Apa yang ada di benak pecinta film ketika mendengar 2 nama besar sutradara
David Fincher (Se7en, The Curious Case of Benjamin Button, Zodiac, The Social
Network, Gone Girl) dan Spike Jonze (Being John Malkovich, Adaptation, Her)? Sulit
membayangkan bagaimana film hasil kombinasi mereka berdua. Tapi, di sini mereka
berdua hanya bertindak sebagai produser dari film berjudul The Fall yang
disutradarai oleh Tarsem Singh. Setelah menonton film ini, saya kemudian
mencari tahu bahwa Tarsem juga menyutradarai Immortals(2011) dengan style yang
menurut saya mirip 300 (2006)-nya Zack Snyder. Kenyataannya, Immortals sama
sekali tidak memberikan kesan mendalam bagi saya.
Ini adalah film kedua dari Tarsem yang pernah saya tonton. Dari 2 film ini (Immortals
& The Fall) masih belum cukup memberikan saya gambaran bagaimana style
seorang Tarsem dalam membuat film. Tapi dari kedua film tersebut, setidaknya
saya mendapati keunikan dari aspek visual. Selain itu, pendalaman karakter dari
The Fall jauh lebih bagus dan mengajak para penontonnya untuk lebih menyelami
dunia imajinasi.
Kisahnya dimulai dari seorang gadis kecil bernama Alexandria (Catinca
Untaru) harus dirawat di rumah sakit karena patah tulang tangan kirinya. Suatu
ketika, Alexandria mengirimkan sebuah surat kepada salah satu suster di rumah
sakit tersebut dengan melemparkannya melalui jendela. Tapi malangnya, surat
tersebut malah jatuh ke dalam kamar salah satu pasien lain. Setelah itu
Alexandria mencoba untuk mencarinya, dan dia mendapati surat tersebut telah ada
di tangan Roy (Lee Pace), seorang stunt-man. Akibat sebuah kecelakaan saat
syuting, ia pun menderita patah kaki dan harus dirawat di rumah sakit tersebut.
Pertemuan awal antara Alexandria dengan Roy dimulai dari sini.
Dari seringnya Alexandria bertemu dengan Roy, maka terciptalah hubungan yang
lebih dekat antara mereka berdua. Pada saat itu juga, sebenarnya Roy juga
mengalami patah hati (selain patah kaki) karena kekasihnya lebih memilih
bersama aktor terkenal, Sinclair (Daniel Caltagirone). Bagi Roy, sepertinya
kehadiran Alexandria cukup menganggu. Oleh karena itu, Roy kemudian
menceritakan sebuah kisah yang dibuatnya secara instant, untuk membuat
Alexandria segera pergi menjauh. Kisah yang dibuat Roy pun tidak jauh dari
pengalaman hidupnya, terutama kisah cintanya yang kandas.
Dalam kisah yang diceritakan Roy terhadap Alexandria, dikisahkan seorang
bandit bertopeng bersama dengan teman-teman lainnya (Otta Benga, Indian, Luigi,
Charles Darwin, Mystic) akan membalaskan dendam kepada Gubernur Odious yang tak
lain adalah manifestasi dari Sinclair. Begitu juga dengan karakter lainnya,
yang tidak lain adalah orang-orang yang ada di sekitar rumah sakit, teman dari
Roy dan Alexandria sendiri, serta diperankan oleh aktor yang sama. Sebenarnya penceritaan
seperti ini bukanlah hal baru bagi saya. Para karakter yang sudah ada, masuk
lagi menjadi bagian dari sub-cerita dengan dimainkan oleh aktor yang sama pula.
Mungkin sedikit mengingatkan saya dengan The Wizard of OZ (1939) dan film yang
rilis 6 tahun setelah The Fall, Cloud Atlas (2012).
“Imajinasi” adalah kata kunci dari film ini. Dengan menekankan pada
imajinasi, penonton menjadi mengerti bagaimana kisah yang
pahit-menyedihkan-ingin dilupakan, menjadi kisah yang bernilai lebih dan
terkenang. Sinematografi yang indah dengan widescreen landscape juga menjadi
penunjang The Fall. Kisah bandit bertopeng dkk dari Roy bukanlah kisah yang
ringan tanpa tragedi di dalamnya. Kisah tersebut adalah refleksi dari kisah
pribadi Roy & Alexandria, bagaimana Roy dikhianati kekasihnya, jatuh saat
syuting hingga patah kaki, Alexandria yang jatuh hingga tangan patah, semua
pahit-getir-jatuh-bangun hidup ini ia tuangkan dalam kisah Bandit Bertopeng
dkk, karena seperti itulah hidup ini. Saya rasa, sangat beralasan mengapa film
ini berjudul The Fall.
ATAU
9 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !