Kamis, 01 Oktober 2015

ME AND EARL AND THE DYING GIRL [2015]


Lihat saja judulnya, apa kira-kira yang bisa ditangkap hanya dari judulnya tersebut ?. Sebuah coming-of-age drama yang terasa depresif dan cenderung diselipi tearjerker agar mudah diminati penonton ?. Untung saja filmnya tidak se-depresif judulnya meski memang ada pemicu sebagai tearjerker, tapi tidak sampai melodramatic hingga mengucurkan berliter-liter air mata. “Me and Earl and The Dying Girl” tampil begitu berwarna dan stylish, dapat dilihat mulai dari pemilihan filter warnanya, skoring, hingga storytelling yang terasa kekinian. Walau ada embel-embel kata “dying” di judulnya itu, film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Jesse Andrews (juga debut penulis naskah di sini) malahan terasa berenergi dan bagai penggerak mood khususnya di bagian musik ambient hasil racikan Brian Eno yang membuat suasana bagaikan dreamlike.  

Siswa tahun terakhir, Greg (Thomas Mann) seorang canggung yang memilih menjadi bagian dari semua klub di SMA Schenley agar menjadi “invisible”. Dengan kata lain, itulah satu-satunya cara agar ia bisa menyatu ke semua golongan di sana dan mendapat posisi ‘aman’. Bersama dengan Earl (Ronald Cyler II), teman masa kecil yang sering ia sebut sebagai co-worker, mereka habiskan waktu luang dengan menonton film-filmnya Werner Herzog hingga membuat puluhan judul film spoof. Suatu ketika, Greg mendapat permintaan dari orangtuanya untuk menjadi penghibur duka bagi Rachel (Olivia Cooke) yang menderita leukemia. Bersama Earl, Greg berencana membuat film sebagai persembahan manis untuk Rachel.

Sinopsis di atas tentunya tidak se-sederhana dari cerita yang ada terutama hubungan yang terjalin antara Greg dengan Rachel. Mereka berdua merupakan teman masa kanak-kanak yang mengalami fading seiring berjalan usia. Greg sendiri mengakui bahwa ia tidak begitu dekat dengan Rachel, namun permintaan dari orangtuanya membuatnya terjebak dalam situasi yang mengharuskan ia untuk melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Apalagi kalau bukan menjadi teman yang kemudian menjadi pendukung masa-masa berat yang dialami Rachel. Tentu saja penonton sudah bisa menebak bila pada akhirnya hubungan yang terasa canggung di awal ini pastinya akan berakhir dekat seiring berjalannya waktu. Atau mungkin timbulnya hubungan asmara ?. Masih terlalu cepat untuk bicara ke arah tersebut apalagi hubungan mereka bisa dikatakan cukup ‘rumit’. Kerumitan itu muncul dari Greg sendiri yang terlihat kesulitan dalam mendeskripsikan arti “teman”, terlihat juga dari relasinya dengan Earl yang menganggapnya bukan teman, melainkan ‘rekan kerja’.

Daripada melihatnya sebagai film romansa dengan dying character semacam “The Fault in Our Stars” (2014), saya lebih menyukainya sebagai coming-of-age drama yang banyak mengedepankan konflik berupa fase sulit seorang anak muda di masa transisi. Dengan topik yang lebih luas itu, film arahan Alfonso Gomez-Rejon ini banyak bicara berbagai hal yang lebih dari sekedar hubungan romansa atau persahabatan biasa. Apalagi dengan melihat ending-nya, film ini nampak similar dengan “The Art of Getting By” (2011) yang dimainkan Freddie Highmore dan Emma Roberts. Baik itu dari konflik maupun konklusinya cukup banyak mengingatkan saya pada film tersebut. Kelebihan yang dimiliki oleh “Me and Earl” adalah pada karakterisasinya yang cukup kaya dan relasi antar karakternya yang unik, bila tidak ingin disebut rumit. Porsi untuk karakternya khususnya pada trio ini hadir dengan begitu berimbang namun pada akhirnya saya merasa Earl hanya jadi pihak penengah saja. Tidak masalah, meski hanya jadi penengah tapi ia termasuk vital dengan kontribusi besar sehingga tidak berakhir sebagai karakter yang numpang lewat.   

Greg adalah tipikal remaja yang self-loathing dan quirky. Sifat quirky itu ia tunjukkan pada keakrabannya dengan Earl dan Pak McCarthy (John Bernthal) dengan lingkup yang paling kecil. Menghabiskan waktu di ruang Pak McCarthy sembari menikmati film-film klasik terutama karya Werner Herzog adalah cara terbaik bagi mereka untuk menghabiskan waktu. Salah satu yang menarik di sepanjang film ini adalah hobi mereka dalam membuat film spoof dari film-film ternama yang pernah ada, sebut saja “A Sockwork Orange” dari “A Clockwork Orange” (1971) atau “Raging Bullshit” dari “Raging Bull” (1980). Sebuah hobi yang menarik melihat sifat quirky pada mereka yang tidak menjadi bagian dari klub manapun di SMA Schenley. Rachel pun tidak kalah menarik. Sebagai seorang yang akhirnya jatuh pada kanker stadium empat, ia tidak berakhir sebagai gadis ‘sekarat’ yang mengemis belas kasih dari sesama. Justru ia masih tampil enerjik dengan mengumbar senyum dan aura bahagia. Bahkan sesekali menertawakan penyakitnya sebagai bahan lelucon nan kocak.  

Nah, bila banyak aura bahagia dan ceria nampak semerbak di sepanjang film ini, apakah pada akhirnya ia ber-happy ending ?. Ini bukan masalah bagaimana film ini diakhiri, melainkan bagaimana ‘proses’ menuju akhir dari film ini sendiri. Sebuah proses bagaimana seorang Greg mendapati semua jawaban atas segala kegamangan di masa transisi remaja ke dewasa, yang meliputi masa lalu, persahabatan, hingga masa depan (hubungan percintaan juga mungkin ?). Oleh karena itu ditempatkanlah karakter Rachel yang secara halus membantu mengiringi Greg dalam proses tersebut. Walau Rachel punya andil besar hingga klimaks, namun bukan berarti Earl kehilangan aksi di sini. Layaknya Rachel yang membimbing menuju masa dewasa itu, maka peran Earl di sini adalah sebagai penuntun masa kanak-kanak Greg menuju tahapan remaja. Dengan begitu, maka dua sosok berharga, “Earl” dan “Dying Girl” inilah yang membantu dalam menapaki hidup seorang “Me”. Maka esensi dari film ini sudah jelas ada dimana ketimbang sekedar mempertanyakan happy atau sad di bagian akhirnya.

7,5 / 10

5 komentar:

  1. udah donlot dan nonton thrillernya.. abis baca review ini jadi penasaran..hehe
    thank for sharing,, :)

    BalasHapus
  2. ya mas sama-sama. hehehe bagus bgt filmnya.

    film ini menang Audience Award sama Grand jury Prize di Sundance Film Festival ^_^

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Hay halo juga,

    Emm kalo film Match Point bisa di cari di lapak donlot kok. Masih banyak hehehe

    BalasHapus
  5. menang banyak awards nih film, cinematographynya keren

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !