Senin, 03 Agustus 2015

DARK WAS THE NIGHT [2015]


Film horror dengan subjek utama American Folklore memang sudah tidak terhitung banyaknya. Baik itu yang digarap dengan hasil memuaskan hingga membosankan sekalipun. Saya akui bahwa film horror semacam ini memang sukses dalam menghidupkan atmosfir yang mencekam, terutama dalam penggunaan setting seperti kota terpencil ditambah bumbu-bumbu berupa mitos setempat. Kalau ‘mencekam’ sudah didapat, akankah semua sudah terpenuhi menjadi sajian yang bagus ?. Memang tidak semuanya. ‘Dark was The Night” mungkin adalah salah satu contohnya.

Di sebuah kota kecil terisolir bernama Maiden Woods, digemparkan dengan menghilangnya hewan ternak salah satu warganya, ditambah dengan jejak-jejak kaki misterius nan besar. Seorang sheriff yang bertugas di sana, Paul Shields (Kevin Durand) menyelediki hal tersebut. Desas-desus berkembang di sekitar bahwa ada makhluk misterius yang keluar dari dalam hutan dan mencari mangsa. Kasus tersebut membuat sheriff Paul Shields semakin lelah karena di saat itu pula bayang-bayang anaknya yang telah meninggal terus menghantui.

Sebelum bicara tentang ‘makhluk misterius’ yang menjadi aktor antagonis di sini, baiknya jika pertama-tama membicarakan konflik yang dialami oleh karakter utamanya. Paul Shields adalah seorang sheriff yang telah berpisah dengan istrinya, Susan (Bianca Kajlich). Perpisahan itu disebabkan oleh meninggalnya anak kedua mereka yang bernama Tim. Sedangkan anak pertamanya, Adam (Ethan Khusidman), banyak menghabiskan waktu secara bergantian dengan mereka. Hubungan Paul dan Susan yang ‘dingin’ masih dibayangi oleh Tim yang telah tiada. Mudah sekali ditebak jalan cerita ke depannya bahwa sosok Paul ini akan menjadi penyelamat bagi warga Maiden Woods atas teror yang mereka alami, dan secara perlahan memperbaiki hubungannya dengan Susan yang kurang baik. Konflik yang sebenarnya mampu memunculkan simpati itu nyatanya terlampau sering digunakan dalam film. Apalagi, sosok Tim yang sesekali muncul sekelebat, kurang dieksplorasi lebih dalam untuk menciptakan korelasi dengan plot utama.

Untuk makhluk misterius di sini, awalnya saya mengira bahwa bentuk besarnya tersebut menyerupai sebuah pohon pinus atau semacamnya. Lagipula, film ini juga banyak mengambil setting di hutan-hutan pinus yang merupakan ‘markas’ utama makhluk misterius tersebut. Jika melihat bentuknya yang menyerupai pohon (perkiraan saya awalnya), pikiran saya lalu tertuju pada “Ent”, creature rekaan J.R.R. Tolkien dalam “The Lord of The Rings” Trilogy. Bagaimanapun bentuknya, tentunya sangat mengerikan dengan fisik yang tinggi besar. Misteri awal keberadaannya pun sudah disebar sejak awal lewat jejak-jejak kaki besar yang diharapkan memacu adrenalin penontonnya. Saya berharap pula bahwa konflik karakter utamanya yang begitu klise, mampu tertutupi oleh aura ketegangan yang diciptakan oleh ‘monster’ ini. Tapi alangkah mengecewakannya bahwa film arahan Jack Heller ini lebih banyak berputar-putar soal ‘percaya-tidak percaya’ yang tiada habisnya, terutama bagi Paul Shields. Durasi waktu pun banyak terbuang lewat perdebatan yang tiada henti. 

Jack Heller rupanya masih begitu pelitnya untuk menunjukkan wujud asli dari ‘monster’ ini. Kemunculannya yang setengah-setengah tidak lantas menimbulkan ketegangan, melainkan perasaan bosan di sini. Harapan terakhir saya tentunya harus menunggu dengan sabar hingga konklusi untuk melihat makhluk misterius yang disebut Wendigo ini. Tapi wajar saja sebenarnya melihat indie movie seperti ini harus menghemat budget (terutama dalam CGI) untuk mengkreasikan wujud Wendigo secara nyata. Sayangnya, kekurangan tersebut tidak mampu diatasi oleh Jack Heller dengan aspek lain yang bisa mendukung kualitas film secara keseluruhan. Jangan harap pula kesenangan-kesenangan lewat massacre dengan berdarah-darah akan banyak ditampilkan. Sangat minim dan cenderung tidak diambil secara eksplisit, selain berupa teriakan-teriakan yang tragis. 

Pada akhirnya, “Dark was The Night” kurang begitu memuaskan dahaga saya sebagai pecinta film horror. Memang, atmosfir menegangkannya tercipta dengan cukup baik. Penggunaan filter warna biru gelap juga berpengaruh besar untuk menciptakan suasana yang begitu dingin mencekam, selaras dengan setting yang digunakan. Performa Kevin Durrand sebagai pria yang dihantui kesalahan masa lalu pun dibawakan dengan bagus, hanya saja kurang menarik simpati akibat konflik yang terlalu dangkal. Tapi setidaknya, “Dark was The Night” masih membuat saya betah untuk menonton sampai akhir meskipun pengemasannya sendiri tidaklah sampai over-the-top. Dan yang paling utama, mampu membuat saya tidak enggan untuk menuliskan ulasan ini. Sebab seringnya, tidak menulis ulasan diakibatkan terlalu kecewa dengan film yang ditonton.

5 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !