Semua film bertemakan masa depan rasanya sangat asyik sekali untuk
diikuti. Sebagai penonton yang hidup di era ini, pasti ikut membayangkan
bagaimana seandainya hidup di masa depan yang penuh dengan kecanggihan
teknologi, design bangunan dan mobil yang futuristik, dsb. Tapi, kita tidak
pernah tahu bagaimana suasana di masa depan itu sendiri. Bisa saja indah dengan
deskripsi di atas atau malah justru penuh dengan kehancuran. Film animasi Pixar
yang disutradarai Andrew Stanton ini mengajak kita untuk menjelajahi masa depan
yang jauh dari pemikiran banyak orang.
Di masa depan, bumi begitu sangat sepi, tandus, panas, dan penuh dengan
berbagai macam sampah. Semua sampah yang menutupi bumi adalah
sampah-sampah non-organik seperti benda-benda logam. Bahkan, langit tampak
gelap karena begitu penuhnya dengan sampah satelit yang berserakan. Di antara suasana
sepi senyap tadi, sering terdengar suara nyanyian dari musik yang dimainkan
oleh Wall E (Ben Burtt), sebuah robot tipe lama (ketika itu) yang dibuat oleh
perusahaan Buy & Large, sebagai robot scrap/pengolah
benda rongsokan. Dari semua robot Wall E yang pernah ada, hanya tersisa 1 dan
dia masih bisa tetap bertahan dalam mengolah benda-benda rongsokan dengan
ditemani sahabat setianya, seekor kecoak. Setiap sampah logam yang ada di atas
bumi, ia press menjadi bentuk-bentuk
kubus dan menumpuknya setinggi pencakar langit.
Sesekali, Wall E menemukan benda-benda lama ketika ia dalam proses
pengumpulan sampah, seperti video yang di dalamnya berisikan 2 pasangan yang
menari begitu bahagianya. Meski Wall E hanya sebuah robot, tapi dari gesture-nya,
ia nampak sekali meresapi apa yang ia lihat, seolah-olah ia merindukan seorang
pasangan yang siap menemani hari-harinya. Keadaan bumi di masa depan sendiri tidaklah
bersahabat, terkadang badai pasir tiba-tiba datang dan menyapu semua yang
dilewatinya. Dalam keadaan seperti itu, Wall E hanya bisa bersembunyi di balik
tempat rahasianya, yang di dalamnya banyak benda-benda berharga yang selalu
disimpannya, termasuk suku cadang.
Suatu ketika, datanglah pesawat asing dari luar angkasa. Pesawat
tersebut kemudian menurunkan sebuah kapsul putih, yang tak lain sebuah robot. Robot
putih tadi lalu pergi mengitari dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari
sesuatu. Wall E yang merasa tertarik dengan robot putih tadi, mencoba untuk
mendekatinya meski selalu direspon kurang baik. Badai pun datang, dan Wall E
berusaha meyakinkan robot putih tadi untuk bersembunyi. Diajaknya robot putih
tadi ke dalam persembunyiannya dan ia tunjukkan semua benda yang ia simpan. Mereka
kemudian semakin akrab, dan robot putih tadi pun memperkenalkan dirinya, Eve
(Elissa Knight). Kemudian, Eve yang lebih canggih dan superior dari Wall E itu
tiba-tiba merespon aneh pada salah satu benda yang disimpan oleh Wall E, yaitu pohon
kecil yang tumbuh di sepatu boot tua. Secara otomatis, tubuh Eve kemudian
menyimpan pohon kecil tadi dalam tubuhnya lalu iapun hypersleep hingga pesawat induk datang dan menjemputnya. Tidak
tinggal diam, Wall E kemudian mengikuti Eve dengan menggantung pada pesawat
tadi. Berhasilkah Wall E mengikuti Eve ? Dan kemanakah pesawat tersebut pergi ?
Dalam ukuran film animasi, Wall E bisa dikatakan memang mendekati masterpiece. Hampir semua aspek memiliki
nilai keistimewaannya, meliputi storyline
hingga grafis. Sangat berbeda dengan animasi buatan Pixar sebelumnya hingga
selanjutnya. Apa yang membuat Wall E begitu mencolok adalah minimnya dialog di
bagian pembukaan hingga sekitar menit ke 40. Kita akan disajikan pemandangan
yang sangat ‘tragis’ dari masa depan bumi itu sendiri. Sangat berbeda dengan
apa yang sering kita lihat dari film-film bertemakan masa depan lainnya yang
sering menampilkan megahnya bangunan-bangunan futuristik. Pada saat itu, bumi
sudah benar-benar kehabisan sumber daya. Sampah, panas, dan berdebu membuat
bumi sudah tidak layak untuk ditempati lagi. Maka, manusia pun pindah untuk
mencari tempat baru. Air dan pepohonan pun sudah “punah”. Dalam keadaan
tersebut sudah pasti manusia tidak bisa bertahan.
Wall E adalah robot scrap
yang tiada hentinya bekerja semenjak ia diprogram untuk pertama kalinya.
Bahkan, semua robot jenis Wall E lainnya sudah hancur termakan zaman, dan hanya
tersisa satu yang tidak pernah berhenti mengumpulkan sampah-sampah logam itu.
Wall E memang robot yang lebih dari sekedar canggih, jika kita melihatnya dari
sudut pandang era sekarang. Atau mungkin dia memang sudah dilengkapi dengan Artificial Intelligence (kecerdasan
buatan). Pada beberapa momen memang ditampilkan bahwa Wall E seolah-olah
memiliki perasaan seperti manusia. Terlihat dari caranya ia melihat seorang
pria dan wanita bergandengan tangan di sebuah video yang ia simpan. Maka,
dengan kedatangan Eve, Wall E berencana untuk mencoba apa yang dirasakan oleh
manusia, bergandengan tangan dan merasakan kehangatan. Saya sendiri terkadang masih sering merasakan ‘iba’ jika
harus mengingat ia hidup sebatang kara di bumi yang kosong tanpa penghuni.
Sungguh begitu hidupnya sosok Wall E ini, mampu membuat saya bersimpati.
Beda Wall E beda Eve. Ia dibuat jauh lebih canggih dan maju
dibandingkan Wall E. Manusia yang ketika itu berada di suatu tempat di antara
bintang-bintang, telah mengembangkan banyak teknologi baru, dan salah satu
buatannya adalah Eve itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri memang bila pada
saatnya manusia akan pulang ke ‘kampung halamannya’. Secanggih apapun manusia
di luar sana, pasti ada alasan mengapa mereka harus kembali bumi, meski
sebelumnya sudah tahu dengan apa yang terjadi pada bumi. Itulah tujuannya
sebenarnya mengapa Eve mengambil pohon milik Wall E, yang mana merupakan benda
organik yang sudah punah dari muka bumi. Para manusia berharap, dengan pohon
tadi mereka bisa kembali menghijaukan bumi dan menempati kembali apa yang telah
para nenek moyang tinggalkan.
Pengangkatan isu dari dampak global
warming dalam Wall E adalah hal yang sangat bagus sekali. Berbeda dengan The Lorax (2012), meski
mengangkat tema sama, tapi cenderung membosankan dalam pengemasannya. Sudah banyak memang film-film
yang mengangkat tema dissaster di
mana manusia pergi mencari lokasi baru di luar bumi. Tapi ada bagian yang
mereka lupakan yaitu sejauh apapun manusia pergi ke luar angkasa, pasti ada
perasaan rindu mendalam di tanah kelahiran, bumi. Itulah bagian yang sering
film lain lupakan, dan Wall E telah melebihi ekspektasi saya dengan menambahkan
‘kerinduan’ tadi. Itulah unsur humanisme yang sangat jarang diangkat ke dalam
film science fiction.
Berbicara mengenai science
fiction sendiri, tidak ada salahnya bila mengungkap fakta menarik dalam Wall E.
Jika Anda pernah menonton film science fiction terbaik sepanjang masa (versi
saya) yang berjudul 2001 : A Space Odyssey (1968) karya sutradara besar Stanley
Kubrick, maka Anda tahu yang saya maksud. 2 musik yang menjadi soundtrack dalam
2001, The Blue Danube dan Also Sprach Zarathustra kembali dimunculkan di sini. Tidak
hanya itu, penampakan komputer dengan kecerdasan buatan yang bernama Auto di
sini, didasarkan pada bentuk HAL9000 dalam 2001, lengkap dengan ‘pemberontakannya’.
Sebenarnya ini bukan hal baru bagi Pixar yang mencoba menampilkan fitur-fitur
dari film buatan Kubrick. Sebelumnya, di Toy Story 2 (1999) pernah ditampilkan pula
design karpet yang khas dan serupa pada film besutan Kubrick lainnya, The
Shining (1980).
Secara keseluruhan, Wall E
benar-benar sebuah sajian yang heartwarming
dan cerdas. Meski minim dengan komedi, tapi Wall E mampu membuktikan bahwa
keminimannya tadi melebihi film-film animasi lain yang meski banyak komedi,
tapi ‘garing’ dalam penyampaian. Tidak mengherankan bila Wall E masuk ke dalam
daftar film favorit saya yang tidak pernah bosan untuk ditonton.
ATAU
9 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !