Sabtu, 19 September 2015

LA SAPIENZA [2014]

**FILM SUPER**

Saya tahu kalau “La Sapienza” memang film yang sangat sulit untuk diikuti dan dipahami keseluruhan alur ceritanya. Saya pula amat sangat awam bila berhubungan dengan art dan sejarahnya serta memaknai definisi film yang bagus itu sendiri. Namun dengan kacamata awam yang saya miliki, saya melihat bahwasanya “La Sapienza” adalah film yang sangat bagus sekali, indah, dan luar biasa. Eksplorasi karakter adalah salah satu hal yang selalu saya favoritkan dalam setiap film dan itu juga turut menjadi bagian dalam film garapan Eugène Green ini. Butuh dua kali menontonnya bagi saya untuk kemudian dituangkan dalam ulasan ini. Tentunya saya juga yakin bila belum sepenuhnya memahami film ini namun ‘sedikitnya’ telah membuat saya terkagum-kagum. Rupanya saya telah kehilangan ‘pegangan’ sewaktu pertama kali hingga tidak tahu cara menikmatinya.

“La Sapienza” bercerita tentang arsitek Perancis-Swiss, Alexandre Schmidt (Fabrizio Rongione) yang berkunjung ke Itali guna menulis tentang Francesco Borromini, arsitek yang hidup di awal abad 17 dan terkenal lewat style yang disebut Baroque. Bersama dengan isterinya, Aliénor (Christelle Prot Landman), mereka bertemu dengan dua bersaudara, Goffredo (Ludovico Succio) dan Lavinia (Arianna Nastro). Atas saran Aliénor, Goffredo yang seorang arsitek muda lantas ikut Alexandre menjelajahi Kota Turin dan Roma untuk menikmati peninggalan Borromini. Sedangkan Aliénor sendiri banyak menghabiskan waktu menemani Lavinia. Ternyata, perjalanan itu menggali sisi spiritual bagi mereka berempat.
Sebelum Anda menikmati film yang indah ini, saya sarankan untuk membaca sedikit mengenai Baroque style. Gaya arsitektur tersebut banyak digunakan oleh arsitek besar kala itu seperti Francesco Borromini (1599-1667) dan Gian Lorenzo Bernini (1598-1680) yang namanya akan disebut berkali-kali dalam film ini. Meski keduanya memakai style yang sama, tapi masing-masingnya memiliki ciri khas yang berbeda. Mengapa itu perlu ?. Sebab ciri khas itulah yang nanti menjadi semacam petunjuk untuk memahami karakterisasi dari karakter dalam film ini, terutama Alexandre dan Goffredo. Memang tidak perlu tahu banyak mengenai art (terutama bangunan) untuk memahami film ini, namun petunjuk kecil dari saya cukup membantu agar Anda tidak ‘tersesat’ dalam menikmatinya. Intinya adalah dari dua karakter utama di sini masing-masingnya menganut ciri khusus dari dua arsitek besar tersebut. Dan rupanya, gaya dua arsitek besar tersebut turut mempengaruhi cara pandang mereka dalam memahami hidup. Menariknya, Eugène Green menyelipkan semacam ‘pergeseran identitas’ di sini, seperti yang saya juga temukan dalam film “Clouds of Sils Maria” (2014).

“La Sapienza” banyak mengambil shot-shot indah dari bangunan-bangunan tua yang ada di Itali. Filmnya sendiri berjalan dengan tempo yang lambat, tenang, dan menggunakan point of view shot untuk lebih memfokuskan pada karakter yang ada. Dengan teknik itu pula, para karakter seolah berbicara langsung dengan penonton. Dialognya pun sangatlah menarik, nadanya kalem, banyak diisi dengan pembicaraan mengenai seni, sejarah, dan kehidupan tapi tidaklah sampai memusingkan penonton. Kita lantas diperkenalkan dengan empat karakter yang sudah saya jelaskan dalam sinopsis di atas. Hubungan Alexandre dan Aliénor sebenarnya cukup ‘berjarak’, itu dapat dilihat dari cara mereka berdua dalam berkomunikasi dan keseharian yang dilalui. Sedangkan Goffredo dan Lavinia, kedua saudara itu begitu dekat dan seakan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Dengan perjalanan spiritual itu dan perkenalan lebih ‘intim’ antara mereka berempat, twist kecil tapi indah hadir di konklusi sebagai jawaban atas pemahaman awam mereka selama ini.   

Pada awalnya, Alexandre cukup enggan bersama Goffredo dalam menggantikan posisi isterinya untuk menemani perjalanan. Namun keingintahuan Goffredo yang besar akan dunia arsitektur, membuat Alexandre melunak dan kedekatan mereka berdua tidak bisa dihindarkan. Mereka berbagi pengetahuan dan pengalaman masing-masing, pun begitu antara Aliénor dengan Lavinia. Dibanding Aliénor dan Lavinia, menurut saya “La Sapienza” lebih banyak condong ke arah Alexandre dan Goffredo. Terutama sudut pandang mereka yang menarik terhadap arsitektur melalui style dari dua arsitek besar tersebut di atas. Seiring berjalannya pengenalan pada Alexandre dan Goffredo, di dalamnya akan terselip berbagai macam dialog yang mengarahkan kita pada siapakah kiblat dari mereka berdua. Seperti yang saya singgung sebelumnya, Borromini dan Bernini masing-masingnya turut memberikan pengaruh pada Alexandre dan Goffredo. Namun salah satu dari mereka rupanya tidak menyadari bila di hati kecilnya telah tertanam ‘gaya’ Borromini, padahal selama ini ia meyakini telah berkiblat pada Bernini dalam menuangkan desain bangunan dan cara memandang hidup.

Mungkin tidak banyak yang bisa saya tuliskan dalam ulasan ini. Cukup dengan Anda berpatokan pada Baroque style berikut Borromini dan Bernini serta ciri khas mereka, Anda akan menemukan eksplorasi karakter yang sangat menarik di sini. Sekedar mengingatkan lagi, “La Sapienza” juga memiliki kemiripan dengan “Clouds of Sils Maria” dari caranya bertutur mengenai pendalaman dan pergeseran karakter. Hanya bedanya terletak pada tema yang diusung, satunya adalah arsitektur bangunan dan satunya lagi adalah teater. “La Sapienza” banyak bercerita mengenai masa lalu, kini, dan depan, pengorbanan, religiusitas serta cinta di dalamnya. Semua itu diwujudkan lewat filosofi yang tertanam dalam bangunan-bangunan indah ala Baroque yang menjadi tanda berakhirnya era Renaissance. Penuturannya pun juga begitu filosofis, puitis, elegan, dan indah di setiap bagian-bagiannya. Hampir tidak ada momen-momen yang membosankan selama berjalannya durasi film. Semua tertata rapi, mulai dari sinematografi yang indah hingga pemilihan lagu-lagu orkestra yang mengalun merdu. 

Beberapa momen komedik juga ditampilkan oleh Eugène Green di sini. Secara implisit ia turut menyentil turis yang tidak tahu nilai seni lewat selipan komedi yang menggelitik. Salah satunya adalah perdebatan turis Australia dengan penjaga kapel yang amat sangat lucu sekali. Dari adegan itu saya mulai menyadari bahwa ada perbedaan yang sangat kentara antara mereka yang tahu benar cara menilai seni dan sebaliknya. Apakah Anda ingin tahu bagaimana ?. Cobalah tonton film indah yang juga salah satu yang terbaik di tahun ini.         

10 / 10

3 komentar:

  1. Setiingnya bangunan artistik yang ada di Italia, hmmm jadi pengen kesana dan nonton filmnya disana pasti feelnya lebih dapet :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya benar mas, sangat saya rekomendasikan untuk ditonton. Udah saya masukin list film terbaik di tahun ini. ditunggu aja insyaallah listnya saya posting di akhir tahun.

      Terima Kasih sudah berkunjung ke blog jelek ini ^_^

      Hapus

AYO KITA DISKUSIKAN !