Rabu, 30 September 2015

THE MURDER CASE OF HANA AND ALICE [2015]


“The Murder Case of Hana and Alice” adalah prekuel dari “Hana and Alice” yang dibuat tahun 2004. Bedanya untuk prekuel ini, Shunji Iwai yang sebelumnya juga menyutradarai sekuel tersebut kini menggunakan media animasi untuk menuangkan ide cerita yang juga ia tulis sendiri. Uniknya lagi, Anne Suzuki (Initial-D, 2005) dan Yū Aoi (Honey & Clover dan Rurouni Kenshin) yang sebelumnya bermain di versi 2004 tersebut kini kembali hadir untuk menyuarakan karakter Hana dan Alice yang dulu mereka perankan. Dengan cerita berbumbu misteri, prekuel ini bisa dibilang cukup menarik perhatian bila dibanding sekuelnya yang lebih ke arah teenage romcom. Lingkup high school yang digunakan pun mengisyaratkan bahwa sajian yang satu ini bakal terasa seru, ringan, dan kocak di dalamnya.  

Cerita berawal dari pindahnya Tetsuko Arisugawa/Alice (Yū Aoi) ke sekolah Ishinomori dimana di sana ada desas-desus mengenai kasus pembunuhan yang kemudian mengarah pada hal-hal supernatural. Alice yang tidak percaya takhayul malah menjadi bagian dari objek exorcism salah satu siswi di sana. Kemudian ia mengenal Hana Arai (Anne Suzuki) yang berkepribadian tertutup dan mengaku mengenal sosok yang ramai dibicarakan sebagai korban pembunuhan itu. Bersama dengan Hana, Alice pun ikut mencari tahu kebenaran dari rumor tersebut. Investigasi berbalut petualangan itupun menandai awal kedekatan mereka berdua yang belum lama ini saling mengenal.

Sebelum menulis panjang lebar terkait ceritanya, sebuah kewajiban bila saya sedikit menyinggung terkait gaya animasi unik yang digunakan Shunji Iwai di film ini. Mengapa saya menyebutnya unik, sebab gaya animasinya bisa dikatakan sangat berbeda dengan yang sering digunakan dalam animasi Jepang/anime pada umumnya. Shunji Iwai menggunakan teknik rotoscoping dengan mengaplikasikan set asli (termasuk cast) yang lantas dipoles dengan animasi penuh warna berikut hasilnya yang cukup memuaskan. Bila Anda pernah menonton anime berjudul “Aku no Hana” (2013-) atau film berjudul “Waking Life” (2001) milik Richard Linklater, maka seperti itulah bentuk dari animasi dengan teknik rotoscoping ini. Animasi jenis ini tentunya akan membagi dua kubu penontonnya, ada yang mungkin melihatnya ‘buruk’ sebab kurang familiar dengan anime pada umumnya dan mereka yang menyukainya dengan alasan fresh. Untungnya saya ada di kubu kedua meski saya akui tetap ada kekurangan terutama di bagian wajah karakter yang terlalu sering berubah-ubah tiap frame-nya. 

Untuk konsep cerita, Shunji Iwai sebenarnya tidak benar-benar membawa ide yang baru ke dalam naskah yang ia tulis. Konsep detektif ala anak SMA sudah sering bertebaran di film-film dan cukup banyak ditemui. Namun ia cukup banyak menyuntikkan unsur komedi lewat kekonyolan anak remaja SMA ke dalamnya sehingga konsep yang sudah jamak itu masihlah lumayan asyik untuk diikuti. Film ini sendiri bukan tipe whodunnit dengan sentuhan thrill yang mencekam, melainkan lebih pada argumen-argumen anak SMA yang mencoba membuktikan kebenaran sebuah rumor dengan komedi yang cukup memancing tawa di sana sini. Ya, unsur komedinya memang terasa pas dan tahu timing serta khas remaja SMA yang dengan keluguan-keluguannya hadir begitu menghibur di sepanjang durasi. Keluguan dari gadis bernama Hana dan Alice dalam mencari tahu terkait kasus pembunuhan itu tidak membuat mereka berakhir sebagai karakter bodoh dan menyebalkan, namun sebaliknya chemistry mereka terasa kuat dan petualangan pencarian itu mampu mengikat atensi.

“The Murder Case of Hana and Alice” sempat pula menyelipkan hal berbau mistis di bagian awal-awal dengan harapan penonton dapat tertarik lebih dalam lewat misteri yang dihadirkan. Tapi sayangnya, narasi Shunji Iwai tersebut terlalu mudah ditebak bila hal mistis itu tidak lebih hanya sekedar decoy. Dengan hanya melihat kulit luarnya saja, sudah barang mudah untuk menebak bila film misteri semacam ini tidak mungkin memasukkan unsur tersebut selain memang untuk pancingan semata. Untunglah Shunji Iwai masih bisa mempertanggung jawabkan kekurangan di bagian itu lewat twist kecil yang jika dipikir lagi juga tidaklah terlalu penting. Kemudian cerita pun bergulir lewat perkenalan Alice dengan Hana seperti yang saya tulis dalam sinopsis di atas. Petualangan dimulai dan saya menangkap ada cukup banyak keseruan terhidang di balik proses investigasi tersebut. Keseruan itu sayangnya tidak sanggup bertahan lama sebab dalam presentasinya, kurang banyak konflik yang hadir memberikan rintangan berarti bagi Hana dan Alice untuk mengungkap kasus tersebut. 

Selain konflik yang diberikan kuranglah begitu ‘mencengkeram’, ada subplot di pertengahan yang sangat disayangkan kurang relevan dan jatuhnya membuat saya sedikit bosan. Namun subplot yang berisi perkenalan Alice dengan seorang pria tua itu bisa dikata tidak sampai membuatnya buruk apalagi sampai merusak substansi cerita. Malah pertemuan dengan pria tua itu bila saya perhatikan dengan detail merupakan homage untuk film legendaris dari Akira Kurosawa yang berjudul “Ikiru” (1952). Salah satunya di sana ditampilkan scene ketika pria tua itu duduk termenung di ayunan yang juga merupakan scene fenomenal dari film “Ikiru” lengkap dengan nada bicara ‘serak’ yang khas. Meski dibuat sebagai homage untuk film besar sekalipun, saya rasa kurang relevan untuk plot utama dalam film ini.

Overall, petualangan ala detektif SMA ini berakhir sebagai hiburan yang cukup seru di kala senggang yang mengecewakannya banyak hal potensial kurang bisa diangkat dan berakhir anti-klimaks. Boleh saja banyak porsi komedinya, namun minus thrill dalam cerita yang mengedepankan espionage tentunya merupakan kekurangan yang cukup fatal.

6,5 / 10

5 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !