Kamis, 06 Agustus 2015

TIME LAPSE [2014]

Bicara soal film bertemakan time machine, kita sering disuguhkan dengan sebuah konsep cerita yang begitu rumit dan cukup memusingkan. Sebut saja “Predestination” (2014) dengan paradox-nya atau “Project Almanac” (2015) lewat space-time continuum-nya. Selain dua film tersebut, tentunya masih banyak lagi film-film bernafaskan ‘waktu’ yang seakan tidak ada habisnya dibuat. Memusingkan memang, tapi di baliknya tertanam sebuah teki-teki yang penuh dengan keasyikan untuk terus diikuti. “Time Lapse” karya debut Bradley King ini merupakan salah satu yang patut ditonton. Perkawinan antara sci-fi dengan thriller-nya melebur menjadi sajian yang menegangkan sekaligus menghibur.

Tiga remaja biasa-biasa saja, Finn (Matt O’Leary), Callie (Daniella Panabaker) dan Jasper (George Finn), dikagetkan dengan penemuan mesin aneh di kamar apartemen tetangganya. Mesin tersebut berbentuk kamera polaroid besar yang mengarah langsung ke ruang tamu mereka bertiga. Anehnya, mesin polaroid tersebut dapat mengambil gambar atas kejadian yang akan terjadi hari esoknya di ruang tamu mereka. Sekali melihatnya, mereka harus menirukan apa yang ada dalam foto itu sesuai waktu di esok harinya. Jika tidak, mereka akan tertimpa kesialan seperti pemilik sebelumnya.

Komedi di bagian awalnya cukup efektif sekali untuk memancing atensi saya demi menikmati film ini. Tapi coba lihat, saya tidak memasangkan label comedy dalam ulasan film ini. Sebab, komedi yang disajikan begitu minim atau hanya berada di bagian menit-menit awal saja. Sangat disayangkan karena Bradley King kurang konsisten dalam mengembangkan komedi di awal tersebut. Jika ia sanggup meletakkannya sebagai stimulus di depan, maka alangkah baiknya ia melanjutkan apa yang telah dimulai. Tapi selanjutnya, dengan cepatnya Anda akan langsung dihadapkan pada topik utama berupa penemuan mesin polaroid yang telah saya jelaskan sebelumnya. Terburu-buru kah King ketika mengarahkan penontonnya menuju awal konflik tersebut ?. Memang terasa seperti itu. Ibarat makan di restoran, langsung saja melahap main course sebelum merasakan appetizer-nya.  Tapi untung saja King dapat memanfaatkan waktu hingga akhir itu dengan baik untuk memperkenalkan para karakter dan konflik utama yang cukup rumit. 

Konsep dari film ini sendiri memang menarik. Berbeda dengan film bertemakan ‘waktu’ lainnya, “Time Lapse” tidak memperkenalkan kita pada ‘perjalanan waktu’, melainkan sebuah mesin yang dapat melihat ke ‘depan’. Kemampuannya sendiri dapat mengambil gambar atas apa yang akan terjadi di kemudian hari. Finn, Callie, dan Jasper adalah bagian dari subjek mesin ini. Mereka bertiga merasa bahwa sehari-harinya telah diawasi oleh si pemilik mesin yang ternyata sudah tewas sebelumnya. Dari sini, unsur thriller-nya begitu terasa kuat sekali dengan insiden stalking itu. Permasalahan mulai memuncak ketika mereka bertiga mencoba memanfaatkan mesin yang telah ditinggalkan tersebut demi meraup keuntungan sendiri, seperti memenangkan perjudian. Bagian ini memang bukanlah hal yang baru lagi, time machine selalu melahirkan kesenangan-kesenangan pada manusia dengan pemikiran pendek. Tentunya dapat dengan mudah diprediksi, bahwa kesenangan tersebut merupakan awal dari segala bencana yang muncul kemudian.

King dengan cukup piawai menggiring penonton untuk terus anteng mengikuti setiap pengalaman-pengalaman misterius Finn dan lainnya. Rasa penasaran penonton pun berhasil terpancing dengan baik. Satu demi satu misteri mulai berhamburan keluar menuju bagian yang utuh. Naasnya, misteri yang muncul berurutan melalui foto ‘hari esok’ itu memang terasa repetitif dan tidak berujung. Pada bagian confrontation inilah King dituntut untuk memunculkan permasalahan baru yang lebih kompleks. Maka diciptakanlah karakter orang luar yang mulai ambil bagian dalam masalah yang dihadapi trio tersebut. Kekerasan-kekerasan yang brutal namun menyenangkan lewat adegan berdarah-darah juga dengan baik dihadirkan oleh King. Karakternya memang tidak terlalu dalam digali, tapi sanggup tampil ‘gila’ lewat transformasi dari biasa-biasa saja menuju manusia brutal di luar logika. Misteri beserta kegilaannya berjalan seimbang dan dinamis.

Ternyata, bukan tanpa cela film ini dibuat. Bradley King dapat menghadirkan cerita yang bagus tapi tidak diimbangi dengan pengemasan yang bagus pula, seperti sinematografi yang buruk dan skoring yang kurang mengena layaknya film-film thriller. Akting para cast-nya juga terlampau standard, akibatnya tidak mampu membangkitkan sisi emosionalnya. Tapi semuanya kekurangan itu sudah dapat dimaafkan lewat pembangunan cerita yang kuat lewat naskah yang ditulis oleh BP Cooper dan Bradley King sendiri. “Time Lapse” semakin kuat lagi ketika mencoba menyelipkan hal-hal yang menyinggung soal ‘ketamakan’, baik itu materi/uang dan juga nafsu. Twist di bagian akhir sempurna menjadi klimaks tanpa harus tampil bodoh. Walau berlabelkan independent, King dapat membuktikan potensinya sebagai sutradara yang patut diperhitungkan lewat karya perdananya ini. Mengesankan bahkan hingga akhir. Salah satu yang terbaik untuk film-film di kelasnya maupun di tema yang serupa.
7,5 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !