Kamis, 25 Juni 2015

STRANGERS ON A TRAIN [1951]


Hampir semua film karya Master of Suspense selalu bernuansakan crime dan thriller. Meski classic dan sebagian besar filmnya masih hitam putih, tapi ketegangan yang diciptakannya masih dapat dirasakan oleh yang menontonnya di era ini. Strangers on a Train adalah crime thriller yang kental dengan elemen Noir, salah satu dari karya Alfred Hitchcock favorit saya. Bagi yang belum tahu, Noir adalah film drama crime yang banyak menekankan pada keambiguan moral karakternya dan motivasi seksual dalam setiap tindak kriminal yang dijalankannya. Aspek tersebut sangat terasa dalam film ini.  

Seorang pemain tenis amatir bernama Guy Haines (Farley Granger) tengah pergi menemui istrinya, Mirim (Laura Elliott) untuk membicarakan perceraian mereka. Dalam perjalananannya di dalam kereta, ia bertemu pria misterius yang mengaku bernama Bruno (Robert Walker) dan ia berusaha akrab dengan Guy. Bruno yang tahu skandal Guy dengan putri seorang senator, Anne Morton (Ruth Roman), menawarkan diri untuk melakukan swap murders atau pertukaran pembunuh. Bruno mencoba membantu Guy dalam melenyapkan istrinya, dan Guy harus membantu Bruno untuk menghabisi ayahnya, dengan tujuan untuk menghilangkan motif. Perfect Crime pun tercipta. Akankah Guy menyetujui penawaran pria misterius bernama Bruno tersebut ?.

Diangkat dari novel tahun 1950 karya Patricia Highsmith dengan judul yang sama, atmosfir menegangkan telah terasa meski baru di menit-menit awal film berjalan. Sebuah strategi pembunuhan yang begitu brilliant terjadi dalam waktu yang singkat dan dibuat oleh orang yang begitu jenius dan tahu mengenai situasi dan kondisi. Kelihaian Bruno dalam berbicara dan tahu banyak tentang latar belakang Guy, membuatnya cepat akrab. Bruno yang memiliki masalah pribadi dengan ayahnya, mencoba memanfaatkan celah dalam hubungan Guy yang bermasalah dengan istrinya yang bitchy dan materialistis. Guy yang ingin menikahi putri senator demi karir politiknya, boleh dibilang memiliki alasan yang kuat untuk menghabisi istrinya, apalagi ketika istrinya ternyata menolak untuk bercerai demi memanfaatkan uang yang diberikan Guy. 

Meski pelaku kriminal telah dimunculkan sejak awal, tetapi sama sekali tidak menurunkan ketegangan yang dibangun. Ketegangan justru semakin menguat ketika Bruno menagih terus janjinya pada Guy untuk membunuh ayahnya. Ketegangan demi ketegangan terus menerus dibangun hingga menit-menit berakhirnya film. Salah satu faktor kesuksesannya tentunya adalah pada naskah bagus yang mampu menghidupkan karakter Bruno yang psikopat, dan di satu sisi membuat penonton akan merasakan menjadi Guy yang paranoid. Dari segi akting, Robert Walker lah juaranya di sini. Ia bermain begitu apiknya menjadi seorang psikopat yang begitu mengintimidasi dan menebar terror tiada henti. Karakter Bruno ini sedikit mengingatkan saya pada karakter psikopat yang diperankan Kevin Spacey dalam Se7en (1995) atau The Usual Suspect (1996).  

Guy yang memiliki skandal perselingkuhan dengan Anne Morton dan begitu membenci istrinya, memang sempat memiliki niat sekilas untuk membunuhnya. Niat jahat yang dipicu oleh perasaan emosi sesaat tersebutlah yang memicu miss-understanding dengan Bruno, hingga akhirnya membuatnya dicurigai dan diawasi terus oleh 2 orang detektif. Keambiguan moral dari sosok Guy Haines tersebut ditampilkan dengan begitu bagusnya. Jika Anda pernah menonton Match Point (2005) nya Woody Allen, ada karakter utama di film tersebut yang juga ditampilkan dengan keambiguan moral dan bahkan ada beberapa poin yang membuatnya mirip dengan sosok Guy di sini. Keduanya sama-sama pemain tenis amatir, menikahi wanita kaya dengan tujuan besar, ada perselingkuhan yang dilakukan, dan keduanya memiliki akhir cerita yang mirip pula. Bisa jadi, Strangers on a Train ini menjadi inspirasi Woody Allen dalam membuat Match Point. 

Strangers on a Train dieksekusi dengan sangat bagus sekali, seru, dan menegangkan. Best scene di sini tentu saja saat Guy tengah bermain tenis dan di tempat lain, Bruno bersiap untuk menjebak Guy atas pembunuhan terhadap istrinya. Bagian ini sangat seru sekali, karena Guy harus bertarung melawan waktu dalam menyelesaikan permainan tenisnya untuk bisa menghentikan Bruno. Kamera tiada henti menampilkan scene by scene dengan begitu dinamisnya. Adegan kejar-kejaran antara 2 detektif dengan Guy pun tidak terelakkan, dimana saat itu Guy juga tengah mengejar Bruno. Efek beruntun kejar-kejaran ini menciptakan ketegangan di satu sisi, dan menciptakan komedi hitam di sisi yang lain. 

Strangers on a Train memang belum bisa disebut sebagai masterpiece-nya Alfred Hitchcock, menurut saya. Tapi film crime se-brilliant ini boleh dibilang berada di level atas dibanding film crime kontemporer lainnya. Tidak saya sangkal, bahwa film ini telah masuk ke daftar karya Alfred Hitchcock favorit saya, meskipun belum bisa menyawai Vertigo (1958) atau Psycho (1960). Jangan lupa, cameo sang Master of Suspense menjadi salah satu daya tarik di tiap film-filmnya, dan cobalah untuk menemukannya di film ini.  

ATAU
9 / 10

2 komentar:

  1. Cameo-nya Alfred Hitchcock waktu ngangkat alat musik besar naik ke atas kereta api setelah Guy turun dari KA.

    BalasHapus
  2. saya juga lagi asik2nya nonton film2 klasik... nemu reviewnya di sini..

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !