Kamis, 29 Oktober 2015

GÜEROS [2015]


Jika Anda adalah salah seorang yang kerap kali mengikuti film-film bergenre road-trip, maka dengan mudahnya Anda akan ketahui hal esensial apa yang selalu ditawarkan di dalamnya. Sebuah perjalanan yang sifatnya tidak hanya perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain, melainkan sudah pada ranah spiritual yang kelak mengubah watak para karakter dalam film genre tersebut. Debut penyutradaraan Alonso Ruizpalacios lewat Güeros yang notabene juga merupakan road-trip dengan sentuhan coming-of-age inipun pastinya tidak lepas dari tranformasi karakter tersebut. Rupanya, Alonso Ruizpalacios tidak hanya sekedar mengisi filmnya dengan liku-liku semangat muda (keluarga, persahabatan, cinta, dan revolusi) di dalamnya melainkan juga telah menyentuh sektor lain seperti isu sosial yang pernah terjadi di Meksiko pada tahun 1999.

Güeros diawali dengan dikirimnya si bocah nakal bernama Tomás (Sebastián Aguirre) pada sang kakak, Fede alias Sombra (Tenoch Huerta) di Mexico City oleh sang ibu yang sudah tidak kuat menanganinya. Sombra bersama sahabatnya, Santos (Leonardo Ortizgris), tinggal dalam apartemen kecil dan menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan sebab universitas tempatnya menuntut ilmu telah ’lumpuh’ total. Suatu ketika Tomás mendapati kabar bahwa legenda folk-rock Meksiko idolanya, Epigmenio Cruz, sekarat di rumah sakit. Petualangan pun dimulai saat Tomás mengajak Sombra untuk menjenguknya yang sebelumnya sempat ditolak sebelum akhirnya ia menderita panic attack.

Dalam “Güeros”, Anda akan diajak mengikuti petulangan seru Tomás dkk. yang turut pula diselipi komedi yang pandai memancing tawa. Para karakter unik yang ada turut pula menjadi bagian dari komedi yang menghibur itu. Sebelum bicara lebih lanjut tentang karakterisasi hingga konflik yang ada, tidak ada salahnya bila saya bercerita sedikit dengan ‘kemasan’ unik dari film ini. Güeros begitu indah di bagian visualnya dan bahkan ia tidak cukup hanya memperdaya kita di bagian itu saja. Akan tetapi sudah pada aspek yang lain seperti audio yang kerap kali diperdengarkan dengan suara-suara bising dan teknik pengambilan gambar yang sanggup membuat kita masuk dalam narasi. Direkam dengan hitam putih dan rasio 4 : 3, “Güeros” sekilas tampak minimalis layaknya “Ida” (2014) serta bukti kuat bahwa ia mengukuhkan diri sebagai film arthouse. Minimalis dari caranya dikemas namun tidak sesederhana itu ketika kita menyelam lebih dalam menjadi bagian dari masalah para karakternya.

Dalam Bahasa Spanyol, “güeros” memiliki makna konotasi sebagai “orang yang berkulit cerah”. Di film ini, kata tersebut merujuk pada Tomás yang seringkali dibandingkan dengan kakaknya, Fede yang berkulit gelap (“sombra”). Tomás dikenal sebagai prankster dan hiperaktif, berlainan dengan Sombra yang lebih pasif dalam melewati hari-hari. Begitu pula dengan Santos. Diceritakan bahwa Sombra banyak menghabiskan waktu dengan melatih teknik sulap, sedangkan Santos memilih mengkliping foto-foto dalam koran. Tidak ada hal lain yang mereka lakukan selain bermalas-malasan, bersembunyi dari dunia luar, dan mencuri listrik tetangga, di saat mahasiswa lain berdemo besar-besaran yang merupakan imbas dari pemogokan kuliah. Di sini sutradara Alonso Ruizpalacios menampilkan kontradiksi dengan sangat menarik namun mudah menarik pernyataan kita bahwa keadaan tersebut akan berubah di bagian menjelang akhir. Transformasi karakter itu sangat dibutuhkan dan kemunculannya akan dikisahkan dalam petualangan pencarian sang maestro musik Epigmenio Cruz (Alfonso Charpener).

Transformasi karakter itu tidak hanya berlaku bagi Sombra saja, melainkan turut pula menimpa pada Santos dan Tomás. Lewat perjalanan seru yang sering kali tertimpa kesulitan, trio ini mulai mendapatkan pencerahan lewat berbagai pelajaran menarik yang didapat. Puncaknya ada di bagian klimaks ketika kita mungkin saja tercengang dengan apa yang dilakukan si pasif Sombra ketika memintakan tanda tangan Epigmenio Cruz untuk kaset tape milik Tomás. Sebagaimana cara bertutur Güeros yang terkadang filosofis, bagian tersebut memang begitu puitis di saat Sombra yang sebelumnya kita kenal bagaikan dead man walking, mampu mengucapkan rangkaian kata nan indah yang bahkan membuat sang maestro mampu tertidur. Sungguh lembut dan terkadang lucu, itulah bagaimana Alfonso Ruizpalacios bercerita lewat “Güeros” ini. Filmnya begitu padat dan segar, sesegar jiwa-jiwa youth in rebellion yang merupakan pondasi utama film ini dibangun. 

Tidak cukup hanya bicara mengenai perjalanan spiritual, “Güeros” lebih banyak lagi memberikan kritik sosial (politik, ekonomi, dan pendidikan) yang kemudian memuncak pada fenomena besar yang pernah melanda Meksiko di tahun 1999 yang juga digunakan sebagai seting cerita. Tidak hanya menciptakan pemogokan mahasiswa sebagai bagian histori, efeknya pun kemana-mana yang tidak lain juga menimpa Epigmenio Cruz sebagai penyanyi ternama namun telah terpinggirkan. Bahkan tidak segan-segan, secara satir Ruizpalacios menyinggung pula sinema Meksiko yang mengatasnamakan ‘seni’ padahal filmnya dibuat dari uang pajak. Lewat berbagai kritikan yang hampir menyerang di berbagai lini, “Güeros” nampak begitu padat berisi dan solid lewat naskahnya itu. Plotnya memang mudah berlompatan dari satu masalah ke masalah yang lain, tapi semua masih dalam satu ikatan yang kuat. Dengan dasar drama coming-of-age pula, maka “Güeros” tidak lepas dari bagian romance yang secara penuh diserahkan pada Sombra dengan mantan kekasihnya, Ana (Ilse Salas). 

“Güeros” ditutup dengan senyum puas Sombra yang terasa begitu misterius yang diabadikan lewat kamera milik Tomás. Tapi, bagian klimaks yang misterius itu bukan berarti tidak bisa kita maknai dengan mudah. Sebab sejatinya penutup itu merupakan titik balik pada dua karakter yang mendapat sorotan paling terang di sini. Melalui materi dengan cakupan luas dan dikemas padat, “Güeros” seakan tidak cukup untuk ditulis menyeluruh dalam ulasan ini. Namun sudah lebih dari cukup ketika jalinan kisah yang kuat berbalut visual indahnya itu berucap di depan mata.

8,5 / 10

2 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !