Jumat, 28 Agustus 2015

ATTACK ON TITAN [2015]


<Mungkin Mengandung Spoiler>
Sebelum filmnya sendiri rilis sudah banyak menerima kecaman dari para fans, terutama pada perubahan cerita yang tidak banyak menganut dari manga dan anime-nya. Apalagi ditambah adegan ciuman antara Eren dan Mikasa yang tersebar lewat trailer beberapa waktu lalu. “Attack on Titan” versi live-action ini tentunya akan membagi dua kubu penontonnya, yaitu mereka yang setia mengikuti anime/manga dan mengkomparasikan keduanya, vice versa. Saya sendiri berdiri di kubu yang menilai film ini tanpa perlu membandingkan dengan cerita sumbernya. Sebelumnya memang saya sempat mengikuti anime-nya di musim pertama meski tidak saya lanjutkan hingga episode terakhir. Saat menonton live-action ini pun, tidak bisa saya hindari untuk tidak membandingkan keduanya. Namun saya harus hindari jalan tersebut untuk lebih fair dalam ulasan ini.

Film diawali oleh narator yang menjelaskan mengenai penyerangan para Titan 100 tahun lalu dan hampir memusnahkan populasi manusia di dunia. Maka dibangunlah tembok raksasa untuk menghalangi serangan mereka. Kedamaian yang berlangsung cukup lama itu pun akhirnya runtuh juga dengan penyerangan susulan oleh Titan. Tiga sahabat yang tinggal di distrik Monzen itu, Eren (Haruma Miura), Mikasa (Kiko Mizuhara), dan Armin (Kanata Hongō), harus menyaksikan kejadian pahit bahwa orang-orang terdekatnya telah dimangsa para Titan. Naasnya lagi, salah satu dari mereka juga menjadi korban.

Kemunculan Colossal Titan di menit-menit awal film boleh dibilang menarik dan cukup memancing atensi. Lagipula, pembuatan Colossal Titan tersebut merupakan wujud totalitas di bagian spesial efek ditambah animatronic yang sudah lumayan bagus. Penampakannya sendiri sebenarnya sudah tidak mengagetkan mengingat pernah menjadi teaser di salah satu iklan mobil pada tahun lalu. Dengan suara erangan ditambah efek asap-asap mengepul, sukseslah pada bagian ini bahwa Colossal Titan akan menjadi jembatan penghubung bagi segala teror yang akan dimunculkan berikutnya. Tapi rupanya, totalitas tersebut hanya terbatas pada bagian awal saja. Berikutnya, kemunculan para Titan yang lebih kecil ternyata lebih banyak menggunakan semacam make-up dan kostum, yang tentunya merupakan bagian dari penghematan bujet. Meski sangat kentara kekurangan di bagian ini, perlu diakui bahwa pembangunan atmosfir menyeramkannya lewat teror-teror para raksasa ini memang sangat terasa. Semua itu ditunjang lewat creepy sound dan filter warna yang gelap demi menghidupkan suasana.

Bagi saya pribadi, sebatas perwujudan para Titan dengan segala kekurangannya tidaklah begitu berarti. Tapi apa yang membuat saya merasa terganggu adalah pada para karakternya. Entahlah, mungkin itu semua disebabkan performa para cast yang kurang maksimal. Terutama, 3 cast sentral (Miura, Mizuhara, dan Hongō) yang menjadi sorotan paling utama di sini. Jika melihat peran-peran mereka bertiga sebelumnya di film-film drama dengan performa bagus, mungkinkah mereka kurang cocok di film action semacam ini ?. Memang, tetap ada unsur drama pada “Attack on Titan” ini, tapi itu tetap saja kurang meningkatkan ‘rasa’ dan cenderung kaku. Imbasnya, beberapa karakter menjadi bodoh dan tidak sanggup menarik simpati. Penonton pun tentunya tidak harus peduli lagi dengan apa yang menimpa pada mereka, tidak perlu lagi merasa bersedih dan tidak perlu lagi merasa kehilangan. Semuanya dibiarkan berlalu begitu saja. Sebab, dibanding para karakter manusia, gerombolan Titan ini lebih menarik untuk disaksikan. 

Segala keluhan saya akhirnya berkumpul pada bagian akhir dari film ini. Bagian akhir tersebut memang secara keseluruhan telah merusak nilai keseruan dari seluruh cerita itu sendiri. Kisah perlawanan para manusia melawan Titan layaknya “David vs. Goliath” telah sepenuhnya hilang. Yang ada adalah kita sedang melihat Jaeger melawan Kaijū. Unsur keseruan lewat manusia yang berukuran kecil dengan susah payahnya melawan Titan menggunakan “ODMG” sudah tidak ada lagi sejak kemunculan tiba-tiba Rogue Titan. Tapi sepertinya saya cukup mengerti alasan sang kreator menciptakan karakter baru berupa Titan yang dapat dikendalikan, selain memang sulit merealisasikan bahwa manusia biasa mampu mengalahkan para Titan dengan mudah tanpa lawan yang seimbang. Mungkinkah, twist semacam ini adalah upaya habisnya ide sang kreator ?. Ya, bisa saja. Namun untuk lebih lengkapnya, saya rasa Part II perlu ditonton untuk menjawab ketimpangan ini. 

Pembangunan settingnya untuk menciptakan rasa claustrophobic dalam dinding tebal ini dirasa sudah cukup baik. Dan lagi, adegan berdarah-darah lengkap dengan tubuh manusia yang tercabik-cabik juga mengasyikkan untuk ditonton, terutama jika Anda memang pada dasarnya penikmat gore. Melihat para Titan dengan gembiranya mengejar dan menginjak-injak manusia adalah kesenangan tersendiri. Apalagi jika sambil membayangkan kita dalam situasi yang sedang kacau balau seperti itu, semakin menambah rasa ngeri. Terlepas dari segala ulasan pedas terkait CGI yang masih jauh dari mumpuni, “Attack on Titan” boleh dibilang cukup menghibur secara keseluruhan. Ganjalan utamanya mungkin saja masih terletak pada karakter dan performa serta aksi yang kurang memikat. Tapi sebagai film dengan label horror – fantasy, “Attack on Titan” tetaplah masih memenuhi kriteria di situ. Dengan kata lain, tetaplah patut untuk ditunggu kelanjutannya.     

5,5 / 10

3 komentar:

  1. Kalau soal Titan-nya Eren itu emang asli dari manganya ya at least finale-nya ngikutin manganya; cuman mungkin live action ini story-tellingnya agak kedodoran jadinya adegan Titan-nya Eren ini kerasa terlalu mendadak.

    Sayang emang banyak karakter yg nggak dimasukin ke live action ini, apa lagi nggak banyak adegan battle pakai 3D Maneuver Gear yang ditampilin.

    Agak ragu juga kalau part 2-nya bisa jadi konklusi yang pas. Soalnya animenya aja masih stuck di season 1, manganya masih jalan sih tapi juga blm dapat konklusi.

    BalasHapus
  2. iya emang sih mas kemunculannya dadakan banget. Wajar sih soalnya juga ngejar dari adaptasi aslinya

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !