Selasa, 11 Agustus 2015

DARK PLACES [2015]

Film mystery “whodunit” atau “Who [has] done it” selalu menyajikan cerita yang mengasyikkan karena penuh dengan teka-teki dan kompleks. Sesuai namanya, film “whodunit” menggunakan tema berupa misteri dari pelaku utama dalam setiap konflik yang dihadirkan dalam film tersebut. Kebanyakan, genre lain seperti crime dan thriller ikut bersanding untuk memaksimalkan kompleksitas dari keseluruhan cerita. Tentu saja, dalam tipikal film seperti ini akan banyak sekali plot twist yang disebar sepanjang durasi, baik itu yang bersifat cerdas maupun sebaliknya. “Dark Places” banyak menyajikan hal tersebut, tapi cukup disayangkan tidak dikemas dengan rapi dan cenderung overplotting.

Seorang gadis kecil bernama Libby (Sterling Jerins) menjadi saksi atas pembunuhan ibu dan kedua kakak perempuannya oleh kakak laki-lakinya sendiri, Ben (Tye Sheridan). 30 tahun berlalu, Libby dewasa (Charlize Theron) mendapat undangan dari Lyle Wirth (Nicholas Hoult) untuk mengikuti “Kill Club” dalam pembuktian ketidakbersalahan Ben. Awalnya Libby menolak, tapi iming-iming uang dari Lyle telah meyakinkannya. Meskipun sebelumnya Libby yakin bahwa Ben adalah pembunuhnya, sedikit demi sedikit keyakinan tersebut goyah dan dimulailah investigasi sendiri untuk mengungkap pelaku sesungguhnya.

Sebelum saya mengulas lebih lanjut soal film ini, ada baiknya jika saya jelaskan sedikit mengenai “Kill Club”, yaitu sebuah klub tempat berkumpulnya para mantan polisi hingga pengacara dalam mengungkap kasus kriminal yang masih menyimpan misteri. Di film ini, Ben disebut-sebut tidak bersalah atas pembunuhan terhadap seluruh keluarganya, kecuali hanya menyisakan lone survivor, Libby. Sedangkan pernyataan Libby sewaktu kecil pun masih diragukan kebenarannya. 

Konflik yang dihadirkan dalam film ini persis dengan apa yang ada dalam film “Atonement” (2007), kesaksian meragukan seorang gadis kecil yang berujung menderitanya seseorang di sepanjang hidupnya. Melalui sudut pandang Libby, ia sudah tidak peduli lagi dengan benar atau tidaknya apa yang telah ia lihat sewaktu kecil. Sebab, apa yang tersisa dalam hidupnya hanyalah sakit hati dan penderitaan yang berujung pada penolakan pemberian maaf. Anehnya, jika Ben merasa tidak bersalah, mengapa ia hanya diam saja tanpa mengajukan banding ?. Ternyata semua itu disimpan di bagian belakang dengan alasan yang begitu kelewat ‘konyol’.

Masa-masa berat karakter Libby memang berpotensi mengundang simpati. Berawal dari sebuah keluarga yang damai di Kansas, dalam waktu semalam berubah menjadi sebuah pembantaian seperti dalam film based true story, “In Cold Blood” (1967), atau versi lainnya, “Capote” (2005). Charlize Theron cukup bagus dalam memerankan seorang fighter dari masa lalu yang kelam, serba kesulitan uang serta pekerjaan. Alasan itu pulalah yang mendorongnya dengan terpaksa ikut dalam “Kill Club”. Dari voice over-nya sudah mampu tergambar bahwa Libby yang awalnya tidak peduli soal Ben (Corey Stoll, versi dewasa), selanjutnya akan bertindak sebaliknya. Untuk karakter lain seperti Lyle yang diperankan Nicholas Hoult memang tidaklah terlalu besar, selain hanya berfungsi sebagai plot device. Sedangkan Chlöe Grace Moretz yang lagi-lagi berperan sebagai gadis bitchy, justru memiliki andil cukup besar jika melihat kemunculan pertamanya hanya terlihat sebagai ‘pendukung’. 

Naskah yang ditulis oleh Gilles Paquet-Brenner ini menawarkan sesuatu yang boleh dibilang bukan hal baru lagi. Proses pencarian fakta-fakta lewat penggalian dengan jumlah karakter yang banyak, secara krusial menciptakan overplotting. Tentunya, overplotting tersebut hanya berakhir dengan berputar-putar pada area yang sama dan cenderung datar. Jika pada paruh awal pencarian fakta tersebut menciptakan kesan yang seru dan berliku-liku, saya pun juga merasakan hal yang sama. Tetapi, lambat laun di bagian confrontation atau second act-nya tidak mengalami kenaikan yang berarti. Hasilnya, kebosananlah yang muncul. Gilles Paquet-Brenner (merangkap sutradara) juga mencoba untuk menambahkan hal-hal berbau mistis semacam satanism atau occultism dengan tujuan selain lebih menarik, penuh harapan bahwa penonton akan terseret ke arah tersebut. Sayangnya, kembali lagi decoy semacam itu kurang efektif dalam mempengaruhi.   

Bila “Dark Places” banyak kekurangan dari segi teknikalnya, tidak bagi kehadiran konflik dari tokoh sentralnya, Libby. Seperti yang saya tuliskan di atas bahwa Libby sanggup memunculkan simpati bagi penonton. Pasca pembantaian, ia sempat ‘terkenal’ dan punya cukup uang makan lewat kisah tragisnya yang ditulis ke dalam buku. Semakin bertambahnya usia, rupanya ia telah kehilangan pemerhati dan hidupnya semakin kacau. Pergolakan batin pun ia alami saat harus bersikukuh bahwa Ben bersalah dan harus dipenjara, atau menganggap kesaksiannya hanya sebatas pandangannya yang masih dangkal ketika kecil. Di sini, Libby punya dua pilihan yang begitu sulit dan di saat yang bersamaan pula, perasaan benci telah benar-benar menutup hatinya. 

Secara keseluruhan, “Dark Places” memang masih banyak sekali kekurangannya. Pembangunan aspek visual seperti sinematografi hingga skoring pun kurang mampu membangkitkan ketegangan jika melihat ini adalah film thriller. Twist kecil yang muncul di belakang pun terasa begitu konyol dan menggelikan. Tapi lewat karakter Libby, film ini cukup mempunyai ‘hati’. 
6 / 10

1 komentar:

  1. saya habis mereview film ini, walaupun hanya sebagai penonton awam, tapi ternyata pikiran kita hampr sama kalau menonton film ini akan teringat tema yang sama yang pernah diusung Atonement, hehe

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !