Selasa, 05 Januari 2016

GUILTY [2015]



Selesai menonton “Guilty”, saya hanya bisa berbaring sembari menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Sesegera mungkin saya mengambil ponsel serta mencari tahu kebenaran di balik “Noida Double Murder Case” yang menjadi dasar dari ceritanya. Sudah lama saya tidak menonton film hingga memberikan efek yang begitu besar pada saya. Kini saya menemukan “Guilty” arahan Meghna Gulzar; membuat saya terjerat dalam alotnya kasus yang pernah menggemparkan India pada tahun 2008 itu. Imbasnya adalah tiada hentinya saya memikirkan kasus pembunuhan yang sangat rumit itu hingga terbawa mimpi. Mungkin saya terlalu berlebihan, tapi itulah adanya. Hingga saya menulis ulasan ini pun, bayang-bayang kasus rumit tersebut masih membekas kuat di kepala saya.

Secara penuh, “Guilty” mengambil cerita dari kasus pembunuhan ganda yang terjadi di Noida, India pada tahun 2008. Pada suatu pagi, seorang gadis muda berusia 14 tahun ditemukan tewas di kamar rumahnya. Dia adalah Shruti Tandon (Ayesha Parveen). Beberapa bukti dari polisi setempat telah didapatkan dan menyatakan bahwa kedua orangtuanya, Ramesh dan Nutan dinyatakan sebagai pelaku. Tidak berapa lama, mayat kedua yang tidak lain adalah pembantunya, Khempal, ditemukan membusuk di rumah yang sama. Polisi setempat menyebutnya “honour killing”; Khempal diduga memiliki affair dengan Shruti yang jauh lebih muda. Inspektur Ashwin Kumar (Irrfan Khan) dari CDI (Central Department of Investigation) mengambil alih kasus dari inspektur lokal yang dianggap kurang berkompetensi.
Saya tidak pernah mengira sebelumnya bila konflik dari “Guilty” akan hadir dengan begitu rumitnya. Sebelumnya saya mendapati bahwa film whodunit ini mencoba untuk mengkritisi kinerja penegak hukum yang dianggap kurang mumpuni. Dasar-dasar dari investigasi kriminal pun diabaikan sehingga menghasilkan jawaban yang bisa dibilang terlalu subjektif. Dengan beberapa alasan yang kurang mendasar, pelaku dalam kasus pembunuhan itu pun didapat dengan cepat tanpa mempertimbangkan asas-asas yang berlaku. Sebagai penonton, emosi saya pun ikut terpancing melihat ulah para oknum yang kurang kredibel dalam penanganan sebuah kasus. Inspektur Dhaniram (Gajraj Rao) adalah yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Jelaslah dia bukan hero di sini. Lalu siapa ?.

Ini dia hero kita di sini, Inspektur Ashwin Kumar dari CDI. Namanya didasarkan pada inspektur dalam kasus nyata tersebut, Arun Kumar. Diperankan dengan sangat baik sekali oleh Irrfan Khan, yang mana mulai cukup banyak film-filmnya yang saya saksikan terhitung sejak “Life of Pi” (2012). Inspektur Ashwin Kumar adalah sosok yang cermat, kuat, dan terkadang pula menyelipkan joke disaat menangani sebuah kasus. Namun di dalamnya, ia adalah sosok yang sangat rapuh. Di saat memegang kasus pembunuhan ganda ini, Ashwin Kumar tengah dalam proses perceraiannya yang tanpa solusi seperti dalam “A Separation” (2011) atau “Gett” (2014). 

Tabu berperan sebagai Reema, istri Ashwin Kumar. Bagi saya, kemunculannya yang hanya sebagai cameo tidaklah terlalu dibutuhkan selain hanya berfungsi sebagai plot device. Jika Anda bertanya mengapa sekuen Ashwin Kumar dan Reema harus ada, maka Meghna Gulzar lewat naskah Vishal Bardwaj mencoba menampilkan sisi kerapuhan Ashwin. Dengan melihatnya sekejap, Anda sudah tahu bila sosok hero seperti ini adalah tipikal kuat dan memiliki banyak pengalaman di bidangnya. Pastinya kasus-kasus besar sebelumnya sudah pernah diatasi dengan baik. Dan kini, “Noida Double Murder Case” adalah kasus terbesar sekaligus tersulit yang pernah dipegangnya. Hingga akhir karirnya kah ?. Pada bagian ini, Ashwin Kumar banyak mengingatkan saya pada Benjamin Esposito (Ricardo Darín) dalam “The Secret in Their Eyes” (2009). Keduanya juga memiliki ambisi yang sama. 

Dalam menyelidiki kasus ini, Inspektur Ashwin Kumar dibantu oleh Inspektur Vedant (Sohan Shah). Hubungan keduanya bagaikan superhero dengan side-kick yang saling melengkapi. Hingga kemudian hubungan mereka mengalami perpecahan dan masing-masingnya berdiri dalam dua kubu yang saling berlawanan. Melalui dua karakter ini, “Guilty” juga mengangkat soal rivalitas dalam sebuah instansi dimana para pelakonnya berdiri dengan ideologinya masing-masing. Saudara saya menyebut Vedant sebagai karakter “jahat”. Tapi saya sangat tidak setuju. Mereka berdua abu-abu. Tidak ada istilah “baik” maupun “jahat” dalam penuntasan kasus di film ini.

‘Guilty” menggunakan penceritaan bergaya film “Rashomon” (1950) milik Akira Kurosawa. Saya menyebutnya reverse chronology. Dalam film ini, gaya penceritaan tersebut digunakan dalam menampilkan secara kronologis apa yang terjadi pada pagi ketika ditemukannya mayat Shruti. Sudut pandang yang digunakan pun bermacam-macam, mulai dari Ramesh, Nutan, Inspektur Dhaniram, hingga pihak CDI. Perbedaan sudut pandang pun mampu membuat penonton ‘tersesat’ akan pemahaman siapa yang benar dan salah dalam kasus ini. Namun bagi saya, yang paling utama adalah bagaimana film ini memberikan kesan thrilling dalam penghantaran ceritanya. Serta tidak lupa esensi bahwa keadilan harus ditegakkan setinggi-tingginya tanpa melalaikan prosedur yang ditetapkan.   

Ada gambar Dewi Justitia dalam poster “Guilty”. Dewi Justitia ini disimbolkan sebagai keadilan dengan beberapa ciri khasnya yang melekat. Mata tertutup yang berarti tidak pandang bulu, tangan kiri mengangkat timbangan yang berarti menjunjung tinggi keadilan, serta pedang di tangan kanan yang bermakna tegas tanpa memihak. Maka tidak salah bila posisi tangan kiri (timbangan) lebih tinggi dari tangan kanan (pedang); sebab menimbang keadilan dalam sebuah hukum sangat diutamakan. Namun semua akan berbanding terbalik bila tangan kanan lebih tinggi dari tangan kiri; ketegasan diutamakan tanpa melihat adanya keadilan (hukum). Hal itulah yang coba diangkat ke dalam “Guilty”.      

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !