Selasa, 28 Juli 2015

RAGING BULL [1980]

**FILM SUPER**
Saya tidak tahu banyak mengenai olahraga yang bernama tinju. Tidak pernah antusias dengan setiap pertandingannya, apalagi mengidolakan salah satu atletnya. Apa yang saya rasakan ini layaknya penolakan dari Martin Scorsese ketika pertama kali dimintai oleh Robert De Niro untuk membuat biopic dari Jake La Motta ini. Diangkat dari memoir berjudul “Raging Bull : My Story” yang ditulis sendiri oleh La Motta, film ini tidak hanya berkisah mengenai perjalanan karirnya saja, melainkan juga carut marut rumah tangganya. Segala aspek luar biasa dari film ini membuat saya begitu terkesan sehingga sejenak melupakan ketidakpahaman saya dengan olahraga adu jotos ini.

Diperankan dengan sangat luar biasa bagus oleh Robert De Niro, Jake La Motta adalah seorang petinju kelas menengah berdarah Itali-Amerika. Dikenal dengan watak yang temperamen, mudah tersinggung, pencemburu berat, dan nafsu makan yang begitu besar. Dijuluki sebagai “Bronx Bull”, amukan Jake La Motta yang destructive begitu ditakuti di atas ring. Adalah Joey (Joe Pesci), adik sekaligus menejer Jake yang bertindak sebagai penenang dan penasihat ketika amarah Jake meledak. Hubungan mereka begitu rumit, tidak jarang mereka saling memaki dan memukul. Tapi di dalamnya, mereka berdua saling menyayangi satu sama lain.

Opening credit yang menampilkan Jake La Motta di atas ring dengan slowmo dan iringan musik “Cavalleria Rusticana : Intermezo” yang megah namun tenang, mengisyaratkan bahwa film ini akan banyak bercerita dengan suasana yang depresif. Hampir keseluruhan “Raging Bull” yang diambil dengan hitam putih pun seolah berbicara mengenai sisi kelam nan gelap dari kehidupan Jake La Motta beserta orang-orang di sekitarnya. Kecuali, beberapa montage berisi pernikahan Jake dengan istri keduanya, Vickie (Cathy Moriarty), yang sengaja dibuat colourful demi menegaskan suasana tengah bahagia. Selain itu, semuanya begitu gloomy, keras, dan brutal. Pembangunan atmosfir yang terasa ‘hitam pekat’ tersebut mewakili kebrutalan Jake ketika di atas ring, kecemburuannya hingga menyakiti Vickie, dan sifat temperamen yang membuat keluarganya berantakan.

Tidak lengkap rasanya jika tidak membicarakan karakter Jake La Motta yang memegang peranan paling besar di sini. Ia digambarkan sebagai sosok yang temperamen, mudah sekali naik darah, dan tidak segan-segan memukul jika ada yang tidak sependapat dengannya, baik itu kepada Vickie maupun Joey yang meskipun adik kandungnya sendiri. Pencemburu, ia bahkan tidak segan-segan merusak wajah Tony Janiro (Kevin Mahon) ketika bertanding, hanya karena Vikki menyebutnya tampan. Pemikirannya yang tidak jernih dengan menuduh Vickie telah selingkuh dengan Joey juga menyebabkan hubungan mereka berdua menjadi dingin selama bertahun-tahun. Nafsu makannya yang besar hingga berakibat bobotnya meningkat juga seringkali membuatnya kerepotan ketika harus bertanding. Gaya bertarungnya yang brutal dan tidak terkendali memang berhasil membuat lawan-lawannya ketakutan. Tapi dari situlah, Jake kemudian kesulitan mencari lawan tanding dan terpaksa menganggur.

Dari deskripsi tersebut, dapat dilihat betapa orang seperti Jake ini  begitu perkasanya di atas ring. Tapi siapa yang menyangka, bahwa Jake ini digambarkan sebagai pengidap madonna-whore complex, yaitu ketidakmampuan dalam menyalurkan hasrat seksualnya, atau bisa disebut impotence. Beda di ring, beda di ranjang. Dalam beberapa adegan, Jake seringkali terlihat menolak berhubungan intim dengan istrinya, Vikki. Kelemahan Jake yang kontras dengan gelar juaranya tersebut lantas membuat Vikki seringkali keluar malam sehingga kembali membuat kecemburuan pada Jake. Tidak hanya itu, kekontrasan karakter Jake ini juga ditampilkan sebanyak dua kali lewat adegan ia menangis karena kalah dari Sugar Ray Robinson (Johnny Barnes) dan saat dipenjara. Karakter Jake yang saling berseberangan ini menjadi daya pikat tersendiri dalam film ini, bagaimana seseorang yang dikenal dengan amukan bagai banteng ini justru memiliki sisi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

“Raging Bull” juga bercerita mengenai ambisi. Ambisi seorang Jake La Motta yang ingin meraih gelar juara di kelas menengah, hingga ambisinya untuk menjadi ‘boss’. Ya, menjadi boss, karena Jake tipikal orang yang tidak mau diatur atau bekerja sama dengan orang luar. Padahal, dalam dunia tinju, seorang ‘bintang’ ring dapat bersinar dengan menggandeng orang-orang berpengaruh, seperti boss mafia contohnya. ‘Ambisi’ tersebut juga berlaku bagi Scorsese. Sebab, “Raging Bull” ini sering disebut sebagai film terambisiusnya, meski sempat menolak membuatnya. Ambisi besar Scorsese dalam pembuatan “Raging Bull” ini juga merupakan penyelamatan karirnya ketika masa-masa frustrasi di awal 80-an akibat perceraiannya dan kecanduan obat-obat terlarang. Pengakuannya ini juga ia sampaikan dalam film dokumenter dari kritikus film Roger Ebert, Life itself (2014).

Kesuksesan “Raging Bull” terletak pada banyak aspek, seperti akting luar biasa dari Robert De Niro hingga membuatnya harus rela menambah bobotnya sampai 27 kg. Dampingan langsung dari “Jake La Motta” juga menambah kemampuan De Niro lebih maksimal lagi ketika harus berakting sebagai petinju profesional. Joey Pesci yang sebelumnya adalah aktor kurang terkenal, mulai terangkat pula lewat film ini. Tidak salah bila kemudian Scorsese sering mengajaknya bermain dalam film-filmnya. Meski sempat berganti-ganti penulis naskah, tapi naskah versi Paul Schradder (penulis naskah Taxi Driver, 1976) yang begitu ‘bertenaga’ dan berani dalam menghidupkan si banteng ring ini. Walau berisikan konten X-rated lewat kekerasan secara eksplisit dan kata-kata kotor, “Raging Bull” adalah bukti ‘keindahan’ sebuah karya biopic yang mungkin sulit untuk ditandingi. Keindahan lewat cara bertutur, visual, dan performa yang apik. Sebagai tambahan, jangan lupa dengan cameo dari Scorsese yang muncul di menit-menit akhir.  
9 / 10

2 komentar:

  1. Ane udah tautkan blog ente, gan. Salam kenal juga, wismacinema.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Salam kenal juga. OK udah masuk...

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !