Sabtu, 11 Juni 2016

SUSPIRIA [1977]

“Suspiria” disebut-sebut sebagai karya horror Dario Argento yang paling banyak menuai pujian. Mulai dari penataan musiknya hingga set yang memiliki nilai artistik begitu tinggi. Maka tidak mencengangkan bila kemudian Dario Argento membuat dua sekuel untuk filmnya ini.

Di dunia perfilman Italia, film semacam “Suspiria” ini disebut dengan istilah “Giallo.” Memiliki makna “kuning,” “Giallo” adalah film yang berisikan unsur misteri dan dikombinasikan pula dengan horror, slasher, hingga crime. “Suspiria” ini sangat kental dengan unsur misterinya. Kesan tersebut sudah terpancarkan sejak menit-menit awal film berjalan.

Sebagai cult classis horror, “Suspiria” memberikan pengalaman sinematik yang sangat unik bagi pemirsanya. Di sini sebagai contohnya adalah saya. Selama hampir dua jam ke depan, “Suspiria” mampu memukau mata saya dengan suguhan visualnya yang amat sangat megah bak panggung opera. Gemerlap lampunya ada di mana-mana.

Pemakaian warna-warni yang begitu ‘menyala’ sangat kentara di sepanjang film. Sorotan lampu-lampu yang berwarna-warni memberikan tampilan megah dan unik; bila kita mengingat ini adalah film mystery dan horror. Dari semua paduan warna, merah memang lebih banyak digunakan Dario Argento dalam film. Pesan yang saya tangkap adalah merah melambangkan warna darah yang memberikan kesan menakutkan, menghantui, dan teror.
“Suspiria” mengisahkan seorang balerina asal Amerika, Suzy Bannion (Jessica Harper) yang pindah ke Freiburg, Jerman. Di sana ia melanjutkan belajar balet di Tanz Dance Academy. Di malam Suzy tiba, ia melihat seorang gadis berlari ketakutan dari Tanz. Suzy tidak tahu apa yang terjadi. Gadis yang kemudian diketahui bernama Pat Hingle (Eva Axén) tersebut, tewas secara mengenaskan keesokan harinya.

Pat adalah salah satu siswi balerina dari Tanz. Hal itu sontak membuak kaget Suzy yang baru saja pindah ke sana. Kematiannya yang tragis membuat tanda tanya besar; apa yang tengah terjadi di Tanz? 

Tidak ada yang perlu dicurigai di dalam sekolah. Sang kepala sekolah, Madame Blanc (Joan Bennett) dan guru balet Miss Tanner (Alida Valli) nampak sangat ramah. Suzy juga mudah beradaptasi dengan lingkungan dan juga sesama siswi lainnya. Hingga suatu ketika, suara-suara aneh kerap ia dengar. Suara aneh itu meneriakinya dengan sebutan “penyihir.” Kejadian-kejadian ganjil dan mengerikan lantas muncul bergiliran di Tanz.
Dari sinopsis yang saya tuliskan, sudah sangat terasa sekali bukan aura misterinya? Di sini sang karakter utama dengan dibantu temannya, Sarah (Stefania Casini) mencoba ‘menguliti’ kejadian misterius yang tengah terjadi. Dalam benak saya sebagai penonton, tentu saja pemikiran yang terlintas adalah kejadian tersebut murni tindak kriminal atau bisa juga kekuatan supernatural.

Di luar plotnya yang sedikit mengingatkan saya pada “Rosemary’s Baby” (1968), “Suspiria” lebih menangkap atensi saya pada bagian visual. Di sektor ini, Dario Argento memang memuaskan mata penonton dengan visual bernilai seni tinggi. Selain penggunaan kombinasi warna-warna mencoloknya, art set-nya ditata dengan penuh detil.

Lokasi yang menjadi set utama dibangun dengan banyak ornamen-ornamen abstrak. Untuk pemilihan warna, Dario Argento rupanya juga menggemari warna merah sebagai komposisi utama. Jika mencoba dibandingkan dengan film horror era ini, set lokasinya mungkin terlihat sedikit ‘aneh.’ Saya katakan demikian, sebab figur rumah berhantunya terlihat ‘cerah ceria.’ Saya melihatnya justru lebih seperti museum benda-benda antik. 

Hal yang cukup mengganggu saya sepanjang menonton “Suspiria” adalah pada penempatan musiknya. Ingat, hanya penempatan saja. Saya tidak menilai buruk pada musik yang dibawakan oleh band progressive rock yang bernama “Goblin” ini. Musiknya cukup bagus meski kurang haunting.

Ada beberapa adegan yang minim ketegangan, justru disisipi musik bernada tinggi. Dari segi komposisi pula, musiknya terlalu banyak dentuman ketimbang suara menyayat hati. Jatuhnya malah terasa risih di telinga daripada menakut-nakuti.  Sekuen awal saat Suzy tiba di bandara bisa diambil contoh.

Dari kekurangan di bagian musik yang berakibat minim ketegangan, ‘Suspiria” tetap layak dianugerahi sebagai salah satu horror klasik terbaik yang pernah dibuat. Pembuktiannya ada pada sensasi menonton yang dihasilkannya. Kapan lagi ada film horror dengan nilai seni tinggi?

5 komentar:

  1. I dont like this! Not really horror and so overrated.

    BalasHapus
  2. musiknya bikin merinding ne fulm suspiria

    BalasHapus
  3. Sisi artistik interior set amat nenonjol.It's amazingly.Saya suka sisi heroik profil remaja Syzy Bannion.Bravo.

    BalasHapus
  4. Bagian terseram dari film ini adalah munculnya sosok bayangan yang tertidur dan mengorok di balik tirai. Overall i like this film apalagi suzy bannion (jessica harper) cantik banget

    BalasHapus
  5. Film lama ya mas iza, sayangnya saya belum nonton padahal film ini mau dibuat remake-nya yang dibintangi oleh Chloe Grace Moretz.

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !