Minggu, 10 Januari 2016

SIN CITY [2005]

Didominasi warna hitam putih. Minim pencahayaan. Semua wanitanya tampil menggoda. Cinta yang mematikan. Sebagian besarnya merokok, mengeluarkan asapnya dengan pelan serta penuh kenikmatan. Setingnya malam. Gelap. Ditambah hujan deras. Ada motivasi seksual di baliknya. Semua adalah deskripsi film noir yang begitu melekat pada “Sin City”. Saya menyukai visualnya yang indah. Saya menyukai alurnya yang mungkin telah sering kali diceritakan ulang. Saya menyukai koreografinya. Saya menyukai dialognya yang keren. Saya menyukai seluruh yang ada dalam “Sin City”; kecuali pemerintahan korup yang ada dalam Sin City. Sewaktu menontonnya, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan godaan visualnya yang begitu memesona.

Sebelum itu, perlu Anda ketahui bahwa “Sin City” yang saya tonton ini adalah versi recut, unrated, dan extended. “Sin City” terbagi menjadi empat segmen, pertama adalah “That Yellow Bastard”, kemudian “The Customer is Always Right”, “The Hard Goodbye”, dan yang terakhir adalah “The Big Fat Kill”. Bagian pertama bercerita tentang John Hartigan (Bruce Willis), detektif tua yang idealis. Sesaat sebelum pensiunnya, ia berusaha menyelamatkan gadis kecil bernama Nancy Callahan dari penculikan Ethan Roark, Jr. (Nick Stahl); seorang pedofil, anak senator Roark (Powers Boothe). Niat baik John membuatnya malah difitnah memperkosa Nancy dan membuatnya dipenjara delapan tahun.   

Narasi kemudian berlanjut hingga bebasnya John serta pembalasan dendam Roark, Jr. Tahu mengapa segmen pertama diberi judul “That Yellow Bastard” ?. Yellow Bastard tidak lain adalah Roark, Jr. yang malih rupa menjadi makhluk mengerikan pasca dianiaya John. Tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses berubahnya, bagi saya tidak masalah. Yellow Bastard bertubuh kuning, darahnya juga kuning, berbau busuk, perutnya buncit, wajahnya penuh keriput, dan telinganya lebar. Sekilas bentuknya mengingatkan saya pada Goblin. 

Jika sebelumnya saya menulis bahwa “Sin City” dibuat dengan format hitam putih, lantas bagaimana saya mengetahui warna Yellow Bastard ?. Tidak semua figur dalam “Sin City” dibuat dengan hitam putih. Beberapa karakter, termasuk benda di dalamnya, dipoles berwarna; seperti darah, bola mata, dan termasuk di antaranya adalah Yellow Bastard. Beberapa figur yang dibuat berwarna menciptakan kekontrasan dari segi visual. Membuatnya unik dan menarik. Ini adalah salah satu alasan yang membuat “Sin City” terlihat lebih stylish dibanding film-film noir klasik. Walau pun hitam dan putih mendominasi tampilannya, tidak lantas membuat “Sin City” menjadi usang. Sebaliknya justru membuatnya tampak colourful

Kesamaan cerita antar segmen dalam “Sin City” mengangkat tema ketidakadilan dalam pemerintahan korup. Sudah pasti, di dalamnya terlibat oknum-oknum nakal yang dapat Anda tebak siapa. Di sini, wanita adalah pihak yang menjadi bulan-bulanan akan ketidakadilan tersebut. Namun naskah tulisan  Robert Rodriguez dan Frank Miller; didasarkan dalam novel grafis karya Miller, tidak membuat para wanita menjadi korban misogyny. Para karakter wanita ini justru digambarkan kuat serta berpengaruh. Segmen terakhir adalah puncak di mana para wanita memegang semua kendali dan membuat para pria mengakui seluruh kekuasaannya. 

Kekuatan dari “Sin City” sebenarnya tidak terletak pada plotnya, melainkan tata visualnya yang magnificent. Ketika saya menontonnya, tiada henti mata ini memandangi setiap detil penataan gambar maupun warnanya. Sangat indah sekali. Di saat bersamaan pula, otak saya tetap harus berfokus pada plot. Jangan sampai gambar indahnya membuat pemahaman menjadi tergelincir. Meski secara visual “Sin City” menarik hati saya, tidak berarti plotnya lemah. Plotnya tetap ‘berisi’ dengan sentuhan satir dan tidak terduga ada selipan beberapa komedi one-liner yang efektif.   

“Sin City” banyak dibintangi jajaran cast yang sudah punya nama besar, seperti Jessica Alba sebagai Nancy remaja, Clive Owen, Benicio del Toro, Mickey Rourke, Elijah Wood, Michael Madsen, serta Devon Aoki yang berperan sebagai Miho; gadis pelindung Old Town yang kemampuannya bak seorang kunoichi (ninja wanita). Diam namun mematikan. Tatapannya tajam; setajam pedang yang dibawanya atau shuriken berbentuk manji yang dilemparnya. Adanya karakter Miho, boleh saja bila direlasikan dengan Quentin Tarantino (ia juga berkontribusi dalam menyutradarai salah satu adegan di sini). Tarantino memang dikenal tertarik dengan dunia martial-arts. Miho di sini pun tidak luput dari sentuhannya dengan mengatakan bahwa pedangnya adalah buatan Hattori Hanzō. Bayangkan betapa menariknya bila Miho dipertemukan dengan Beatrix Kiddo.

Tidak diragukan lagi bila “Sin City” memiliki nilai keartistikan yang begitu tinggi. Setiap frame-nya, gerakannya, set buatan tangan, hingga dialognya sendiri mewakili. Sebelumnya, film yang begitu saya kagumi lewat tata visualnya adalah “The Fall” (2006) karya Tarsem Singh. Tapi saya tidak bisa membandingkan keduanya, sebab masing-masingnya berdiri di jalur yang berbeda. Setelah mengagumi “Sin City” sampai meninggalkan kesan yang mendalam, apakah sebuah keharusan untuk menonton sekuelnya ?. Jujur saja saya tidak yakin soal itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYO KITA DISKUSIKAN !