Minggu, 18 Oktober 2015

AMERICAN ULTRA [2015]

Tidak perlu menaikkan ekspektasi yang tinggi pada film arahan Nima Nourizadeh ini. Anda pastinya juga tahu hal itu hanya dari penampakan luarnya saja. Tapi paling tidak ada harapan filmnya bisa memberikan hiburan yang ringan dan menyenangkan lengkap dengan aksi full throttle seperti yang sudah terlihat dalam posternya. Dari situ pula dapat ditangkap bila “American Ultra” pastilah banyak mengandung komedi di dalamnya sebagai penyeimbang aksi tembak-tembakan dan ledakan yang akan muncul di dalamnya. Namun adakalanya pula bila film ringan semacam itu justru gagal menghibur dan ujungnya adalah meninggalkan rasa bosan tingkat akut. Pertanyaannya adalah apakah “American Ultra” ini masuk dalam kategori film yang saya sebutkan di atas ?. Sebelum membaca ulasan ini lebih jauh, saya percaya bahwa Anda sudah dapat mengira-ngira jawaban apa yang akan saya sematkan di akhir.

“American Ultra” adalah kolaborasi kedua dari Jesse Eisenberg dengan Kristen Stewart. Keduanya memerankan pasangan kekasih yang saling mencintai dan melengkapi satu sama lain. Jesse Eisenberg berperan sebagai Mike, seorang pecandu sekaligus kasir minimarket yang menikmati hari-harinya dengan begitu monoton selain ketika sedang berduaan dengan kekasihnya, Phoebe (Stewart). Suatu ketika, datanglah seorang agen CIA bernama Victoria Lasseter (Connie Britton), yang memperingatkan Mike akan bahaya yang datang dari saingannya, Adrian yates (Topher Grace) untuk memusnahkannya. Sebab ditengarai bahwa Mike merupakan hasil eksperimen dari projek bernama “Ultra”.

Pengenalan awal dari dua karakter utama di sini sebenarnya saya rasa cukup menarik. Dua pasangan ‘tidak biasa’ yang bisa dikatakan ‘bermasalah’, terutama dari kebiasaan mereka berdua yang suka menghisap ganja, cukup mempertahankan atensi saya dalam menontonnya. Beberapa lelucon terselip di antaranya dan cukup memancing tawa meski dalam dosis yang tidaklah banyak. Chemistry antara Mike dan Phoebe sebagai pasangan kekasih di bagian awalnya boleh dikatakan terbangun dengan baik. Atau mungkin bisa dibilang terlalu ‘sempurna’ bila ada pasangan yang saling mencintai tanpa cela selain hanya di negeri dongeng. Namun harus saya katakan bahwa chemistry itu mulai luntur di pertengahan bahkan hingga di bagian akhir. Tentunya dengan lunturnya chemistry itu, rasa kepedulian saya pada karakter semakin berkurang dan itu juga dipengaruhi oleh tidak konsistennya Nima Nourizadeh dalam membentuk Mike dan Phoebe yang mulai terasa berat sebelah. 

Tidak bertahan lama bahwa bagian awal perkenalan yang cukup menarik itu berakhir menjadi menjemukan dan cenderung membuat saya ingin men-skip tiap adegannya. Build-up yang intensitas awalnya terjaga cukup baik itu mulai bertele-tele dan terlalu panjang dalam menuturkan. Bahkan butuh durasi hingga lebih dari 50 menit untuk membicarakan omong-kosong di saat filmnya sendiri berjalan kurang dari 2 jam. Rasa penasaran dan bertanya-tanya tentu saja bermunculan dalam pikiran saya. Namun rasa penasaran itu bukan berasal dari keingintahuan besar tentang apa yang coba diceritakan oleh naskah dari Max Landis, melainkan pertanyaan kapan berakhirnya narasi yang berputar-putar di paruh awal tersebut. Dengan kelemahan besar yang bahkan telah muncul di bagian awal itu, tidak ada lagi yang diharapkan selain sekuen aksinya yang diharapkan mampu menghibur. Pada akhirnya, menghiburkah ?.

Saya cukup mengapresiasi bila Nima Nourizadeh tidak hanya menghadirkan aksi seru tembak-tembakan dan ledakan saja di sini, melainkan juga pertarungan tangan kosong berbalutkan gore yang tidak lain merupakan favorit saya. Mike adalah karakter yang mendapat jatah di sektor itu. Sebagai manusia hasil eksperimen yang memiliki kekuatan di atas manusia rata-rata, Mike tidak sekedar kuat secara fisik, melainkan juga intelejensi. Dalam keadaan terjepit, ia diceritakan mampu menggunakan benda-benda tidak lazim sebagai senjata, sebut saja panci. Hal itu merupakan bagian dari intelejensi yang dimiliki oleh Mike. Namun amat sangat disayangkan, porsi untuk adegan aksi yang ada begitu minim dan seolah-olah Nourizadeh tergesa-gesa demi mengejar durasi film. Antagonis sebagai lawan tanding juga tampak ‘miskin’ dalam kuantitas, bila melihat potensi yang dimiliki oleh karakter Mike ini sebagai sosok tough. Terasa sangat hambar, kurang menggigit, dan lebih didominasi ‘petak umpet’ ketimbang aksi man to man. Maka jelaslah bila di bagian aksi tersebut sangatlah jauh dari menghibur.

Bagian yang paling menyebalkan dari “American Ultra” adalah tidak konsistennya antara apa yang kita lihat dalam film dengan teaser poster yang telah beredar beberapa bulan lalu. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, karakter Mike dan Phoebe terlihat berat sebelah bila melihat dalam teaser poster, keduanya tampak berimbang dengan aksi yang diemban. Kenyataannya berkata lain, Mike memang tampil perkasa, namun di sisi lain Phoebe justru tampak sebagai karakter yang menderita sebagai sandera dan tidak mampu unjuk gigi. Hal itupun ditunjukkan hampir di seluruh bagian film. Lemah di sisi aksi berikut pula karakter, makin menambah ‘kekacauan’ ketika film ini dieksekusi dengan begitu buruknya. Maka terbukti sudah bila ‘American Ultra” gagal menjadi guilty pleasure yang menghibur dengan segala lubang menganga di sepanjang filmnya. Harapan besar aksi bombastis dan gila-gilaan lengkap dengan komedinya walaupun dikemas brainless, telah hancur sudah.
4 / 10

2 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !