Selasa, 28 Juni 2016

EMBRACE OF THE SERPENT [2015]


Jika coba diingat lagi, sebenarnya tidak sedikit film-film yang bercerita soal kolonialisasi Barat. Dimana dalam kisahnya, penduduk lokal menjadi korban kekejaman sebab unsur eksploitasi. Penghisapan sumber daya alam besar-besaran hingga pembantaian yang berbuah pada hilangnya kebudayaan asli.

“Embrace of The Serpent” arahan sutradara dari Kolombia, Ciro Guerra mengangkat hal serupa. Bedanya, Guerra tidak hanya menekankan dari sisi historikal semata. Tetapi juga sisi kearifan lokal yang masih dijaga dengan kuat.

Menonton “Embrace of The Serpent” seperti menjadi saksi hidup tentang ekspedisi di pedalaman Amazon. Saya seperti tidak sedang menonton film, melainkan pengalaman nyata. Ciro Guerra menghadirkan pengalaman menakjubkan dalam menyusuri hutan hujan Amazon. Ya, pengambilan gambar keseluruhan diambil di sana.

Film ini diambil dengan sinematografi hitam dan putih. Luar biasanya, keasrian dan kemistisan di hutan sepanjang sungai Amazon ini masih tampak jelas. Sepanjang film, kita memang seolah-olah tengah menyusuri hutan Amazon. Benar saja, karena sebagian besarnya memang banyak diambil di atas kano.

Secara garis besar, “Embrace of The Serpent” terbagi menjadi dua garis plot: antara tahun 1909 dan 1940. Di tahun 1909, bercerita tentang seorang ethnographer asal Jerman, Theodor Koch-Grunberg (Jan Bijvoet), bersama penduduk lokal, Manduca (Yauenkü Migue) dalam pencarian tanaman keramat yang disebut yakruna (saya yakin ini adalah anggrek).
Theo menderita sakit malaria. Ia tidak ingin mati di hutan sementara masih mengumpulkan penelitiannya. Dibantu Manduca, ia mencari bantuan kepada penduduk lokal di sekitar. Bertemulah mereka dengan Karamakate (Nilbio Torres), seorang shaman sekaligus anggota terakhir Suku Cohiuano. 

Karamakate awalnya menolak dan mengancam akan membunuh Theo; karena ia kulit putih. Sampai kemudian Theo menceritakan perihal sisa-sisa Suku Cohiuano yang tersisa, Karamakate pun luluh. Petualangan mencari yakruna dimulai. Dalam petualangan itu, cekcok antara Karamakate dan Theo tidak terhindarkan. Semua dilandasi kebencian Karamakate kepada para pendatang yang menghabiskan seluruh sumber daya alam.

Sedangkan untuk plot tahun 1940, bercerita seorang ethno-botanist asal Amerika Serikat, Richard Evans Schultes (Brionne Davis) yang menelusuri hutan Amazon demi menemukan yakruna. Pencarian itu pun menuntunnya pada Karamakate tua (Antonio Bolívar). Anehnya, Karamakate telah lupa segala yang pernah ia lewati dulu; termasuk budaya dan tradisi dari nenek moyangnya dulu.

Dokudrama ini diangkat dari catatan harian Theodor Koch-Grunberg dan Richard Evans Schultes. Oleh karenanya, film ini memang memiliki nilai historis yang kental. Saya coba mengamati apa yang ingin Ciro Guerra sampaikan dalam film ini. Ternyata ini bukan sekedar petualangan mencari yakruna semata. Tapi juga mengenai dampak dari kolonialisme Barat itu sendiri. 

Bukan hanya penguasaan sumber daya alam seperti karet, kina, hingga coca yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Bahkan sudah menjalar dalam usaha misionaris mengenalkan agama Kristen kepada penduduk lokal. Akibatnya, penduduk lokal pun menjadi kehilangan keaslian jati diri mereka. Hal ini diungkap sendiri oleh Theo ketika penduduk sekitar mencuri kompasnya. Theo tidak ingin mereka belajar kompas, jika mereka ingin tetap mempertahankan nilai luhur bangsanya.
Karamakate tua memang telah lupa tradisi leluhurnya. Ia telah terpisah jauh dari sesamanya. Namun sejatinya, justru Karamakate lah yang masih memegang teguh peninggalan dari leluhur Cohiuano. Orang-orang Cohiuano yang ia rindukan, justru telah terkena dampak dari kolonialisasi Barat. Karamakate menyebut orang-orang ‘campuran’ itu bukanlah lagi keturunan dari Sang Ular (Anaconda).

“Embrace of The Serpent” adalah suguhan dari Ciro Guerra tentang penyelamatan tradisi leluhur. Bukan saja berlaku untuk Karamakate dan Manduca, tetapi juga bagi  Theo dan Evan untuk bangsanya. Sudah sepatutnya memang apa yang telah ditinggalkan oleh leluhur perlu dijaga dari pengaruh asing. Bukan berarti juga, seseorang tidak boleh memelajari ilmu pengetahuan dari orang asing. “Pengetahuan itu untuk semua orang,” begitu kata Karamakate pada Theo, menyambung soal kompasnya yang dicuri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYO KITA DISKUSIKAN !