Hingga
kini, baru 2 film saja dari Woody Allen yang pernah saya tonton, Annie Hall
(1977) dan Midnight in Paris ini. Woody Allen yang kental dengan ciri khas film
romance comedy dan banyak yang ia tulis sendiri naskahnya, selalu membuat saya
merasakan banyak rasa ketika menontonnya, seperti senang, sedih, tertawa, haru,
hingga kesal. Dengan menambahkan “bumbu” fantasi, Midnight in Paris menjadi
kisah cinta lintas generasi, dan Woody Allen sukses membuat saya jatuh cinta
pada film ini.
Footage
di kota Paris yang indah ditampilkan begitu dinamisnya sepanjang adegan
pembukaan. Diawali dengan menara Eiffel di pagi hari dan diakhiri pula dengan
menara Eiffel di malam hari. Gil (Owen Wilson), seorang penulis naskah
mengambil liburan di Paris bersama tunangannya, Inez (Rachel McAdams) dan calon
mertuanya, John dan Helen. Selain ingin melarikan diri dari rutinitasnya
sebagai penulis naskah, ia juga berencana menulis novel pada liburan di Paris
tersebut. Ketika mereka sedang makan-makan di sebuah restoran, datanglah teman
lama Inez, Paul (Michael Sheen) dan istrinya, Carol. Mereka berdua mengajak
Inez dan Gil untuk mengunjungi Versailles. Awalnya Gil menolak karena
sebelumnya ia sudah berencana mengajak Inez untuk makan di restoran. Atas
paksaan Inez, Gil pun menurut saja.
Dalam kunjungan mereka di Versailles tersebut, terlihat ketidaksukaan Gil pada Paul yang dinilainya sok tahu banyak tentang sejarah Perancis. Apalagi Inez sebelumnya juga pernah bercerita bahwa ia pernah naksir Paul waktu kuliah. Malam itu, sepulang dari acara cicip Wine, Paul dan Carol mengajak Inez dan Gil untuk berdansa. Dengan alasan mencari udara segar, Gil menolak tawaran tersebut. Akhirnya Gil memilih pulang sendiri jalan kaki sementara yang lain akan pergi berdansa. Di tengah perjalanannya pulang, Gil tersesat dan tidak tahu arah menuju hotel tempat ia menginap. Di pinggiran jalan, ia duduk termenung dan kemudian jam besar di atasnya berbunyi yang menandakan pukul 12 malam. Tiba-tiba, datanglah mobil Peugeot kuno menghampirinya dan mengajaknya untuk ikut berpesta.
Dalam kunjungan mereka di Versailles tersebut, terlihat ketidaksukaan Gil pada Paul yang dinilainya sok tahu banyak tentang sejarah Perancis. Apalagi Inez sebelumnya juga pernah bercerita bahwa ia pernah naksir Paul waktu kuliah. Malam itu, sepulang dari acara cicip Wine, Paul dan Carol mengajak Inez dan Gil untuk berdansa. Dengan alasan mencari udara segar, Gil menolak tawaran tersebut. Akhirnya Gil memilih pulang sendiri jalan kaki sementara yang lain akan pergi berdansa. Di tengah perjalanannya pulang, Gil tersesat dan tidak tahu arah menuju hotel tempat ia menginap. Di pinggiran jalan, ia duduk termenung dan kemudian jam besar di atasnya berbunyi yang menandakan pukul 12 malam. Tiba-tiba, datanglah mobil Peugeot kuno menghampirinya dan mengajaknya untuk ikut berpesta.
Di
tempat pesta tersebut, Gil bertemu dengan penulis besar di masanya, seperti
Scott Fitzgerald (Tom Hiddleston) dan kekasihnya yang memiliki nama kembar,
Zelda Fitzgerald (Alison Pill). Gil awalnya menganggap mereka berdua sedang
bercanda. Hingga akhirnya Zelda mengajak pergi ke sebuah bar dan bertemulah
mereka dengan Ernest Hemingway (Corey Stoll), seorang penulis besar Amerika. Gil
sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia diam tertegun dan seakan tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Semakin lama semakin ia percaya, diperkuat ketika
berbincang-bincang mengenai karya tulis dengan Hemingway. Gil berharap
Hemingway mau membaca novelnya dan mengoreksinya, tetapi kemudian ia
menyarankan akan memberikannya pada Gertrude Stein (Kathy Bates), penulis novel
Amerika. Seolah tidak percaya, Gil dengan semangatnya ijin untuk pulang
mengambil naskah novelnya. Tapi, ia lupa membicarakan jadwal untuk bertemu.
Kemudian ia kembali sebentar ke bar tadi, ternyata sudah berubah kembali
menjadi sebuah toko modern.
Besuknya, Gil kembali ke tempat yang sama. Di sana, Hemingway memperkenalkannya pada Gertrude Stein. Dengan sukarela, Stein akan membaca dan mengoreksi novel Gil. Sebelumnya, tampak Stein yang sedang berdebat dengan Picasso terkait lukisan yang ia buat untuk kekasihnya, Adriana (Marion Cotillard). Ia sangat menyukai kalimat pembuka dari novel Gil yang dibaca oleh Stein. Gil dan Adriana pun nampak sangat akrab sekali bercerita tentang asal usul mereka. Terlihat jelas sekali bahwa Gil benar-benar terpesona dengan keanggunan seorang Adriana. Bagaimanakah kelanjutan petualangan Gil selanjutnya di Prancis era 1920an ? Benarkah dengan yang semua Gil lihat ? Jika benar, mungkinkah Gil jatuh cinta pada wanita dari masa lalu ?
Besuknya, Gil kembali ke tempat yang sama. Di sana, Hemingway memperkenalkannya pada Gertrude Stein. Dengan sukarela, Stein akan membaca dan mengoreksi novel Gil. Sebelumnya, tampak Stein yang sedang berdebat dengan Picasso terkait lukisan yang ia buat untuk kekasihnya, Adriana (Marion Cotillard). Ia sangat menyukai kalimat pembuka dari novel Gil yang dibaca oleh Stein. Gil dan Adriana pun nampak sangat akrab sekali bercerita tentang asal usul mereka. Terlihat jelas sekali bahwa Gil benar-benar terpesona dengan keanggunan seorang Adriana. Bagaimanakah kelanjutan petualangan Gil selanjutnya di Prancis era 1920an ? Benarkah dengan yang semua Gil lihat ? Jika benar, mungkinkah Gil jatuh cinta pada wanita dari masa lalu ?
Kali
ketiga saya menonton Midnight in Paris, dan perasaan saya tidak berubah pada
film ini. Masih tetap lucu, menghibur, dan sisi romantisnya mengena sekali.
Gil, seorang pria yang tengah sibuk-sibuknya membuat novel dengan karakter
utama yang bekerja di Nostalgia Shop,
yaitu sebuah toko dimana banyak barang lama/kuno dijual di sana. Sosok dalam
karakternya sendiri memang memiliki kemiripan dengan Gil, dia juga suka
berbagai hal yang berbau lama. Selain itu, Gil juga menyukai para penulis besar
di zamannya seperti yang saya tulis di atas, dan dia juga menyukai semua hal
tentang Perancis, terutama era 1920-an yang menurut Gil adalah era kejayaan
dari Perancis.
Time Travel yang dialami Gil memang bukan sorotan utama di sini, lagipula Time Travel tersebut tidak pernah terpecahkan mengapa bisa terjadi di sini. Bisa saja hal itu nyata atau hanya imajinasi ciptaannya yang didorong perasaan karena mengidolakan para penulis besar dan menyukai Perancis era 1920-an. Apakah Anda ingat pada salah satu adegan di Annie Hall, di mana ada seorang pria yang sok tahu mengenai banyak hal tentang Marshall McLuhan ? Maka di sini Allen kembali menghadirkan sosok pria sok tahu lagi, tapi mengenai seluk beluk tentang Perancis, Paul. Saya tidak tahu mengapa Allen kembali lagi menampilkan 2 karakter ‘menyebalkan’ seperti tadi, bisa jadi memang karakter manusia seperti itu memang yang membuat Allen sebal. Sebagian besar film dan karakter yang Allen buat, banyak yang mendekati dengan kehidupan aslinya. Sebelumnya di review saya tentang Annie Hall, saya menulis di situ bahwa saya memiliki kemiripan yang hampir 100 % dengan Woody Allen. Dan memang benar, saya juga tipe orang yang mudah sebal dengan orang yang sok tahu tentang banyak hal. Gil, seperti halnya Alvi Singer (karakter dalam Annie Hall), bisa jadi memang refleksi dari Allen.
Time Travel yang dialami Gil memang bukan sorotan utama di sini, lagipula Time Travel tersebut tidak pernah terpecahkan mengapa bisa terjadi di sini. Bisa saja hal itu nyata atau hanya imajinasi ciptaannya yang didorong perasaan karena mengidolakan para penulis besar dan menyukai Perancis era 1920-an. Apakah Anda ingat pada salah satu adegan di Annie Hall, di mana ada seorang pria yang sok tahu mengenai banyak hal tentang Marshall McLuhan ? Maka di sini Allen kembali menghadirkan sosok pria sok tahu lagi, tapi mengenai seluk beluk tentang Perancis, Paul. Saya tidak tahu mengapa Allen kembali lagi menampilkan 2 karakter ‘menyebalkan’ seperti tadi, bisa jadi memang karakter manusia seperti itu memang yang membuat Allen sebal. Sebagian besar film dan karakter yang Allen buat, banyak yang mendekati dengan kehidupan aslinya. Sebelumnya di review saya tentang Annie Hall, saya menulis di situ bahwa saya memiliki kemiripan yang hampir 100 % dengan Woody Allen. Dan memang benar, saya juga tipe orang yang mudah sebal dengan orang yang sok tahu tentang banyak hal. Gil, seperti halnya Alvi Singer (karakter dalam Annie Hall), bisa jadi memang refleksi dari Allen.
Gil,
semakin jatuh lebih dalam di Perancis era 1920-an ketika bertemu dengan
Adriana, wanita yang benar-benar mempesona baginya. Mereka saling berbagi,
terutama era yang mereka sukai. Adriana yang hidup di era 1920-an mengatakan
bahwa kejayaan Perancis sendiri adalah pada 1890-an, atau disebut sebagai La Belle Èpoque
Paris, yang menurutnya jauh lebih bagus dari era saat itu (1920). Suatu
ketika di malam hari, Gil dan Adriana didatangi sebuah kereta kuda dan mengajak
mereka ke sebuah pesta. Betapa kagetnya mereka, bahwa tempat pesta tersebut
merupakan bangunan di era 1890-an, Adriana tentu sangat menyukai nuansa tempat
itu. Kemudian mereka sempat mengobrol bersama salah seorang seniman besar era
itu dan teman-temannya. Mereka yang hidup di era itu mengatakan bahwa era
kejayaan Perancis sendiri adalah pada Renaissance
(15-16 SM). Gil mulai menyadari kalau ia sekali lagi melewati lompatan waktu.
Dari peristiwa tersebut, saya menyadari satu hal bahwa setiap orang selalu tidak puas dengan era di mana ia berada. Orang selalu mencari era di mana bisa mewakili dirinya seutuhnya, atau disebut Golden Age Thinking. Perbedaan era tersebut membuat Gil dan Adriana harus berpisah dengan era yang mereka cintai masing-masing. Midnight in Paris masih memiliki banyak lagi keindahan dan keunikan yang tidak bisa saya tulis semuanya di sini. Para penonton tidak perlu memikirkan lompatan-lompatan waktu yang dialami Gil. Segala ke-absurd-an dari film-film khas Allen selalu menarik untuk dikaji. Bisa jadi, apa yang dirasakan Gil sendiri adalah pengaruh magic dari Paris yang dikenal sebagai kota yang romantis, indah, dan berseni tinggi. Akhirnya, Midnight in Paris menjadi salah satu film romance comedy favorit saya. Bahkan, segala keindahan time travel nya jauh lebih bagus dari trilogi Back to The Future.
Dari peristiwa tersebut, saya menyadari satu hal bahwa setiap orang selalu tidak puas dengan era di mana ia berada. Orang selalu mencari era di mana bisa mewakili dirinya seutuhnya, atau disebut Golden Age Thinking. Perbedaan era tersebut membuat Gil dan Adriana harus berpisah dengan era yang mereka cintai masing-masing. Midnight in Paris masih memiliki banyak lagi keindahan dan keunikan yang tidak bisa saya tulis semuanya di sini. Para penonton tidak perlu memikirkan lompatan-lompatan waktu yang dialami Gil. Segala ke-absurd-an dari film-film khas Allen selalu menarik untuk dikaji. Bisa jadi, apa yang dirasakan Gil sendiri adalah pengaruh magic dari Paris yang dikenal sebagai kota yang romantis, indah, dan berseni tinggi. Akhirnya, Midnight in Paris menjadi salah satu film romance comedy favorit saya. Bahkan, segala keindahan time travel nya jauh lebih bagus dari trilogi Back to The Future.
ATAU
9 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !