Jumat, 08 Mei 2015

DEPARTURES [2008]

**FILM SUPER**

Jika saya harus mengingat-ingat lagi, dari semua film maka Departures adalah jawaban pertama dalam ingatan saya untuk film bertema kehidupan dan kematian. Pertama kalinya menonton film ini adalah saat pemutaran perdananya di salah stasiun tv nasional pada pertengahan tahun 2009 (kalau tidak salah). Jarangnya film Jepang diputar, membuat antusiasme saya sangat tinggi sekali ketika itu. Apalagi film yang satu ini memang membawa pengalaman luar biasa yang tidak terlupakan. Film garapan Takita Yojiro ini memang banyak sekali memenangi penghargaan, baik di Jepang sendiri maupun di luar.

Seorang pemuda pemain cello di orkestra, Kobayashi Daigo (Motoki Masahiro) harus menerima kenyataan bahwa pemilik orkestranya memutuskan untuk membubarkannya. Dengan dukungan istrinya, Mika (Hirosue Ryoko) berharap Daigo bersemangat dan mendapatkan kesempatan lagi di kemudian hari. Daigo yang pasrah karena menyadari kemampuannya bermain cello yang pas-pasan, semakin tak berdaya lagi ditambah hutangnya dalam membeli cello. Impian Daigo sebagai pemain orkestra profesional kini hanya menjadi angan-angan saja. Maka ia putuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Yamagata bersama istrinya, di rumah yang ditinggalkan almarhum ibunya. Suatu ketika sedang makan bersama, Daigo mendapati lowongan kerja dalam koran. Karena tertarik dengan persyaratannya yang “tanpa pengalaman”, ia kemudian mendatangi kantor agensi NK, yang mana ia sendiri tidak ketahui perusahaan tersebut bergerak di bidang apa.

Begitu ia bertemu pemiliknya, Sasaki Ikuei (Yamazaki Tsutomu) langsung saja Daigo diterima kerja dan bahkan ia sudah mendapatkan gaji untuk hari itu. Meskipun, awalnya ia sangat terkejut bahwa perusahaan tersebut bergerak di bidang yang berhubungan dengan “peti mati” dan “mayat”. Daigo sendiri tidak berani menceritakan pekerjaannya tersebut kepada istrinya. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi model “mayat” di sebuah studio dan nampak Sasaki tengah memberikan make-up dan baju yang biasanya untuk mayat. Meski Daigo merasa keberatan saat pekerjaan pertamanya, apa yang dialaminya tersebut belum ada apa-apanya jika dibanding dengan yang akan dihadapi berikutnya. Dimana ia harus membantu Sasaki mengangkat mayat nenek tua yang sudah membusuk di dalam kamar. Apakah Daigo benar-benar betah dengan pekerjaannya tersebut ? Lalu bagaimana pendapat Mika setelah tahu pekerjaan Daigo seorang perias mayat ?

Sebelum saya mengenal Departures, sebenarnya saya sudah tahu mengenai pekerjaan merias mayat dari sebuah acara di stasiun tv. Merias mayat bisa jadi adalah pekerjaan yang dapat dilihat melalui 2 sudut pandang. Di satu sisi dipandang terhormat karena dengan merias mayat, maka sama halnya dengan memberikan penghormatan terakhir sebelum berpisah dan dipandang sebelah mata sebagai pekerjaan yang ‘menjijikkan’. Setidaknya itulah sedikit yang ingin coba diangkat dalam Departures. Pergolakan batin yang dialami Daigo setelah dibubarkannya orkestra tempat bernaungnya, membuat dia harus mencari penghasilan lain. Satu-satunya hal yang ia rasa sanggup lakukan hanyalah bermain cello meski ia sadari bakatnya memang pas-pasan. Dengan bekerja sebagai perias mayat, sebenarnya juga membuat ia bertanya pada diri sendiri, “apakah bakat sebenarnya yang ia miliki ?” dan “benarkah merias mayat adalah jalan hidupnya?” 

Keadaan semakin sulit lagi ketika ia mendapat cibiran dari orang-orang di sekitarnya tentang pekerjaannya, termasuk dari istrinya, Mika. Hingga pada akhirnya, mereka sadari bahwa pekerjaan Daigo adalah pekerjaan yang mulia. Di sinilah awal pencarian jati diri seorang Daigo. Proses transformasinya dari pemain Cello menjadi perias mayat membuatnya menjadi mengenal banyak hal tentang kehidupan dan kematian. Pengetahuannya tersebut juga menjadi senjata ampuh untuk meyakinkan hati Mika agar lebih bijak lagi menerima pekerjaannya. Meski awalnya kesulitan, tapi akhirnya berhasil juga. Daigo seorang yang polos dan penyabar, meski dibalik itu ia juga memiliki sisi keras kepala. Sebelumnya Mika nampak keras kepala dengan meminta Daigo mengganti pekerjaan, tapi kemudian justru Daigo yang memunculkan sifat keras kepala ketika ia menolak untuk merawat jenazah ayahnya karena masalah di masa lalu. Berlawanan dengan sebelumnya, maka Mika lah yang bergantian memberikan keyakinan untuk Daigo. Proses pergantian “peran” antara Daigo dan Mika adalah part yang paling saya sukai di sini. Bagaimana awalnya kedua karakter tersebut “dikuasai” meski akhirnya berhasil “melawan” ego masing-masing. Apa yang bisa saya tangkap dari Departures sangat banyak memang. Mulai dari pencarian jati diri, keyakinan, hingga bagaimana manusia melihat kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah “keberangkatan” menuju tahap selanjutnya.

ATAU
9,5 / 10

2 komentar:

  1. Halo Iza, ini Luthfi dari Review Luthfi. Wah, udah banyak banget reviewnya, hehe. Btw, linknya udah dipasang yaa, jangan lupa pasang link blog gue juga, hehehe. Salam kenal.

    BalasHapus
  2. terima kasih mas lutfi. ini juga saya belajar-belajar mereview, masih amatiran. kalo film udah suka sejak lama. dulu lebih sering diskusi aja, hingga saya pikir perlu juga utk ditulis, sambil melatih kemampuan.

    oke salam kenal iza dari Tuban. jangan lupa klik follow di pojok kanan atas juga ya....hehehe

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !