Senin, 17 Agustus 2015

FANTASTIC FOUR [2015]

Setiap film-film superhero, selalu menarik khalayak ramai untuk menontonnya, meski sudah banyak diketahui sebelumnya lewat banyaknya ulasan negatif. Benar, saya bicara mengenai “Fantastic Fool/Four” terbaru ini. Dalam ulasan ini, saya tidak akan lagi mengungkit-ungkit masalah yang sama terkait kontroversi pemilihan cast dan lain sebagainya. Cast baik-baik saja, tidak ada masalah berarti di bagian ini. Kesalahan terletak pada nihilnya pengembangan cerita dan karakter, pengemasan, hingga sampai pada penyia-nyiaan para cast yang bertalenta tinggi. Dan yang tidak kalah parah, “Fantastic Fool/Four” telah melenceng jauh dari apa yang disebut dengan film superhero.

Reed Richards (Miles Teller) dan Ben Grimm (Jamie Bell) yang telah bersahabat sejak kecil tengah mengembangkan sebuah teleporter yang kemudian menarik perhatian dari Prof. Franklin Storm (Reg E. Cathey). Mereka berdua pun lalu direkrut untuk menyelesaikan “Quantum Gate” bersama putri Prof. Storm, Sue (Kate Mara) dan adiknya, Johnny (Michael B. Jordan). “Quantum Gate” dirancang oleh Victor von Doom (Toby Kebbell) yang merupakan anak didik dari Prof. Storm. Mengetahui eksperimen tersebut berhasil, Reed, Johnny, Victor, dan Ben mencoba menteleportasikan diri menuju dimensi lain bernama “Planet Zero”. Bencana besar terjadi setelah itu. Ya, bencana tersebut adalah film ini sendiri.  

Bagi mereka yang sering mengikuti serial kartun “Fantastic Four” di tahun 90-an mungkin tidak mudah untuk menerima bahwa origin power mereka kali ini melalui teleportasi, dan bukannya kecelakaan lewat space travel. Sang penulis naskah, Simon Kinberg menyatakan bahwa “Fantastic Four” kali ini menggunakan pendekatan dari komik “Ultimate Fantastic Four” yang mulai terbit tahun 2004, tentunya elemen dari versi orijinal tetap ada. Dalam versi “Ultimate” tersebut, memang diceritakan bahwa origin power dari Reed dkk. memang melalui proses teleportasi, berbeda dengan versi orijinal. Para member pun dibuat dengan look yang lebih muda. Maka saya harap, tidak ada lagi permasalahan soal origin, apalagi hilangnya “uban” yang ada di rambut Reed Richards. Bagi saya pribadi, pemilihan teleport dari versi “Ultimate” memang tepat dan terasa kekinian. Mengingat beberapa film akhir-akhir ini tengah ramai menggunakan konsep tersebut.  

Pada bagian setup, memang cukup menjanjikan melalui perkenalan pada sosok kecil Reed dan Ben. Hingga pada lompatan 7 tahun dan pertemuan pada Sue, Johnny, dan Victor, masihlah belum ada masalah berarti di sini. Atensi kemudian mulai sedikit menurun dalam proses pengembangan “Quantum Gate” yang terkesan berputar-putar tanpa penyelesaian hingga dialog-dialog scientific yang mencoba ‘sok pintar’. Oke, saya tahu penderitaan para penonton di bagian ini. Ini adalah film tentang superhero, bukan ?. Saya percaya, penonton tidak akan pernah peduli soal istilah-istilah rumit science di sini. Yang mereka tahu ini adalah film superhero, dan yang mereka nanti adalah aksi heroik para superhero melawan villain, bukannya melihat para ilmuwan adu debat dalam forum science. Lewat naskah yang ditulis oleh Simon Kinberg, “Fantastic Four” memang mencoba untuk menjadi film-film sci-fi adventure disaster daripada menjadi film superhero. Tone-nya yang gelap tidak lantas membuat film ini terlihat ‘berat’ layaknya “Batman” ala Nolan, melainkan hanya sebagai filter warna semata. Dua hal yang yang tidak mampu berjalan bersama.

Begitu Reed dkk. mendapatkan superpower melalui paparan di “Planet Zero” tersebut, kemudian terjadi lompatan waktu hingga masa 1 tahun setelahnya. Di sanalah tepatnya, awal dari segala bencana besar dalam film ini. Ya, bencana besar yang saya maksud adalah dari segi cerita, bukan hanya dari kemunculan manusia manekin saja....maaf, maksud saya Doctor Doom. Tidak ada pengembangan karakter yang begitu berarti dari sini. Proses dramatisasi yang seharusnya begitu diharapkan lewat adaptasi dari Reed dkk. dengan superpower ini justru ditiadakan, seolah-olah tidak ada yang spesial dengan hal tersebut. Tidak kalah parahnya, Ben yang begitu setia pada Reed hingga membuatnya menjadi “manusia batu” (The Thing), seharusnya mampu tergali lewat kekecewaan perubahan tubuh itu. Kepergian Reed yang seharusnya membuatnya dicap sebagai ‘biang keladi’ justru mampu dimaafkan dengan mudahnya hanya karena kemunculan Doctor Doom yang ingin menguasai semesta.

Nampak jelas sekali di sini bahwa Josh Trank begitu menyia-nyiakan potensi para cast ini. Lihatlah, Milles Teller dengan performanya yang bagus dalam “Whiplash” (2014) atau “The Spectacular Now” (2013). Atau Michael B. Jordan, ia juga powerful dalam “Chronicle” (2012) atau mungkin di “Fruitvale Station” (2013). Keduanya kini bukanlah apa-apa selain seorang “manusia karet” pecundang yang menghilang tanpa alasan jelas, dan “manusia api” yang ingin mobil rosokannya kembali. Antar adegan pun tidak ada koherensi yang membuatnya terlihat begitu rapi. Terlebih di bagian final battle, tidak ada satupun hal yang membuat penonton harus peduli ataupun merasa harus bersimpati pada para Fantastic Four ketika menghadapi Doctor Doom. Setali tiga uang dengan Fantastic Four, Doctor Doom sama sekali tidak memberikan arti ‘kiamat’ yang sesungguhnya melalui kemunculan sepintasnya itu. Motifnya saja masih samar-samar. Lucunya lagi, nama “Planet Zero” layaknya film ini sendiri dimana benar-benar “zero” dalam memberikan apa yang disebut dengan “hiburan”.

“Fantastic Four” ini mudahnya disebut sebagai film ‘mentah’ akibat terburu-burunya dalam proses pembuatan maupun editing. Banyak hole di mana-mana dan antar act-nya seolah terlihat hanya sebagai gambar yang disambungkan secara kasar. Besar harapan bila hak cipta mampu kembali direbut oleh Marvel, jika melihat ke depannya mereka akan membuat “Inhumans” dan semakin menambah keseruan universe ini.
3,5 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !