Jumat, 25 Maret 2016

THE BOY AND THE BEAST [2015]


“The Boy and the Beast” adalah film animasi 2D kedua dari Studio Chizu yang pernah saya tonton setelah “Wolf Children” yang rilis sekitar dua tahun lalu. Anda bisa membaca ulasan saya untuk “Wolf Children” di blog ini. 

Kedua film ini disutradarai oleh Mamoru Hosoda; seseorang yang banyak dikenal dalam pengaruhnya yang besar dalam animasi Jepang. Hosoda sendiri juga sempat membuahkan karya dalam beberapa episode di “One Piece,” “Naruto,” hingga “Dragon Ball.”

Lewat Studio Chizu, Hosoda telah menelurkan empat buah karya, meski baru dua saja yang telah saya saksikan. Kebanyakan karya Hosoda banyak tercurahkan pada kisah fantasi dengan tokoh mythical creature di dalamnya. Bisa Anda lihat sebelumnya dalam “Wolf Children” yang mengedepankan kisah persaudaraan dua Manusia Serigala yang mencari jati dirinya. “The Boy and The Beast” tidak terkecuali.

Menceritakan seorang bocah laki-laki bernama Ren (Aoi Miyazaki), ia terbuang dari lingkungan keluarganya semenjak ibunya meninggal. Ayahnya juga tidak tahu rimbanya. Tidak ingin diasuh oleh walinya, ia memilih untuk melarikan diri dari rumah dan hidup di jalanan Shibuya. Usia sembilan tahun ketika itu.

Di sebuah gang sempit, ia bertemu dua sosok pria misterius memakai jubah. Salah satu yang bertubuh besar mendekatinya dan bahkan menawarinya menjadi murid. Terkejutlah Ren. Ia bukan seorang manusia, melainkan monster berwujud beruang merah besar dengan sebilah pedang di punggungnya. Ia bernama Kumatetsu (dalam Bahasa Jepang bermakna “beruang besi”).

Penolakan datang dari teman satunya yang bernama Tatara (Yo Oizumi) dan berwujud monyet. Tidak berapa lama, keduanya pergi lalu menghilang di sebuah gang. Ren merasa inilah jalan yang harus ia tempuh. Dikejarnya Kumatetsu dan Tatara di tengah kerumunan pejalan kaki di Shibuya. Sampailah ia di sebuah gang dengan seekor kuda membawa beban. Diikutinya kuda tersebut dan sampailah ia ke dimensi lain yang bernama Beast Kingdom.
Semua penghuni Beast Kingdom berwujud binatang tapi dengan tubuh layaknya manusia. Kehidupan mereka sehari-sehari juga layaknya seperti manusia biasa. Jika Anda perhatikan dengan rinci, jenis hewan sebagai wujud penduduk di situ adalah 12 shio (zodiak) dalam penanggalan Tiongkok. Ada kuda, babi, monyet, kambing, dll. Terkecuali untuk Kumatetsu yang berwujud beruang dan saingan beratnya yang berwujud babi hutan, Iouzen (Kazuhiro Yamaji). 

Keduanya adalah petarung paling tangguh di Beast Kingdom. Tersebutlah wasiat terakhir dari pemimpin Beast Kingdom, Soushi (Masahiko Tsugawa) yang berwujud kelinci putih. Ia mengatakan akan bereinkarnasi menjadi Dewa, maka dari itu ia butuh seseorang yang akan menggantikan posisinya. Kumatetsu dan Iouzen adalah kandidat terkuat.

Jika Iouzen berharap menggantikan Soushi lalu menjadi Dewa, tidak halnya dengan Kumatetsu. Ia bertarung hanya sekedar rivalitas semata. Kumatetsu juga dipandang serampangan, bodoh, serta pemalas oleh penduduk sekitar. Berbeda dengan Iouzen yang dipandang terhormat.

Ada sisi kesepian dalam diri Kumatetsu. Hal yang sama juga dimiliki oleh Ren. Maka tidak mengherankan bila akhirnya Ren menyetujui untuk menjadi murid dari Kumatetsu. Awal hubungan keduanya memang berat. Keseharian mereka dipenuhi dengan love-hate relationship. Tapi seiring waktu, keduanya saling melengkapi dari kekurangan masing-masing. Maka, nama besar Kumatetsu dan Ren pun terdengar seantero Beast Kingdom.

Plot dalam naskah tulisan Mamoru Hosoda sendiri memang mudah diterka. Beberapa komponen di dalamnya sudah cukup familiar bagi kita yang menyaksikan kisah from zero to hero. Bagian yang menyegarkan dalam “The Boy and The Beast” adalah pada penghantaran ceritanya yang penuh dengan imajinasi. Selain itu, karakternya juga dibuat tidak satu dimensi. Lagipula, antar karakternya juga saling menciptakan relasi yang kuat sehingga hadirkan dramatisasi dengan kejutan-kejutan menyenangkan.

Filmnya dibuka dengan aura depresif tentang seseorang yang merasa terbuang dari lingkungannya. Kemudian Mamoru Hosoda menggerakkan cerita dengan sentuhan komedi yang manis dan tidak mudah untuk dilupakan. Di film ini Hosoda berusaha bercerita mengenai “ikatan” yang kuat antara seseorang yang mana bisa tercipta dengan perasaan senasib. Tidak peduli tanpa ikatan darah sekalipun, kasih sayang itu bisa diciptakan.

2 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !