak membuat blog. Tidak tahu mengapa, saya merasa mulai nyaman sekali dengan tulis menulis, meskipun kualitasnya tidaklah sebagus blog ulasan film lainnya. Rasanya jari-jari ini gatal sekali bila sehari tidak menulis. Baik, cukuplah curhatan singkatnya. Dalam tulisan kali ini saya hanya sekedar ingin berceloteh mengenai awal perjalanan bisa mengenal film. Saya memang cukup sering menonton film, meski tidak bisa disebut juga sebagai freak, sebab jumlah yang saya tonton pun masihlah sedikit. Apalagi pengetahuan lebih rinci mengenai sejarahnya, orang-orang terkenal di baliknya, hingga judul-judulnya sendiri mungkin masih amat sangat sedikit.

Rabu, 09 September 2015

TED 2 [2015]

Sejak perkenalan pertama lewat si boneka beruang yang doyan mengumpat ini, saya langsung sangat menyukai karakter ini. Tidak tanggung-tanggung, tiga kali menonton filmnya pun masih membuat saya tertawa terbahak-bahak dengan ulah menggemaskan Ted. Tapi tidak untuk sekuel ini. Ya, saya memang masih tertawa di beberapa momennya, tapi saya akui malas untuk menontonnya lagi. Sekalipun jika harus mengunduh dengan cara gratisan. Melihat kesuksesan luar biasa dari seri pendahulunya (baik komersial maupun kritik), bukan tidak mungkin kalau Ted diharapkan sanggup menjadi ‘mesin pencetak uang’ lagi. Sayangnya, hasilnya adalah masih tetap sama dengan film pertama, dan yang berbeda hanya terletak pada penambahan angka “2” di judulnya dan hengkangnya Mila Kunis.

Selasa, 08 September 2015

EVERLY [2014]


“Everly” tidak ubahnya film female vigilante dengan aroma grindhouse seperti layaknya film-film milik Quentin Tarantino. Benar saja, “Everly” memiliki senyawa dari “Dwilogy Kill Bill” (2004) yang keduanya juga bercerita mengenai seorang wanita yang memberontak pada kelompok yang telah menaunginya. Joe Lynch mengusung kembali konsep tersebut ke dalam film ini namun tidak lantas mengulang sepenuhnya yang pernah ada. Dengan kreatifnya ia menggunakan single location berupa ruang apartemen sebagai battlefield untuk sekuen aksinya. Salma Hayek yang memiliki kharisma wanita seksi pun sangat pantas disematkan di posisi leading role.